Menuju konten utama
Newsplus

Menilik Narasi Antek Asing Prabowo dalam Hadapi Kritik Publik

Di era demokrasi dan keterbukaan informasi seperti saat ini, narasi demikian dianggap ketinggalan zaman.

Menilik Narasi Antek Asing Prabowo dalam Hadapi Kritik Publik
Presiden Prabowo Subianto memberikan sambutan saat penyerahan zakat kepada Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) di Istana Negara, Jakarta, Kamis (27/3/2025). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/rwa.

tirto.id - Narasi ‘kekuatan asing’ kembali digaungkan Presiden Prabowo Subianto dalam merespons sejumlah isu yang terjadi di masyarakat. Terbaru, hal ini disebut Prabowo dalam sebuah wawancara dengan enam pemimpin redaksi (pemred) media yang digelar di Hambalang, Bogor, Prabowo menanggapi gelombang aksi unjuk rasa di sejumlah daerah yang terjadi di awal pemerintahannya.

Awalnya, Prabowo menyebut aksi demonstrasi adalah hal yang wajar dilakukan di negara demokrasi asal berlangsung dengan damai.

Namun, di satu sisi Prabowo meminta masyarakat untuk objektif dalam menilai apakah demo-demo yang terjadi tersebut adalah murni aspirasi dari masyarakat atau ada yang membayar.

“Coba perhatikan secara objektif ya, apakah demo-demo itu murni atau ada yang bayar? Harus objektif dong,” ucap Prabowo dikutip dari siniar Narasi TV yang tayang pada Senin (7/4/2025)

Presiden RI ke-8 tersebut juga menyebut soal upaya untukmewaspadai adanya potensi kehadiran kekuatan asing yang ingin mengadu domba masyarakat Indonesia.

“Selalu dalam pengelolaan suatu negara, kita waspada, apakah ada kelompok-kelompok atau kekuatan asing yang ingin adu domba. Ini berlaku lazim,” ujar Prabowo.

Prabowo memberikan contoh pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang membubarkan USAID setelah lembaga tersebut diklaim memberikan pendanaan terhadap sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Gelombang aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dan sejumlah elemen masyarakat sipil memang pecah dalam beberapa waktu terakhir. Sejumlah isu yang disuarakan dalam aksi di antaranya soal penolakan atas revisi UU TNI hingga soal efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah.

Bukan Kali Pertama

Bukan kali pertama Presiden Prabowo menggunakan narasi ‘kekuatan asing’ atau ‘antek asing’ dalam pidato atau perkataannya. Saat ia berpidato dalam momen ulang tahun Partai Gerindra di Sentul, Jawa Barat pada 15 Februari 2025 lalu, misalnya, kepala negara tersebut menyebut ada kekuatan asing yang ingin memecah belah Indonesia melalui organisasi non-pemerintah dan media massa.

“Kalau ada yang dihasut-hasut atau mau menghasut, waspada. Ini saya katakan ulah kekuatan asing yang selalu ingin pecah belah Indonesia. Nanti terkuak LSM yang dibiayai oleh negara asing. Nanti terkuak media-media yang pemilik sebenarnya adalah orang asing," kata Prabowo saat pidato di HUT Partai Gerindra ke-17 di SICC, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (15/2/2025).

Jika ditarik ke belakang, penggunaan narasi ‘antek asing’ telah lama digunakan oleh Prabowo bahkan sejak ia belum menjabat sebagai Presiden RI. Saat mantan Danjen Kopassus itu menjabat Menteri Pertahanan RI (Menhan) misalnya, ia menyinggung pihak yang selalu menjelek-jelekkan program food estate adalah antek-antek asing.

“Makanya kalo ada orang yang jelek-jelekin gak boleh food estate, inilah itulah, saya kuatir ini antek-antek asing yang minta Indonesia selalu lemah, selalu miskin,” ujarnya dalam acara Pembinan Penyuluh Pertanian dan Petani serta Food Estate Partisipatif Jawa Barat, di Pusat Pemerintahan Sumedang pada Selasa (30/1/2024), seperti yang dikutip dari videoKompas.com.

