Menuju konten utama

Kepercayaan Publik Tersapu Isu BBM Oplosan, Pertamina Harus Apa?

Pertamina perlu membuktikan bahwa Pertamax adalah asli RON 92, bukan oplosan dari RON 90.

Kepercayaan Publik Tersapu Isu BBM Oplosan, Pertamina Harus Apa?
Petugas melayani pengisian bahan bakar minyak (BBM) jenis pertamax di SPBU Asaya, Semarang, Jawa Tengah, Kamis (27/2/2025). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/wpa.

tirto.id - Ilyas Istianur Praditya mulai putar haluan. Dia kini memilih untuk menggunakan produk bahan bakar minyak (BBM) dari perusahaan swasta berkelir kuning, alih-alih memakai bahan bakar dari Pertamina. Alasannya sederhana: kecewa.

Kepercayaan Ilyas pada perusahaan pelat merah itu hilang setelah pemberitaan dugaan pencampuran Pertalite RON 90 menjadi Pertamax RON 92 beredar luas.

“Kenapa putar haluan? Ya gara-gara isu Pertamax oplosan. Meski Pertamina menjelaskan berbagai pembelaan, sepertinya rakyat ini sudah tidak percaya dengan omongan pejabat negara ini,” ujar Ilyas kepada reporter Tirto, Kamis (27/2/2025).

Dugaan pengoplosan tersebut ramai setelah Kejaksaan Agung mengungkap kasus dugaan korupsi pengelolaan minyak mentah dan produk dari kilang di PT Pertamina, sub holding, serta kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) periode 2018-2023 pada Senin (24/2/2025).

Para tersangka kasus tersebut diduga mengimpor BBM dengan kadar RON 90 atau setara dengan Pertalite. Padahal, dalam kesepakatan dan pembayarannya tertulis pembelian BBM dengan RON 92 alias setara dengan Pertamax. BBM RON 90 itu kemudian di-blending di storage atau depo untuk menjadi RON 92.

Setelah kasus dugaan korupsi di Pertamina dan pengoplosan BBM itu terungkap ke publik, Pertamina membuat maklumat bahwa Pertamax dan produk-produk Pertamina lainnya memiliki kualitas yang baik dan sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan oleh Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas) Kementerian ESDM.

Pertamina bahkan menyatakan bahwa mereka melakukan pengujian secara berkala dengan pengawasan ketat oleh Kementerian ESDM melalui Balai Besar Pengujian Minyak dan Gas Bumi (LEMIGAS).

Namun, Ilyas menganggap bantahan tersebut tidak memuaskan. Untuk sementara waktu, Ilyas memilih untuk menggunakan produk BBM dari perusahaan swasta. Pertamax dan produk Pertamina lainnya hanya akan dia pakai sebagai opsi terakhir.

“Jika ada SPBU, misalnya, Shell di suatu kota, kini menjadi pilihan utama dan menjadikan SPBU Pertamina sebagai opsi terakhir. Karena, belum banyak SPBU swasta di kota-kota,” ujar pekerja swasta tersebut.

Andhika Prasetyo justru lebih dulu pindah ke lain hati sejak akhir 2024. Dia memilih menggunakan BBM produksi swasta usai menonton unggahan media sosial yang mengabarkan tentang kerusakan sejumlah kendaraan yang menggunakan Pertamax.

“Saya jadi konsumen Shell karena saya merasa produk ini lebih bagus ketimbang punya Pertamina,” ujar Andhika kepada Tirto, Kamis (27/2/2025).

Andhika mengamati bahwa laju kendaraannya terasa lebih halus setelah beberapa bulan menggunakan produk Shell. Baginya, harga mahal tak jadi masalah karena produk Shell lebih berkualitas. Tingkat keiritannya pun jauh lebih baik dibandingkan produk BUMN.

“Dengan jumlah liter yang sama, Shell bisa menempuh jarak yang lebih jauh. Ini sekadar asumsi dari yang saya rasakan. Kemudian dari sisi pelayanan, Shell juga sudah jauh lebih maju karena bisa menerima pembayaran melalui QRIS,” jelas Andhika.

Pertamina Harus Berbuat Apa?

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep), Bisman Bakhtiar, tidak menampik bahwa publik atau konsumen yang kecewa pada Pertamina berpotensi pindah ke produk BBM perusahaan swasta. Namun, dampak pergeseran itu diperkirakan tidak akan signifikan.

“Jadi, dampaknya tidak akan besar bagi Pertamina,” ujar Bisman kepada Tirto, Kamis (27/2/2025).

Terlebih, jenama Pertamina saat ini sudah cukup kuat bila dibandingkan swasta yang jaringan distribusinya masih sangat terbatas. Jika melihat data konsumsi penggunaan BBM Pertamina, tingkat konsumsi Pertamax dan Pertalite terbilang masih cukup tinggi.

