Menuju konten utama

Pemangkasan Anggaran KND Jadi Kendala Dorong Masyarakat Inklusif

Pemangkasan anggaran KND bukan hanya soal satu sektor, tapi juga soal keperpihakan pemerintah secara umum.

Pemangkasan Anggaran KND Jadi Kendala Dorong Masyarakat Inklusif
Sejumlah penyandang disabilitas mengikuti karnaval saat Festifal Hari Disabilitas Internasional di Alun-alun Kota Magelang, Jawa Tengah, Selasa (3/12/2024). ANTARA FOTO/Anis Efizudin/foc.

tirto.id - Komisi Nasional Disabilitas (KND) menjadi salah satu lembaga yang kena imbas pemangkasan anggaran menyusul Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 yang dikeluarkan Presiden Prabowo Subianto.

Anggaran KND dibabat lebih dari 90 persen, dari semula Rp5,6 miliar menjadi sisa Rp500 juta. Hal itu tentu ironis di tengah maraknya kasus korupsi yang terungkap tahun ini dan merugikan negara senilai ratusan triliun rupiah.

Padahal, KND punya peran sangat penting dalam menjalankan mandat Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CPRD) di Indonesia. Peran lembaga nonstruktural ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU Penyandang Disabilitas).

Ketua KND, Dante Rigmalia, menyampaikan bahwa lembaganya memahami bahwa kebijakan efisiensi dilakukan pemerintah untuk fokus pada program-program Asta Cita yang diinisiasi pemerintahan Prabowo-Gibran.

Namun, Dante mengungkapkan bahwa sebanyak 70 persen anggaran di KND berupa perjalanan dinas. Itu sesuai dengan tugas dan fungsi KND untuk melakukan monitoring, evaluasi, advokasi, dan kerja sama.

“Pemotongan 53,9 persen pada aktivitas tersebut ditambah lagi pemotongan pada aktivitas lain sehingga benar tersisa Rp500.000.000. Namun demikian, kami tetap mengedepankan layanan pada upaya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas melalui mekanisme aduan di kanal DiTA 143 sebagai cara untuk memenuhi Asta Cita tersebut,” kata Dante lewat keterangan tertulis, Kamis (27/2/2025).

Menurut Dante, komponen anggaran perjalanan dinas selama ini sudah dilaksanakan dengan pengetatan yang dibagi ke dalam tujuh wilayah ampuan. Meskipun struktur Komisoner adalah setara eselon I, Dante bilang bahwa komisioner selalu menggunakan fasilitas ekonomis dalam hal penerbangan dan akomodasi untuk dapat menjangkau lebih banyak daerah.

Lebih jauh, Dante menyatakan bahwa proses koordinasi dan pengajuan afirmasi masih terus dilaksanakan dan masih menunggu respons positif dari Kementerian Sosial (Kemensos), mengingat hal ini juga terkait dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

“Sambil menunggu hal tersebut, tentu kami melakukan pengetatan dengan mengurangi jumlah kunjungan atau membatasi kunjungan ke wilayah yang ekonomis,” sambung Dante.

Pemerintah sebelumnya mengeklaim bahwa pemangkasan anggaran secara umum difokuskan pada pos-pos belanja yang dianggap kurang produktif atau dapat dilaksanakan dengan biaya lebih rendah, seperti alat tulis kantor, perjalanan dinas, jasa konsultan, dan kegiatan seremonial.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menegaskan bahwa efisiensi ini bertujuan untuk mengoptimalkan alokasi dana ke program-program prioritas yang memberikan manfaat langsung bagi masyarakat.

Selain itu, langkah ini diambil untuk menjaga stabilitas fiskal dan mengurangi ketergantungan pada utang negara. Dengan mengurangi belanja yang tidak efisien, pemerintah berharap dapat mengalokasikan sumber daya secara lebih optimal untuk mendukung pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

Jadi Tantangan dalam Mendorong Masyarakat Inklusif

Adinda Tenriangke Muchtar selaku Direktur Eksekutif The Indonesian Institute Center for Public Policy Research (TII) mengungkapkan bahwa pemotongan anggaran amat disayangkan karena ada yang bersentuhan dengan isu-isu krusial.

“Ini mungkin juga sangat disayangkan karena ini sebenarnya kan bagian yang disuarakan oleh mahasiswa, masyarakat sipil, media, dan sebagainya. Karena akhirnya bersentuhan dengan isu-isu yang cukup krusial,” ujar Adinda kepada Tirto, Kamis (27/2/2025).

Apalagi, proporsi anggaran KND sebanyak 70 persen adalah operasional, terutama untuk melakukan advokasi, pendampingan, fasilitasi, edukasi, dan sebagainya. Oleh karena itu, pemangkasan anggaran KND tentu menghadirkan tantangan, utamanya jika bicara dalam konteks mewujudkan masyarakat Indonesia yang inklusif.

“Bagaimana ini bisa inklusif kalau bahkan dalam sumber dayanya pun jadi ada keterbatasan. Sehingga, pastinya hal ini juga akan berpengaruh terhadap bagaimana pelayanan yang bisa diberikan Komisi Nasional Disabilitas kepada teman-teman penyandang disabilitas,” ujar Adinda.

Menurut Adinda, Indonesia masih banyak pekerjaan rumah terkait isu disabilitas, terutama soal akses. Akses yang dimaksud yakni transportasi publik, fasilitas jalan, paving yang aman, akses jalur pedestrian yang ramah penyandang disabilitas.

Selain itu, gedung atau pelayanan publik, termasuk data dan informasi yang bisa diakses oleh penyandang disabilitas, juga perlu mendapat perhatian.

“Termasuk juga isu-isu pendidikan, kesehatan, lalu kalau kita bicara juga kesetaraan dan juga jangan lupa ada undang-undang soal penyandang disabilitas. Lalu, juga ada soal kesempatan kerja yang seharusnya diberikan juga secara terbuka dan tentu berdasarkan kemampuan,” terang Adinda.

Oleh karenanya, perlu adanya peningkatan kapasitas untuk penyandang disabilitas dalam memanfaatkan fasilitas dan kesempatan itu. Terlebih, Indonesia juga masih perlu menumbuhkan kesadaran awam mengenai penyandang disabilitas dengan pendekatan komprehensif.

“Lalu, lainnya juga sebenarnya pemahaman kita bersama juga ya soal disabilitas itu seperti apa agar tidak menjadi perundungan, misalnya. Bahkan, misalnya seperti di Selandia Baru, sebenarnya bahasa simbol itu dengan tangan, sign language, itu sebenarnya merupakan salah satu bahasa nasional selain bahasa Inggris dan bahasa Maori,” ujar Adinda.

Laporan UNICEF yang disusun bersama The Smeru Institute dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia (Bappenas) menemukan bahwa di Indonesia, akses anak penyandang disabilitas ke layanan dasar, seperti pendidikan, gizi, dan kesehatan, masih lebih rendah dibandingkan dengan teman sebaya mereka yang tanpa disabilitas.

Dengan tingginya tingkat kemiskinan dan stigma, anak penyandang disabilitas mengalami eksklusi dan marginalisasi dalam semua aspek kehidupan mereka.

Pendiri dan Direktur Eksekutif Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia, M. Joni Yulianto, menyampaikan hal selaras. Menurutnya, pembenahan sektor pendidikan dan kesehatan mestinya bisa menjadi prioritas.

“Karena sektor kesehatan kita tahu bukan hanya aspek kuratif gitu ya, bukan badan, tapi juga promotif hingga rehabilitatif. Sebenarnya buat teman-teman difabel itu yang paling berbiaya mahal dalam jangka panjang adalah rehabilitatif. Gimana kebutuhan terapi yang sifatnya rutin, obat-obatan yang sifatnya rutin, yang kemudian cover-nya terbatas. Atau, ada yang tidak ter-cover sehingga menjadi biaya tambahan yang harus dikeluarkan kalau mereka mau mengakses itu,” kata Joni saat berbincang lewat telepon, Kamis (27/2/2025).

Belum lagi di dunia kerja di Indonesia masih kental diskriminasi sehingga hal itu menjadi penting terutama untuk generasi difabel usia pendidikan saat ini. Apalagi, kata Joni, jumlah difabel cenderung bertambah dari tahun ke tahun.

“Salah ketika dikatakan bahwa semakin maju negara jumlah difabelnya sedikit, itu salah. Semakin maju sebuah negara jumlah difabelnya semakin banyak. Dengan pencemaran lingkungan, dengan bertambah kecelakaan, dan lain-lain. Termasuk, invisible disability,” jelas Joni.

Oleh karenanya, Joni sepakat bahwa kebijakan pemotongan anggaran akan berdampak besar bagi monitoring dan evaluasi terkait isu-isu disabilitas. Meski begitu, perlu dilihat lebih jauh, apakah KND sebelumnya memang sudah punya kerangka yang kuat dan baik untuk melakukan monitoring dan evaluasi atau justru sebelumnya juga masih menjadi tantangan.

“Nah, kalau kita mau membandingkan dengan yang, katakanlah sebelumnya itu peran-peran itu memang sudah dilakukan dengan baik dan kemudian ini berkurang. Ya, mungkin kemudian bisa dikatakan sebagai kemunduran. Tapi, kalau sebelumnya pun itu masih menjadi tantangan untuk dilakukan, ya mungkin tidak akan ada banyak perbedaan,” ujar Joni.

Sebab, menurut Joni, pemenuhan hak difabel bukan hanya ditentukan oleh kinerja KND, tapi ditentukan oleh kinerja K/L yang lain. Jadi, isu pemangkasan anggaran KND ini bukan hanya soal KND, tetapi juga soal keperpihakan pemerintah secara umum.

Pemerintah Perlu Beri Sosialisasi yang Jelas

Efisiensi anggaran KND memang sarat konsekuensi. Menurut Adinda, KND perlu beradaptasi dan melakukan kolaborasi pentahelix alias melibatkan lima unsur dalam masyarakat, termasuk akademisi.

“Itu menjadi penting sehingga dia [KND] perlu bertemu dengan teman-teman organisasi penyandang disabilitas atau yang concern dengan isu-isu sosial, pemberdayaan masyarakat agar bisa bekerja sama, menggunakan sumber daya dan kerja-kerja bersama yang kolaboratif untuk memenuhi dan mengatasi tantangan-tantangan untuk memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas di Indonesia. Termasuk dengan pihak swasta, karena kalau mengandalkan 100 persen ke pemerintah, saya rasa juga enggak mungkin,” terangnya.

Adinda mendesak pemerintah untuk melakukan sosialisasi dan komunikasi kebijakan yang jelas. Dengan kata lain, pemerintah semestinya memberikan bimbingan agar KND punya gambaran terkait pemanfaatan anggaran secara optimal dan K/L mana saja yang bisa membantu.

“Karena, saya percaya KND juga gak bisa berdiri sendiri, mungkin bisa bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan, Kemenko PMK, atau Pemberdayaan Masyarakat, Kementerian Sosial,” ujar Adinda.

Dengan demikian, masing-masing K/L itu bisa saling mengalokasikan persentase sumber dayanya, khususnya dana atau mungkin ekspertis, dalam mengatasi atau melakukan pelayanan terkait penanganan disabilitas. Harapannya, kata Adinda, keterbatasan anggaran yang ada bisa ditutup dengan kolaborasi itu.

Sementara itu, Joni dari SIGAB menegaskan bahwa efisiensi anggaran mestinya bisa mempertimbangakan dampak langsung terhadap masyarakat.

“Sebenarnya dengan pengurangan anggaran, katakanlah kementrian X dapetnya cuman sekian triliun. Yang kalau mau efisiensi efisiensikan hal-hal yang kaitannya dengan urusan operasional. Tapi, jangan dikorbankan pelayanan publiknya. Jangan dikorbankan apa yang seharusnya menjadi hak masyarakat,” jelas Joni.

Baca juga artikel terkait HAK DISABILITAS atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Fadrik Aziz Firdausi