Penggunaan narasi antek asing juga telah digunakan Prabowo saat masih berstastus sebagai calon presiden (capres) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 lalu tepatnya saat ia berpidato di Stadion Kridosono, Sleman, dalam rangkaian kampanye terbuka pada Senin, 8 April 2019.

Saat menyinggung netralitas TNI dan Polri, nada Prabowo meninggi: "Hai adik-adikku, kau yang ada di tentara, polisi yang masih aktif. Ingat kau adalah tentara rakyat, kau polisi rakyat. Seluruh rakyat Indonesia."

Tangannya kemudian menggebrak meja podium. Mantan Komandan Jenderal Kopassus itu berkata, "Kau tidak boleh mengabdi pada segelintir orang, apalagi membela antek-antek asing, apalagi kau bela antek-antek asing."

Pertanyaannya, apa yang membuatnya selalu menyebut soal 'antek asing' dalam narasi kampanye d

Pengalaman Traumatis Prabowo?

Analis politik yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro, menilai narasi komunikasi Prabowo yang acapkali menyinggung soal ‘antek asing’ atau ‘kekuatan asing’ sedikit banyak dipengaruhi oleh pengalaman pribadi Prabowo terhadap bangsa asing.

Ia mencontohkan, Prabowo lahir dan tumbuh di masa kepemimpinan Presiden Soekarno yang mana pada saat itu dia melihat secara historik perjalanan bangsa kita yang dulu dijajah dan itu banyak disebabkan oleh politik adu domba yang dilakukan oleh asing atau penjajah.

“Sehingga saya melihat ada semacam trauma historik ataupun politis yang melekat dalam diri Pak Prabowo saat bicara tentang asing. Walaupun dia memang mendapat pendidikan asing ya selama masa dia bersekolah. Tapi yang dia dapatkan kesan negatif,” ujar Agung saat dihubungi Tirto, Kamis (10/4/2025)

Agung melihat kebiasaan Prabowo menggunakan narasi menyalahkan asing ini merupakan pergulatan antara pengalaman pribadi Prabowo secara individual, dengan pengalaman dia mengelola negara saat ini. Dari dua jenis pengalaman itu, Prabowo acapkali mendapatkan kesan negatif dari asing.

“Misal dalam kasus perang dagang dengan Amerika atau kemarin dia (Prabowo) cerita juga soal dia mau jualan produk pertanian kita dipersulit. Eropa bisa masukin Mercedes Benz, BMW. Kita mau jual kelapa sawit di Eropa malah dilarang. Jadi, kekesalan (terhadap asing) itu memuncak saya lihat,” ujarnya.

Meski begitu, Agung menyoroti ketika narasi ‘antek asing’ ini diucapkan oleh Prabowo yang secara institusional menjabat sebagai kepala negara, narasi atau jargon itu bisa menjadi perdebatan.

Misalnya, saat membahas soal aksi demonstrasi mahasiswa dan kelompok sipil yang ditengarai ditunggangi oleh kelompok asing atau ketika ia mendapat kritikan atas kebijakan atau kondisi negara terkini.

Dari konteks komunikasi politik, ia melihat hal ini salah satunya karena Prabowo sering memadamkan masalah-masalah yang dibuat bawahannya atau seringkali pasang badan dengan kesalahan pembantunya.

“Beliau terlalu banyak melihat problematika jadi dalam tanda petik sering membuat simplifikasi dan generalisasi, bahwa yang mengkritik itu adalah asing. Sama kayak demo tadi. Jadi kalau saya lebih kepada kembalikan ke kementerian teknis direspon case by case isunya, supaya tidak apapun masalahnya jawabannya asing,” ujarnya

Strategi Populis Raih Simpati Publik dan Ciptakan Musuh Bersama

Di sisi lain, akademisi sekaligus pakar komunikasi politik dari Universitas Padjadjaran Bandung, Kunto Adi Wibowo menyebut dalam ranah komunikasi politik penggunaan narasi antek asing oleh Prabowo bisa digunakan untuk meraih simpati dan menciptakan sebuah musuh bersama.

“Pertama, menyatukan kita sebagai sebuah identitas. Lalu yang kedua, menempatkan diri Prabowo sebagai seseorang yang dianggap patriotik dan nasionalis karena dianggap membela kepentingan Indonesia,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Kamis (10/4/2025)

Kunto melihat bahwa Prabowo selama ini memandang sebuah negara sebagai satu entitas keluarga. Dimana, ia berperan sebagai bapak dan masyarakat adalah anak-anaknya yang sedang berkompetisi dengan entitas asing.

“Dan semua usaha asing dianggap melemahkan kedaulatan negara. Cara berpikir ini sih kalau menurut saya yang jadi masalah. Ketika cara berpikir politik dunia masuk ke politik dalam sebuah negara tanpa ada filter dan tanpa ada pemisahan yang bagus,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Kunto menilai strategi komunikasi politik ini juga bisa dilihat sebagai bentuk retorika yang dibangun Prabowo untuk membangun simpati publik demi mengalihkan perhatian atas permasalahan kebijakan.

“Memang ini strategi retorika yang juga membangun simpati populis gitu kan. Bahwa kalau ada yang gagal dengan kebijakannya ya itu salah asing. Kalau ada yang ribut-ribut ya itu pasti asing. Jadi semua yang jelek akan disematkan pada asing. Dan dengan demikian dia menghindari akuntabilitas,” ujarnya.

Presiden resmikan Kawasan Ekonomi Khusus di Batang

Presiden Prabowo Subianto meyampaikan sambutan saat kunjungan kerja di KITB, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Kamis (20/3/2025). ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra/rwa.

Terpisah, analis sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, melihat ada dua hal penting yang dapat ditafsirkan dari seringnya Prabowo menggunakan narasi ‘antek asing’ untuk merespons berbagai isu, misalnya demonstrasi mahasiswa.

Pertama, kemungkinan besar Prabowo menggunakan teknik komunikasi yang disebut dengan red herring. Ini adalah teknik untuk mengalihkan arah pembicaraan karena mungkin kesulitan menjawab suatu isu, yang dilakukan adalah melempar isu baru.

“Kalau diperhatikan, karena bukan seorang retoris, Prabowo memang kesulitan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kompleks yang membutuhkan retorika. Sebagai alternatif Prabowo kemudian menjawab dengan cara mengalihkan isu, misalnya dengan menyebut 'antek asing',” ujarnya saat dihubungi Tirto, Kamis (10/4/2025)

Selain Prabowo, Musfi melihat banyak pejabat di Indonesia ini yang menggunakan teknik komunikasi ini untuk menjawab beragam permasalahan.

“Misalnya Bahlil pada isu #KaburAjaDulu, jawabannya justru meragukan nasionalisme. Ini kan tidak nyambung, dan tujuannya memang membuat distraksi isu. Jadi, memang dapat dikatakan red herring itu seolah menjadi gaya komunikasi yang paling banyak digunakan oleh pejabat yang tidak tau harus menjawab apa terhadap suatu isu,” ujarnya

Kedua, Musfi menilai penggunaan narasi ‘antek asing’ menunjukkan kalau Prabowo tidak mengikuti perkembangan zaman.

Ia menjelaskan, narasi 'us vs them' memang menjadi narasi yang sangat populis dulunya, khususnya di era Perang Dunia dan Perang Dingin. Tapi di era demokrasi dan keterbukaan informasi seperti saat ini, narasi semacam itu sudah sangat ketinggalan zaman.

Menurut Musfi, saat ini arus informasi sangat terbuka, bebas, dan bersifat real time. Masyarakat menjadi sangat kritis dan membutuhkan jawaban-jawaban yang sifatnya solutif.

“Saya kira ini menjadi catatan serius terhadap gaya komunikasi Presiden Prabowo. Sebaiknya Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) membuat SOP atau guideline terkait bagaimana Presiden menjawab dan merespons suatu isu,” tutup Musfi

Tirto menghubungi pihak Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) melalui Tenaga Ahli Utama PCO, Albert Tarigan pada Kamis (10/4/2025) pagi untuk memberikan tanggapan terkait isu ini. Namun, hingga Kamis (10/4/2025) siang kami belum mendapatkan respons balasan.

Baca juga artikel terkait PRABOWO atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - News
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Farida Susanty