Menuju konten utama

Biaya Food Estate dari Investasi, Apakah Ada Investor yang Mau?

Ekonom menilai bahwa investor pasti akan pikir panjang jika ditawari investasi di proyek food estate yang rawan gagal.

Biaya Food Estate dari Investasi, Apakah Ada Investor yang Mau?
Wamenhan M. Herindra mendampingi Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman meninjau lokasi food estate di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Senin (11/12/2023). FOTO/kemhan.go.id/

tirto.id - Pembiayaan proyek lumbung pangan atau food estate kini diarahkan tak lagi menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebagai gantinya, proyek mercusuar Presiden Joko Widodo itu akan menggunakan alternatif pembiayaan lain dari investasi.

Pada APBN 2024, pemerintah telah menganggarkan Rp108,8 triliun untuk mendukung ketahanan pangan nasional, termasuk program food estate. Anggaran jumbo tersebut, sempat terkuak saat Jokowi menyampaikan keterangan pemerintah atas Undang-Undang APBN Tahun Anggaran 2024 beserta Nota Keuangan di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada 16 Agustus 2023.

Alokasi anggaran tersebut terbilang jumbo. Oleh karena itu, wajar bila Kepala Negara ingin ada skema pembiayaan lain untuk mengurangi beban APBN. Maka Jokowi ingin mengundang investor untuk berinvestasi membiayai proyek food estate.

"Yang kita dorong saat sekarang ini adalah investasi, bukan dari APBN," kata Jokowi dalam kunjungannya di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Kamis (27/6/2024).

Pengembangan food estate diketahui merupakan salah satu Program Strategis Nasional (PSN) 2020–2024 dalam rangka memperkuat dan menjaga ketahanan pangan. Implementasi pengembangan food estate dibangun di Provinsi Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Timur (NTT) sejak 2020. Sesuai rencana, proyek ini akan terus dikembangkan sampai 2024.

Pada 2020, luas lahan food estate dicanangkan 322 hektar. Lalu, luasnya ditambah lagi 340 hektar pada 2022 sehingga totalnya menjadi 662 hektar. Pada 2024 ini, pemerintah kembali mengembangkan lahan food estate seluas 338 hektar sehingga luasnya secara keseluruhan mencapai 1.000 hektar.

Komoditas yang ditanam dalam proyek food estate ini beragam. Mulai dari cabai, bawang merah, bawang putih, padi, jagung, kentang, dan beberapa tanaman pangan lain.

Investor Bakal Pikir Panjang

Jika ingin menawarkan pembiayaan proyek ini ke investor, pemerintah tentu perlu lebih dulu membuktikan bahwa proyek food estate ini prospektif. Jika tidak, investor tentu akan berpikir panjang untuk masuk.

"Kalau ditawarkan ke investor, investor tentu saja akan melihat bagaimana tingkat profitabilitas daripada proyek tersebut," ujar Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, kepada Tirto, Kamis (27/6/2024).

Sejak awal dicanangkan, pengembangan food estate sebenarnya diwarnai pro dan kontra. Sorotan utama perdebatan itu adalah penggunaan lahan hutan untuk proyek ini. Hal itu tentu saja bakal menambah permasalahan lingkungan di kemudian hari.

"Kalau kemudian ini mau terus coba dikembangkan dengan konsep yang sama, justru di satu sisi merusak lingkungan dan di sisi lain merusak anggaran. Tentu saja mereka [investor] akan memperhitungkan investasinya," kata Faisal.

Faisal mengaku heran dengan langkah yang dicanangkan oleh Jokowi. Pasalnya, proyek food estate selama ini menemui banyak kegagalan. Tujuannya untuk meningkatkan produksi pangan pun nisbi tak tercapai dan malah merusak lingkungan.

Lantas, mengapa pemerintah masih bersikukuh untuk melanjutkan proyek ini dan sekarang malah ditawarkan ke investor.

Dalam studi bertajuk “Analisis Implementasi Program Food Estate sebagai Solusi Ketahanan Pangan Indonesia” (2023, PDF), Alsafana Rasman dkk. menyebut bahwa proyek food estate yang dimulai pada 2020 di Kalimantan Tengah di bekas proyek lahan gambut dengan komoditas padi dinyatakan gagal.

Kegagalan food estate Kalimantan Tengah itu seturut penelitiannya terjadi karena banyak faktor. Salah satunya adalah pemaksaan perubahan pola tanam yang mengakibatkan gagal panen serta hasil produksi yang tidak maksimal untuk periode selanjutnya.

Biang lainnya adalah implementasi kegiatan skema ekstensifikasi di kawasan pertanian yang tidak berjalan maksimal. Lain itu, lahan yang dibuka oleh pemerintah ternyata tergolong belum siap untuk ditanami karena masih banyak sisa-sisa kayu dan akar yang tidak dibersihkan.

Program food estate di Gunung Mas yang dimulai pada 2021 dengan luas 31.000 ha pun bernasib serupa. Food estate tersebut dibuka di kawasan hutan produksi dengan komoditas singkong dan gandum.

