tirto.id - “Saya dipukul di belakang sini,” kata Muhadik sambil memegang leher bagian belakang. Setelah menerima pukulan itu, Muhadik diseret ke rumahnya lalu dikurung di kamar. Teman-teman Muhadik—para warga transmigrasi di desa Bujuk Agung, Tulang Bawang, Lampung—dipaksa satu per satu untuk menandatangani blangko. Bagi yang menolak bakal bernasib sama seperti Muhadik.
Muhadik masih ingat wajah anggota tentara yang menganiayanya. Kekerasan itu ia terima karena ia mengajak warga menolak untuk menyerahkan tanah mereka kepada PT Bangun Nusa Indah Lampung (BNIL).
“Kejadian itu awal tahun 1993. Namanya Supriadi. Dia yang menyeret saya. Saya sudah dapat bocoran dari pegawai PT BNIL, kalau akan ada ganti rugi Rp100 ribu. Saya selaku kepala dusun waktu itu kemudian memberitahu warga. Jangan mau tanah 1 hektare diganti Rp100 ribu,” ujar Muhadik.
Kisah itu diceritakan Muhadik setelah dia dan perwakilan warga tujuh desa di Tulang Bawang bertemu anggota Komisi II DPR RI Budiman Sudjatmiko dan Ammy Amalia Fatma Surya di ruang tamu Komisi, pertengahan September 2016. Tujuan Muhadik ke sana meminta politikus PDIP dan PAN itu—yang salah satu tugasnya menangani urusan agraria dan desa—membantu warga mendapatkan tanah yang direbut paksa oleh PT BNIL.
“Kami ingin tanah kami kembali,” tegas Muhadik.
Alih-alih mendapatkan tanahnya kembali, kolega seperjuangan Muhadik kini justru terancam bui. Hasanudin, Juanda, Rajiman, Sugianto, Sujarno, Sukirji, dan Sukirman kini menghadapi persidangan karena dituding "provokator kerusuhan" di lahan PT BNIL pada 1 Oktober 2016. Sejak awal, kriminalisasi itu diperkirakan akan terjadi. Tujuannya untuk melemahkan gerakan warga yang menuntut lahan mereka kembali.
Menghadapi Persidangan
Kuasa hukum warga, Chandra Bangkit Saputra dari LBH Lampung mengatakan saat ini sudah ada lima warga yang dituntut 3 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum Pengadilan Negeri Menggala. Lima warga itu adalah petani dan pemilik tanah yang direbut PT BNIL, yakni Hasanudin, Sujarno, Sukirji, dan Sukirman, serta Sugianto, pendeta pendamping warga.
Kelimanya dijerat pasal 160 KUHP tentang penghasutan. “Dakwaan JPU itu dakwaan alternatif. Tapi saat tuntutan menggunakan pasal 160 KUHP. Ada beberapa hal yang menjadi catatan kami dari tuntutan JPU itu, karena ini cukup aneh tuntutannya,” kata Bangkit lewat telepon, 22 Februari lalu.
Keanehan tuntutan itu lantaran dalam persidangan tidak ada fakta yang menunjukkan kelimanya terbukti melakukan penghasutan. Menurut Bangkit, JPU hanya berpegang pada Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Polisi, tidak berdasarkan pada fakta persidangan.
Salah satunya dalam berkas tuntutan terhadap Sugianto. Tuntutan didasarkan pada BAP yang menyebutkan Sugianto membuat brosur provokasi dan ajakan aksi. Padahal polisi sendiri mengakui jika brosur itu ditemukan di dalam kardus di sekretariat warga.
“Brosur itu tidak disebarkan. Polisi menemukan utuh. Isinya pun tidak ada provokasi, tapi tentang organisasi,” tutur Bangkit.
Selama persidangan pun tidak ada saksi yang melihat, mendengar, dan merasakan langsung penghasutan sebagaimana yang tertuang dalam pasal 160 KUHP.
“Pak Sukirman dituduh mengajak warga menggunakan toa untuk aksi. Tapi tidak ada saksi yang melihat langsung,” tambah Bangkit.
Begitu pula Sujarno yang dituduh mengajak warga melakukan perusakan pada 1 Oktober 2016. Dalam persidangan, tidak ada saksi yang mengatakan bahwa mereka menyaksikan secara langsung kejadian itu. Meski begitu, jaksa tetap menjatuhkan tuntutan 3 tahun penjara.
Untuk mengonfirmasi keterangan Bangkit, Tirto menghubungi jaksa Andi Pramono dan PT BNIL pada 24 Februari lalu. Saat dikontak, nomor Andi tidak aktif. Sementara tidak ada yang menjawab ketika Tirto mengontak nomor kantor PT BNIL di Lampung. Demikian juga pengacaranya yang tidak bisa dihubungi.
Solidaritas Warga
Kamis siang, 23 Februari lalu, seratusan warga berkumpul di depan Pengadilan Negeri Menggala. Sebagian adalah petani yang bersengketa dengan PT BNIL. Sebagian lagi adalah petani dari beberapa daerah seperti Jambi dan Palembang yang pergi ke pusat pemerintahan Tulang Bawang itu guna memberi dukungan moral.
“Para petani dari Jambi dan Palembang memberikan dukungan agar para petani dibebaskan,” kata Bangkit.
Tidak hanya saat persidangan, aksi solidaritas terhadap para petani dilakukan di Jakarta dan Yogyakarta. Di Yogyakarta, para aktivis melakukan aksi di depan Titik Nol, pusat Kota Yogyakarta, dengan membentangkan poster mendukung perjuangan petani di Tulang Bawang untuk mendapatkan haknya lagi, 16 Februari lalu.
Tommy Apriando, wartawan lingkungan dari Mongabay dan salah satu peserta aksi, mengatakan aksi itu dilakukan karena keprihatinan aktivis di Yogyakarta terhadap maraknya kriminalisasi terhadap petani di Indonesia. Menurut catatannya, saat ini kriminalisasi petani juga terjadi di Bali dan Rembang.
“Ini tidak bisa dibiarkan. Negara seharusnya melindungi petani, bukan justru membiarkan dikriminalisasi oleh swasta bahkan oleh negara sendiri,” ujar Tommy.
Dalam catatan Konsorsium Pembaruan Agraria, sedikitnya 134 warga dipidanakan dari konflik agraria sepanjang 2016, termasuk dari Tulang Bawang. Karena itu, demikian rilis KPA, yang turut memantau perkembangan kasus petani di Tulang Bawang, mendesak "pihak berwenang agar membatalkan upaya-upaya kriminalisasi yang saat ini terjadi" kepada ketujuh pejuang agraria tersebut.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam