tirto.id - Septandi Alfianto kaget saat menerima surat panggilan dari Polres Sleman pada 10 April tahun lalu.
Dalam surat itu, pria 28 tahun ini akan dimintai keterangan soal peristiwa dugaan tindak pidana bersama-sama di muka umum melakukan kekerasan terhadap orang, atau barang, atau penghasutan atau pemaksaan, yang sedang diselidiki oleh Polres Sleman lewat pasal 170, 160, dan 335 KUHP.
Meski kaget, Tandi –sapaan akrabnya– sudah menduga dirinya akan dipanggil polisi. Sebelumnya sudah 15 warga dipanggil untuk dimintai keterangan atas kasus serupa. Tandi adalah warga ke-16 dari total 18 orang yang dimintai keterangan.
Kasus yang menimpa mereka adalah: dianggap menghalangi kegiatan pertambangan milik seorang pengusaha tambang pasir, Pramudya Afgani, di Sungai Progo, Dusun Prapak, Desa Sendangmulyo, Kecamatan Minggir, Sleman, Yogyakarta, pada 28 Desember 2020, pukul 11 siang.
Siang itu, puluhan warga melakukan protes di lokasi aktivitas pertambangan pasir dan batu milik Pramudya di Sungai Progo—yang memisahkan Sleman dan Kulonprogo. Pasalnya, kegiatan massal warga seperti pernikahan dan pemakaman terganggu oleh suara aktivitas pertambangan.
“Suara alat berat sampai ke lokasi. Keras sekali,” kata Tandi kepada wartawan Tirto, (9/9).
Saat itu, warga hanya menyuarakan protes sembari membawa spanduk penolakan aktivitas tambang. Aparat dari Polsek Minggir juga turut memantau aksi protes tersebut.
“Pihak Polsek [Minggir] sendiri melihat tak ada sama sekali kekerasan,” kata Tandi.
“Makanya saya bingung. Saat dimintai keterangan, saya jawab pertanyaan penyidik, menghalangi [aktivitas pertambangan] bagaimana? Kita hanya bentangkan banner. Tak ada blokade jalan,” katanya. “Saya tanya begitu, penyidik tidak menjawab.”
Puncaknya terjadi pada 7 Oktober 2021: status kasus yang menggunakan Pasal 162 UU Minerba ini naik menjadi penyidikan oleh Polres Sleman dan menetapkan dua warga sebagai terlapor. Mereka adalah Iswanto dan Engfat Jonson Panorama.
***
Penolakan warga yang tergabung dalam Paguyuban Masyarakat Kali Progo (PMKP) terhadap tambang pasir sebenarnya sudah berlangsung sejak 2017. Warga dari Dusun Jomboran dan Dusun Nanggulan di Kabupaten Sleman, serta Dusun Pundak Wetan dan Dusun Wiyu di Kabupaten Kulon Progo itu setidaknya sudah tujuh kali melakukan aksi penolakan aktivitas tambang pasir.
Selain usaha tambang pasir milik perseorangan yang dipunyai Pramudya Afgani, ada juga PT Citra Mataram Konstruksi (CMK) yang menambang pasir dan batu di sekitar Sungai Progo. Perusahaan ini setidaknya tercatat mendapat dua jenis izin berbeda. Izin pertama adalah Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari Gubernur Yogyakarta Sri Sultan HB X pada 14 Juli 2020, dengan konsesi seluas 4,2 hektare.
Sedangkan izin kedua berupa Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dari Menteri ESDM Arifin Tasrif pada 18 Oktober 2021. Konsesi izinnya lebih luas: 11,47 hektare.
Warga punya alasan kuat menolak dua perusahaan tambang pasir itu: kehadiran mereka rawan bikin lingkungan rusak.
“Di dekat Sungai Progo, ada pamsimas [penyediaan air minum dan sanitas berbasis masyarakat] yang biasa digunakan warga untuk kebutuhan air,” kata Abi Manyu dari Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Yogyakarta—salah satu organisasi yang mengadvokasi kasus ini—kepada wartawan Tirto, (8/9).