Kegagalan food estate Gunung Mas di antaranya disebabkan ketiadaan skema pembebasan lahan kepemilikan masyarakat. Perencanaan program dan studi lingkungannya pun tak dilakukan secara optimal.

Satu lagi contoh kegagalan food estate yang mencolok adalah proyek-proyek di Sumatra Utara yang dimulai pada 2021 dengan luas lahan 30.000 ha. Di sana, pemerintah mencoba menanam beberapa komoditas sekaligus, yaitu kentang, bawang merah, dan bawang putih.

Faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan proyek lumbung pangan itu di antaranya kondisi akses menuju kawasan food estate yang curam dan berbahaya, tidak adanya pelibatan petani dalam proses tanam, persoalan lahan, hingga masalah praktik pertanian yang dianggap berdampak pada laju deforestasi.

Menilik masalah-masalah yang bertumpuk tersebut, Faisal menilai pemerintah pasti akan kesulitan mencari investor yang mau menggarap food estate lebih lanjut.

"Ini kemungkinan besar hanya sebagian kecil [investor] yang tertarik. Dan kemungkinan dari sebagian kecil yang tertarik itu, setelah kemudian melakukan investigasi lebih lanjut, ya bisa jadi tidak jadi," jelasnya.

Pengamat pertanian dari CORE, Eliza Mardian, menambahkan bahwa investor dewasa ini pasti akan mempertimbangkan aspek-aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) sebelum mengambil keputusan investasi. Para investor pun umumnya lebih melirik proyek-proyek yang telah menunjukkan peningkatan kinerja pada ketiga bidang tersebut.

"Ini juga yang perlu diperhatikan pemerintah karena faktor ESG kini jadi pertimbangan utama investor global dalam berinvestasi. Ini seiring dengan meningkatnya dampak pemanasan global," jelas Eliza kepada Tirto, Kamis (27/6/2024).

Menurut Eliza, program food estate sebenarnya bukan semata-mata berkait dengan isu ketahanan pangan. Ia mencakup pula isu lingkungan karena pada praktiknya, ia dilakukan dengan membuka kawasan hutan dan mendorong deforestasi.

Program ini pun sebenarnya bertentangan dengan target pemerintah yang ingin mengurasi emisi karbon. Pasalnya, hutan adalah penyimpan karbon alami yang semestinya dijaga. Jika hutan terus dibabat untuk program yang nyata-nyata gagal, Indonesia jelas bakal kehilangan carbon sink-nya.

Carbon sink dalam konteks perubahan iklim mengacu pada suatu entitas alami atau buatan yang mampu menyerap dan menyimpan karbon dioksida (CO2) dari atmosfer. CO2 adalah salah satu gas rumah kaca utama yang bertanggung jawab atas pemanasan global.

"Maka dari itu pemerintah ini perlu konsisten dalam membuat program agar sesuai dengan tujuan besarnya. Karena, jika kurang konsisten, maka kepercayaan investor ini dapat terpengaruh," jelas Eliza.

Lahan Food Estate Untuk Keperluan Lain?

Sementara itu, ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, justru mengkhawatirkan potensi alih fungsi lahan food estate jika pembiayaan proyek ini ditawarkan ke investor. Pasalnya, investor yang masuk pasti akan melakukan penguasaan lahan.

"Mereka tentu sudah berhitung. Jika hanya operasional produksi, tidak menarik bagi mereka. Maka mereka butuh kepastian lahan. Bisa jadi, peruntukan lahan food estate untuk keperluan lain. Itu yang saya takutkan," kata Huda kepada Tirto, Kamis (27/6/2024).

Huda juga menuturkan bahwa proyek food estate ini merupakan salah satu legacy buruk pemerintahan Jokowi. Pasalnya, proyek ini tidak mampu membawa dampak positif bagi Indonesia, meski dilambari tujuan untuk meningkatkan produktivitas pertanian.

Karena implementasinya cenderung buru-buru dan tidak sesuai dengan kearifan lokal, dampak yang dihasilkan food estate pada akhirnya terlalu kecil. Bahkan, proyek yang dijalankan oleh Kementerian Pertahanan (Kemenhan) ini bisa dikategorikan sebagai proyek gagal total.

"Ketika APBN dimasukkan untuk membiayai program food estate, maka akan menjadi satu kesia-siaan anggaran. Makanya, mereka mencoba untuk menarik investor," jelas Huda.

Untuk mendapat tanggapan dan gambaran yang lebih jelas serta berimbang terkait persoalan ini,Tirto mencoba menghubungi Ketua Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), Wahyu Utomo.

Keterangan dari Wahyu penting untuk memberi kejelasan mengenai rencana pembiayaan program food estate dari dana dari investasi. Tirto juga sudah meminta konfirmasi mengenai kebutuhan anggaran program food estate hingga kriteria investor yang berhak masuk.

Namun, hingga laporan ini dirilis, Wahyu Utomo tidak merespon pertanyaan yang diajukan Tirto.

Baca juga artikel terkait FOOD ESTATE atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi