tirto.id - “Lima di antaranya adalah perempuan,” kata Agung Wardana, dosen hukum lingkungan Universitas Gadjah Mada, yang melakukan penelitian pasca-doktoral terkait kriminalisasi para aktivis lingkungan di Tanah Air.
Agung menjelaskan tentang tren peningkatan langkah represif yang diambil aparat dengan berlindung di balik berbagai pasal bermasalah, guna meredam pergerakan para aktivis terutama yang terkait dengan isu lingkungan.
Dia menemukan setidaknya ada 75 kasus kriminalisasi di sektor lingkungan sepanjang 2010 sampai 2021 pasca-diberlakukannya UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) tahun 2009. Semua kasus tersebut sudah masuk tahap penyidikan.
Kepada wartawan Tirto, Agung membeberkan bahwa dari semua kasus tersebut, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjadi instrumen hukum yang paling banyak digunakan (15 kasus), khususnya pasal “kejahatan terhadap ketertiban umum.”
Kemudian, disusul UU ITE (10 kasus), khususnya pasal “pencemaran nama baik”.
Sedangkan terkait dengan Pasal 162 UU Minerba sendiri, yang berbunyi “setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan Usaha Pertambangan dapat dipidana”, totalnya mencapai empat kasus.
“Dalam penelitian sementara saya, Pasal 162 hanya sebagian kecil dari banyaknya pasal yang bisa digunakan untuk kriminalisasi warga di sektor lingkungan (eco-SLAPP),” katanya.
Penangkapan demikian terus terjadi sampai dengan tahun ini. Salah satu korban kriminalisasi tersebut, menurut catatan Tirto, adalah Wasrin Peantok, warga Bosanyo Bunta, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah.
Setelah menolak aktivitas penambangan nikel di desanya, Wasrin ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan Polres Banggai, dengan berbekal pasal 160 KUHP dan atau Pasal 162 UU nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batu bara (Minerba).
Di mata sejumlah akademisi hukum, pemidanaan demikian disebut dengan strategic lawsuit against public participation (SLAPP)—atau gugatan strategis terhadap partisipasi publik. Singkatnya: praktik penyerangan secara hukum kepada orang-orang yang membela urusan publik.
Praktik SLAPP kerap digunakan untuk membungkam dan mempreteli kebebasan sipil untuk bersuara dan berpartisipasi dalam banyak hal yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan yang merupakan kepentingan publik.
Dua pihak yang kerap menggunakan SLAPP adalah pengusaha yang merasa usahanya terganggu dan pejabat yang merasa kewenangannya digoyang oleh kritik.
Sektor pidana menjadi yang paling masif dengan jumlah mencapai 68 kasus, disusul perdata lima kasus, dan administrasi negara dua kasus. Dari 75 kasus tersebut, setidaknya ada 198 individu yang menjadi korban kriminalisasi.
Namun, menurut Agung, hal tersebut tak bisa menegasikan bahwa Pasal 162 turut berkontribusi atas masifnya kasus SLAPP dan berefek buruk kepada warga. Salah satu efek buruk dari SLAPP adalah perubahan identitas (transformation of identity) dari warga yang sedang berjuang menjaga lingkungan menjadi pelaku kriminal.
“Dari pejuang lingkungan, menjadi orang penyebar ajaran komunisme, orang yang anti-pembangunan, orang yang mengganggu ketertiban umum, menjadi penjahat. Identitasnya diubah,” kata Agung.
Apalagi, menurut dosen hukum pidana Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi, potret masifnya kriminalisasi di sektor lingkungan tersebut disokong oleh aparat penegak hukum yang kerap tak independen. Hal tersebut bikin ragam perusahaan besar dengan pemodal besar mudah berada di sisi aparat penegak hukum.
“Bahkan kalau kita lihat di Omnibus Law, persyaratan-persyaratan dilonggarkan, perlindungan lingkungan dikurangi,” jelas Fachrizal.
Menyeret Pasal 162 ke Mahkamah Konstitusi
UU Minerba memang pernah direvisi pada 2020 lalu, namun hanya dalam waktu yang singkat dan cenderung tertutup.
Dimulai pada Februari, DPR RI dan Kementerian ESDM membahas 703 daftar invertaris masalah (DIM) hingga 6 Mei 2020—hanya empat bulan pembahasan. Sedangkan rapat pembahasan sinkronisasi RUU Minerba pada 6 Mei tersebut dilakukan tertutup, selama 4,5 jam, dan hanya 17 anggota DPR yang hadir.
Hingga akhirnya, pada 11 Mei 2020, Komisi VII DPR RI mengesahkan revisi UU Minerba di tingkat satu dan membawa ke tingkat dua keesokan harinya. Saat itu, sejumlah organisasi masyarakat sipil deras mengajukan kritik karena hasil dari revisi tersebut makin memperburuk situasi lingkungan hidup di Indonesia—salah satunya dengan masih mempertahankan Pasal 162.
“Kalau enggak cocok, lakukan judical review. Enggak perlu membombardir WhatsApp ke anggota Panja. Mohon maaf. Enggak perlu teror,” kata Ketua Panja RUU Minerba saat itu, Bambang "Pacul" Wuryanto.
Dan akhirnya hasil revisi tersebut digugat oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil dan warga yang menjadi korban ancaman Pasal 162 UU Minerba.
Kelompok yang tergabung dalam Tim Advokasi UU Minerba tersebut menggugat sejumlah pasal, beberapa di antaranya seperti: Pasal 4 ayat (2), Pasal 4 ayat (3), Pasal 17 A ayat (2), Pasal 22 A, Pasal 31 A ayat (2), Pasal 172 B ayat (2), Pasal 169 A ayat (1), Pasal 169 B ayat (3), hingga—tentu saja—Pasal 162.
Menurut tim tersebut, Pasal 162 UU Minerba layak digugat karena rentan dipakai mengkriminalisasi masyarakat yang protes atas kerusakan lingkungan di wilayah pertambangan. Pasal tersebut cenderung memberikan kepastian hukum kepada pemilik tambang, namun di sisi lain merugikan masyarakat.
Dalam catatan tim advokasi, hanya dalam waktu dua tahun pasca UU Minerba direvisi, setidaknya ada 20 warga dari lima kasus berbeda yang terancam Pasal 162 UU Minerba. Jika ingin dibedah berdasarkan proses hukumnya, setidaknya ada 14 warga kasusnya di level penyelidikan, 3 warga di level penyidikan, dan 3 orang yang sudah jadi terdakwa di pengadilan.
Kasus penolakan pertambangan perusahaan pelat merah PT Timah Tbk di Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, menjadi yang terbanyak. Dalam kasus itu, setidaknya ada 13 nelayan yang sempat diminta keterangan.
Dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, sejumlah pejabat yang dimintai keterangan cenderung defensif terhadap gugatan warga. Mereka masih menganggap bahwa revisi UU Minerba yang dilakukan untuk kesejahteraan rakyat.
Salah satunya Arteria Dahlan, politikus PDIP sekaligus anggota Komisi III DPR RI yang datang sebagai perwakilan legislatif, pada 8 November 2021. Ia justru menuding para pemohon tak memiliki legal standing.
“DPR perlu menanggapi bahwa permohonan para pemohon obscure, tidak jelas atau kabur. Dalam uraian kedudukan hukum atau legal standing-nya, para pemohon sama sekali tidak menguraikan pasal-pasal UUD 1945 yang dijadikan batu uji. Sehingga menjadi tidak jelas apa dan bagaimana sesungguhnya hak dan kewenangan konstitusional para pemohon diberikan UUD 1945 melalui batu uji yang digunakan tersebut,” katanya.
Tudingan serupa juga datang dari Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Ridwan Djamaluddin—yang belakangan merangkap sebagai Pj. Gubernur Bangka Belitung, yang datang mewakili keterangan Presiden pada 5 Januari lalu. Ia menganggap bahwa kepentingan masing-masing dari para pemohon tidak tepat jika dianggap mengalami kerugian.
“Pemerintah berpendapat bahwa kepentingan masing-masing dari para pemohon tidak tepat,” kata Ridwan.
Kata Ridwan, Pasal 162 dalam UU Minerba sudah tepat untuk memberikan kepastian hukum bagi seluruh pihak. Menurutnya penting mengatur sanksi administratif dan pidana bagi warga yang dianggap menghalangi aktivitas pertambangan.
“Rumusan ketentuan pidana Pasal 162 UU Minerba secara normatif telah memenuhi petunjuk teknis dan kaidah perundang-undangan yang baik dan benar,” katanya.
Lagi-lagi, Pemerintah mengabaikan fakta bahwa upaya kriminalisasi bisa dilakukan lewat pasal tersebut—seperti yang dikatakan oleh Agung Wardana yang juga menjadi saksi ahli penggugat pada 19 Januari lalu.
Tak hanya itu, pada 19 April lalu, Pemerintah juga menghadirkan saksi ahli bernama Alwi Akbar, yang ternyata merupakan Direktur Operasional PT Timah Tbk—perusahaan pelat merah yang melaporkan 13 nelayan di Kepulauan Bangka Belitung lewat Pasal 162 tersebut.
Dalam kesimpulan akhir yang dikirim oleh Tim Advokasi UU Minerba kepada Mahkamah Konstitusi pada Juni lalu, mereka menilai didatangkannya Alwi Akbar “dapat menimbulkan terjadinya conflict of interest dalam perkara a quo.”
Hingga hari ini, belum ada kejelasan kapan putusan Mahkamah Konstitusi soal gugatan UU Minerba ini akan dibacakan. Itu artinya, sudah empat bulan pasca kesimpulan akhir yang diberikan oleh tim penggugat. Perwakilan Tim Advokasi UU Minerba, Lasma Natalia, menilai bahwa Mahkamah Konstitusi sedang menunjukkan ketidakpastian kepada publik.
“Karena tidak ada ukuran waktu yang jelas, kapan suatu permohonan JR diputus,” katanya kepada wartawan Tirto, 22 September sore.
“Padahal putusan MK akan berpengaruh terhadap hak-hak warga negara. Jadi penting untuk mendesak MK memutus permohonan JR minerba ini sesegara mungkin,” tambahnya.
Adendum:
Artikel ini telah diperbarui pada 28 September 2022 dengan mempertimbangkan adanya peluang misinformasi terkait dengan judgement pemilihan narasumber yang kurang tepat merepresentasikan korban kriminalisasi.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Adi Renaldi