Bahkan satu bulan setelah aksi protes di Sungai Progo yang berujung kriminalisasi tersebut, warga sempat melaporkan PT CMK ke polisi atas dugaan pemalsuan dokumen persetujuan aktivitas tambang dan daftar hadir sosialisasi yang dilakukan pada Oktober 2020. Kasus itu sempat diproses oleh Polda Yogyakarta pada Mei 2021.
“Namun sampai sekarang tak jelas sampai mana prosesnya,” lanjut Abi.
Setelah penetapan Iswanto dan Engfat Jonson Panorama sebagai terlapor, kasus ini berjalan di tempat. Abi, Tandi, maupun pihak lainnya yang menolak tambang tak pernah tahu perkembangan kasusnya. Abi menduga pihak aparat penegak hukum sengaja bikin ketidakpastian untuk meredam gerakan masyarakat.
“Fenomena seperti ini akan bikin warga mulai takut untuk kritis, untuk bersuara menolak tambang,” kata Abi.
Ucapan Abi benar adanya. Intimidasi dan kriminalisasi ini, juga tekanan dari lingkungan kerja masing-masing warga, bikin mereka makin was-was.
“Sampai sekarang kami masyarakat dihantui besok bisa dipenjara karena menolak tambang,” kata Tandi. “Di sini, namanya orang Jawa, orang kampung, urusan polisi, ya, pasti takut.”
“Bagi kami, ini intimidasi. Tinggal di tanah kelahiran kampung kami, kami menyelamatkan lingkungan, rumah, tempat tinggal, ikut andil meletarikan, kok, malah begini?”
Wartawan Tirto mencoba menghubungi Pramudya. Namun dia memilih untuk tidak banyak berkomentar.
“Maaf, itu sudah ranahnya pihak yang berwajib," ujarnya, Senin (12/9) pagi.
Ketika ditanya soal kelanjutan kasus dua warga Jomboran yang dikriminalisasi, Kepala Polres Sleman AKBP Achmad Imam Rifai sendiri sempat merespons dengan meminta penjelasan detil kasusnya, pada 12 September pagi. Namun, setelah wartawan Tirto memberikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) tertanggal 7 Oktober 2021, ia belum merespons lagi.
SLAPP: Instrumen Kriminalisasi Pejuang Lingkungan Pasca Reformasi
Dalam diskursus studi hukum, kriminalisasi yang dialami dua warga Jomboran karena membela kelestarian lingkungan masuk dalam fenomena strategic lawsuit against public participation (SLAPP)—atau gugatan strategis terhadap partisipasi publik. Ia adalah praktik penyerangan secara hukum kepada orang-orang yang membela urusan publik.
Praktik SLAPP kerap digunakan untuk membungkam dan mempreteli kebebasan sipil untuk bersuara dan berpartisipasi dalam banyak hal yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan yang merupakan kepentingan publik. Dua pihak yang kerap menggunakan SLAPP adalah pengusaha yang merasa usahanya terganggu dan pejabat yang merasa kewenangannya digoyang oleh kritik.
Di Indonesia, SLAPP adalah barang baru. Setidaknya fenomena ini baru muncul setelah Soeharto turun pada 1998. Di Orde Baru, tak ada kriminalisasi, adanya penggunaan langsung aparat militer untuk membungkam suara kritis. Bersuara miring, hajar. Popor. Culik. Hilangkan, kalau perlu. Tak ada yang berani lagi.
Namun, mekanisme seperti itu tak berlaku lagi ketika tuntutan demiliterisasi mencuat saat reformasi 1998. Militer harus kembali ke dalam barak. Wacana penegakan hukum, demokratisasi, dan hak asasi manusia lebih dikedepankan.
Menurut dosen hukum lingkungan Universitas Gadjah Mada, Agung Wardana, banyak korporasi melakukan praktik SLAPP seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Di sana, masih banyak SLAPP terhadap para aktivis lingkungan, terutama menggunakan jalur perdata.
“Di Indonesia, jika kita lacak, pertama kali dilakukan oleh Newmont. Di Nusa Tenggara terjadi pada Yani Sagaroa atas kasus pencemaran nama baik, dan di Minahasa terjadi pada Rinaldo atas perbuatan melawan hukum. Mereka di-SLAPP oleh Newmont. Karena dianggap menyebarkan berita bohong, merugikan nama baik Newmont,” kata Agung kepada wartawan Tirto, (2/9).
Pasca reformasi, korporasi dan negara sama-sama butuh instrumen baru untuk melakukan pembungkaman terhadap suara kritis. “Menggunakan jalur hukum dianggap sarana yang lebih beradab daripada menggunakan aparat. Dan dua-duanya [Yani dan Rinaldo] dikalahkan oleh pengadilan,” tambah Agung.
Andri Gunawan Wibisana, guru besar hukum lingkungan Universitas Indonesia, pernah menyebut bahwa kasus SLAPP di Indonesia kerap bersifat trivial dan tak substantif—pendeknya: malah menghindar dari masalah utama. Dalam sebuah diskusi daring pada Agustus 2021, ia menyebut beberapa contoh seperti kasus yang terjadi pada Nanto di Indramayu dan Heri Budiawan di Banyuwangi.
Nanto adalah seorang warga di Indramayu yang protes atas rancangan pembangunan PLTU Batubara. Namun, dalam serangkaian aksinya ia malah dituduh memasang bendera merah putih secara terbalik. Begitu juga dengan Heri Budiawan di Banyuwangi yang memimpin gerakan penolakan tambang emas di desanya. Ia malah dituduh memasang bendera palu arit dalam salah satu aksinya—yang kemudian buktinya tak muncul di pengadilan. Tirto menuliskan liputan mendalam soal kasus Budi pada 2018 lalu.
Dari kasus-kasus di atas, kita bisa melihat jelas bagaimana peran SLAPP yang mengubah forum publik menjadi forum hukum, dan mengalihkan konflik kepentingan publik menjadi konflik privat.
Satu Dekade UU PPLH: Kasus SLAPP Mengalir Deras
Seiring berjalannya waktu, ada upaya memasukkan agenda “anti-SLAPP”—sejumlah akademisi hukum menyebutnya demikian—ke dalam berbagai instrumen hukum Indonesia. Salah satunya Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), khususnya Pasal 66.
Di sana tertulis: “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.”
Ada juga Undang-Undang No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H), terutama Pasal 76 yang tertulis: “Setiap orang yang menjadi saksi, pelapor, dan informan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar, wajib diberi perlindungan khusus oleh Pemerintah.”
Bahkan, Komnas HAM juga membuat peraturan soal prosedur perlindungan terhadap pembela HAM pada 2015. Begitu juga dengan Mahkamah Agung (MA) yang mengeluarkan putusan soal pedoman penanganan perkara lingkungan hidup pada 2013.
Di level kementerian, ada Rancangan Peraturan Menteri tentang Perlindungan Hukum terhadap Pejuang Lingkungan Hidup (Rapermen Anti-SLAPP) sejak 2018 lalu, namun prosesnya mandek hingga saat ini.
Memang ada secercah harapan dari ragam instrumen anti-SLAPP di atas. Semisal pada Mei 2021, Pengadilan Tinggi Bangka Belitung membebaskan enam warga Kelurahan Kenangan, Kecamatan Sungailiat, Bangka Belitung yang dikriminalisasi ketika melakukan partisipasi publik atas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Banyak pihak mengapresiasi bahwa putusan ini adalah kemenangan warga pertama melawan SLAPP di ranah pidana. Keputusan ini tak hanya menghentikan SLAPP, tapi juga memberikan pemulihan hak kepada korban.
Namun, masalahnya fenomena tersebut terjadi setelah lebih dari satu dekade Pasal 66 UU PPLH berlaku, atau delapan tahun setelah pedoman Mahkamah Agung terbit. Dalam rentang waktu sekian lama, kita tentu tak bisa menegasikan kasus-kasus kriminalisasi yang lain.
Dalam penelitian pasca-doktoral yang dilakukan Agung Wardana, ia menemukan setidaknya ada 75 kasus kriminalisasi di sektor lingkungan sepanjang 2010 sampai 2021 pasca diberlakukannya UU PPLH tahun 2009. Semua kasus tersebut sudah masuk tahap penyidikan.
Sektor pidana menjadi yang paling masif dengan jumlah mencapai 68 kasus, disusul perdata lima kasus, dan administrasi negara dua kasus. Dari 75 kasus tersebut, setidaknya ada 198 individu yang menjadi korban kriminalisasi. Mereka adalah: 179 warga lokal/komunitas/masyarakat adat, 13 aktivis/mahasiswa, tiga akademisi/saksi ahli, dua jurnalis, dan satu pegawai pemerintah.
“Lima di antaranya adalah perempuan,” kata Agung.
Jika 75 kasus tersebut dipetakan berdasarkan wilayah kepulauan, hasilnya akan seperti ini: 26 kasus di Pulau Jawa, 23 kasus di Pulau Sulawesi, 14 kasus di Pulau Sumatera, sepuluh kasus di Pulau Kalimantan, empat kasus di Kepulauan Bali dan Nusa Tenggara, serta dua kasus di Kepulauan Maluku dan Papua.Kata Agung, sebenarnya ada banyak kasus di Papua. Namun, ia sendiri mengaku kesulitan menarik garis batas antara yang murni kasus lingkungan dan yang merupakan kasus upaya masyarakat menentukan nasib sendiri (self-determination).
“Kasusnya Papua lebih kompleks. Saya sedang mencari murni kasus lingkungan,” kata dia. “Apalagi beririsan juga dengan isu pembatasan informasi.”
Polisi dan Jaksa Berkontribusi Masifkan Kriminalisasi
Dalam penelitian yang masih berjalan ini, Agung menemukan pola bahwa kasus SLAPP di sektor lingkungan secara dominan menggunakan peran aktif negara daripada korporasi itu sendiri. Aktornya bisa dari kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan. Mereka yang selama ini punya wewenang menafsirkan apa itu “melawan ketertiban umum”, “melawan ideologi dan simbol negara”, “penghinaan”, hingga “mengganggu usaha pertambangan”—ragam pasal yang masuk dalam indikator penelitian.
Walau Pasal 66 UU PPLH sudah berlaku lebih dari satu dekade dan putusan MA sudah berlakukan lebih dari delapan tahun, menurut Agung dua instrumen itu saja tidak cukup menjadi “jaring pengaman warga untuk dikriminalisasi”.
Semisal Pasal 66 UU PPLH di bagian penjelasan tertulis: “Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi korban dan/atau pelapor yang menempuh cara hukum akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Perlindungan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan pembalasan dari terlapor melalui pemidanaan dan/atau gugatan perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian peradilan.”
Menurut Agung, frasa “yang menempuh cara hukum” ini multitafsir dan mudah diperdebatkan.
“Apakah warga harus menggunakan gugatan atau sarana pengadilan? Bagaimana dengan demo, boikot, atau kampanye konsumen yang juga legal secara hukum? Warga yang protes kegiatan yang merusak lingkungan, seperti demo atau boikot akan dianggap tidak dilindungi ketimbang yang melapor. Polisi mudah memaknai secara sempit,” kata dia.
Demikian juga dengan putusan MA yang hanya berlaku untuk hakim-hakim di pengadilan. Padahal, proses kriminalisasi sudah terjadi di level kepolisian dan kejaksaan. Butuh waktu yang lama untuk kasus masuk ke proses pengadilan.
Proses yang lama di kepolisian dan kejaksaan tersebut rentan bikin chilling effect bagi warga yang dikriminalisasi. Menurut Agung, kasus yang ditunda adalah salah satu strategi kepolisian untuk melakukan pemerasan atau ancaman terhadap para aktivis lingkungan ini. Mereka mengancam akan sewaktu-waktu membuka kasus ini jika yang bersangkutan melakukan protes lagi.
“Jadi ada yang dilepas, tapi kasusnya enggak selesai. Beberapa kasus ada yang diproses kembali dan masuk penjara. Psychological pressure-nya lebih kuat ketimbang mereka yang ditahan, dipenjara, dan keluar dalam waktu yang ditentukan,” kata Agung.
Fenomena ini terlihat jelas dalam kasus dua warga di Jomboran.
Menurut Agung, masifnya SLAPP di sektor lingkungan berasal dari dua institusi penegak hukum yang jadi ujung tombak penanganan sebuah perkara: kepolisian dan kejaksaan. Pasalnya, dua institusi tersebut tak punya aturan di internal lembaga—seperti putusan MA—yang berfungsi menjadi pedoman dalam penanganan perkara di sektor lingkungan.
“Padahal, itu penting untuk identifikasi awal menentukan bahwa ini SLAPP. SLAPP itu dibutuhkan identifikasi secepatnya, agar tidak terjadi chilling effect,” katanya.
“Ada warga yang sedang berjuang merusak lingkungan, ketika dibawa kepolisian yang cara pikirnya kacamata kuda, isu hukumnya seolah-olah enggak ada kaitannya dengan isu tambang, kerusakan lingkungan, pencemaran. Mereka tidak mau tahu. Mereka tidak coba mengkaitkan dengan isu besarnya. Kenapa warga mau memasang spanduk? Menutup jalan? Yang jelas sudah memenuhi unsur hukum. Cara pandang seperti ini yang bikin SLAPP efektif,” tambahnya.
Soal dua institusi penegak hukum yang belum memiliki aturan internal soal pedoman penanganan perkara di sektor lingkungan hidup, wartawan Tirto telah mencoba meminta komentar dari Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Irjen Dedi Prasetyo dan Kepala Biro Penmas Divisi Hubungan Masyarakat Polri Brigjen Ahmad Ramadhan.
Naun hingga Senin pagi, tak ada respons. Begitu juga dengan Kepala Sub Bidang Kehumasan Puspenkum Kejaksaan Agung, Andrie Wahyu Setiawan, yang hanya membaca pesan WhatsApp tapi tak membalas.
Ketua Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana (Persada) Universitas Brawijaya, Fachrizal Afandi, juga menilai hal yang sama. Menurutnya, perlu ada aturan internal di level kepolisian dan kejaksaan untuk bisa menjadi pedoman penanganan perkara khusus sektor lingkungan.
“Setahu saya tidak ada peraturan yang khusus [di Polri dan Kejaksaan Agung] melindungi aktivis lingkungan hidup,” kata Fachrizal, 2 September lalu. “Jika polisi mau bikin aturan internal, itu bisa didorong. Tapi apakah itu akan ditaati penyidik di bawah kita tidak tahu. Apakah kemudian efektif atau tidak, itu soal lain.”
Pasalnya hingga saat ini, menurut Fachrizal, kepolisian menjadi lembaga penegak hukum yang paling punya kewenangan menangani perkara: menerima laporan dan menentukan pasal. “Hari ini, the most powerful institution di sistem peradilan pidana kita adalah polisi. Dengan kewenangan yang tidak terbatas,” kata dia.
Ia mengingatkan, bahwa Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) pada 2019 pernah memaparkan bahwa hanya 20 persen dari 40.000 orang lebih penyidik di Indonesia yang punya sertifikasi penyidikan. Apalagi, banyak penyidik di Indonesia yang bermodalkan ijazah SMA, bukan sarjana hukum.
“Pendekatan mereka ya polisionil ala militer,” kata dia.
“Ini belum bicara soal kultur di kejaksaan yang cukup bermasalah,” kata dia. “Saya kira ini lingkaran setan, yang masalahnya enggak hanya di sektor lingkungan hidup. Hampir semua kasus. Sistem peradilan pidana kita memang desainnya sudah bermasalah.”
Liputan ini merupakan hasil kelas belajar dan residensi antikorupsi "Mewartakan Jurnalisme Hukum" yang didukung oleh Transparency International Indonesia (TII) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Nuran Wibisono