Menurut data Kementerian ESDM yang dihimpun Databoks, konsumsi Pertamax di Indonesia sepanjang 2022 mencapai 5,77 juta kiloliter (kl). Konsumsi itu meningkat sekitar 60 ribu kiloliter atau 1,05 persen dibanding 2021.

Sementara itu, konsumsi Pertalite secara nasional juga terus meningkat. Pada 2015, seturut data yang dihimpun Databoks, total konsumsi Pertalite di sektor transportasi Indonesia baru sekitar 380 ribu kl. Konsumsinya terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya hingga mencapai 30,2 juta kl pada 2023. Itu pun tercatat sebagai rekor baru.

Secara kumulatif, konsumsi Pertalite periode 2015-2023 sudah tumbuh sekitar 7.800 persen atau melonjak 79 kali lipat.

Oleh karenanya, lanjut Bisman, Pertamina mesti bisa menggaet kembali kepercayaan publik dengan melakukan klarifikasi dan komunikasi publik yang intensif. Sebab, klarifikasi terkait kualitas produk dan jaminan keamanan menjadi salah satu hal penting yang perlu disampaikan oleh perusahaan pelat merah ini.

“Pertamina harus membangun kepercayaan publik kembali dan meyakinkan bahwa semuà produk aman, maupun masalah clean corporate governance,” ujar dia.

Sementara itu, peneliti NEXT Indonesia, Herry Gunawan, mengatakan bahwa yang perlu dilakukan oleh Pertamina saat ini adalah memitigasi potensi risiko lebih lanjut dengan cara meyakinkan konsumen bahwa yang terjadi bukan pengoplosan. Perlu ada pembuktian bahwa Pertamax adalah asli RON 92, bukan oplosan dari RON 90.

“Ini harus segera. kasus ini sangat berisiko bagi Pertamina. Karena persepsi masyarakat, kasusnya adalah oplosan,” ujar dia kepada Tirto, Kamis (27/2/2025).

Menurut Herry, kasus Pertamina Patra Niaga tersebut memiliki dua aspek persoalan. Pertama, soal tata impor yang para tersangkanya sudah diamankan kejagung. Tuduhannya adalah "manipulasi" stok sehingga perlu impor.

Persoalan kedua adalah aspek tata kelola produksi yang tercermin dari dugaan pengoplosan BBM.

“Persoalannya, Kejagung gak menunjukan locus delicti atau tempat kejadian tindak pidana pengoplosan itu. Kalau memang ada, kan, mestinya lokasi itu sudah disegel,” jelas Herry.

Herry khawatir jangan-jangan kasus sebenarnya bukan soal BBM oplosan, tapi hanya soal tata kelola impor. Kalau ini yang terjadi, Pertamina tentu sangat dirugikan. Oleh sebab itu, Pertamina sebaiknya berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung untuk minta klarifikasi.

“Keduanya, kan, instrumen negara. Tentu bukan bermaksud mempengaruhi proses hukum yang berjalan, tapi klarifikasi untuk mitigasi risiko,” jelas dia.

Penjelasan Pertamina & DPR

Terkait dugaan Pertamax oplosan tersebut, Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, meluruskan bahwa proses blending dan oplosan itu berbeda. Dia menyebut bahwa BBM nonsubsidi itu tetap sesuai dengan standar dan memenuhi semua parameter yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM.

"Pemerintah melalui Kementerian ESDM juga terus melakukan pengawasan mutu BBM dengan cara melakukan uji sampel BBM dari berbagai SPBU secara periodik," terang dia.

Menurut Fadjar, pengoplosan adalah istilah pencampuran yang tidak sesuai dengan aturan. Sementara itu, proses blending merupakan praktik umum (common practice) dalam produksi bahan bakar.

Proses blending yang dimaksud Pertamina adalah proses pencampuran BBM atau dengan unsur kimia lain untuk mencapai kadar oktan atau RON tertentu dan parameter kualitas lain.

Wakil Ketua Komisi XII DPR, Bambang Haryadi, ikut memastikan bahwa tidak ada skema pengoplosan dalam proses produksi BBM Pertamina. Dia juga menegaskan bahwa blending dan pengoplosan merupakan dua skema yang berbeda.

“Ini harus digarisbawahi. Enggak ada itu skema oplosan. Itu enggak ada. Skema blending itu betul. Kita harus bedakan skema blending dengan oplosan,” ucap Bambang Haryadi ketika melakukan sidak di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Pertamina di Jakarta, Kamis (27/2/2025).

Skema pengoplosan, menurut Bambang, terjadi apabila bensin dicampur dengan minyak tanah atau cairan lain yang kemudian mengubah kualitas bensin menjadi lebih buruk.

“Itu oplosan. Sedangkan, semua jenis bensin itu pasti di-blending. Mau di kilang pun akan di-blending,” kata Bambang.

Baca juga artikel terkait KASUS KORUPSI PERTAMINA atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi