tirto.id - Satya Bumi & Protection International mencatat adanya lima faktor yang melatarbelakangi kekerasan terhadap aktivis lingkungan sepanjang 2023.
Hal itu terungkap dalam laporan yang diterima Tirto yang berjudul “Tren Diversifikasi Pasal dan Meluasnya Spektrum Pelanggaran HAM terhadap Aktivis Lingkungan Indonesia 2023”.
Faktor pertama yaitu menguatnya relasi kepentingan ekonomi penguasa dan pengusaha. Relasi kuat antara penguasa dan pengusaha dinilai akan menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan yang merugikan bagi pembela HAM lingkungan hidup.
Misalnya, dalam kasus Daniel Frits Maurits di Jepara, Jawa Tengah. Kasus ini, diterangi terdapat keterlibatan oknum aparat kepolisian yang menjadi investor dalam bisnis pertambakan udang yang ada di Karimun Jawa," tulis penyusun laporan tersebut, Senin (13/5/2024).
Kedua, aparat penegak hukum yang tidak netral juga menjadi pemicu adanya kekerasan terhadap aktivis lingkungan hidup.
Dalam laporan tersebut disebutkan pengusaha yang memiliki hubungan erat dengan penguasa sangat mungkin menggunakan kekuasaannya untuk mendorong kriminalisasi atau intimidasi terhadap aktivis lingkungan hidup yang mengancam kepentingan ekonomi mereka.
Kriminalisasi atau intimidasi tersebut bisa berupa tuduhan palsu, kampanye defamasi, atau bahkan tindak kekerasan fisik.
Dalam kasus tertentu, pengusaha kerap meminta perlindungan kepada penguasa melalui aparat untuk melancarkan bisnisnya yang mengakibatkan terjadinya serangan terhadap aktivis lingkungan.
Selanjutnya, yaitu penyalahgunaan regulasi atau rekayasa kasus untuk mengkriminalisasi pembela aktivis lingkungan.
Satya Bumi mengingatkan setiap kegiatan aktivis lingkungan dalam memperjuangkan hak-hak atas lahan atau lingkungan hidup, dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Namun, tak jarang perjuangan tersebut dibenturkan dengan upaya kriminalisasi dan stigmatisasi oleh pemerintah atau pihak-pihak yang berkepentingan.
Kemudian, penyusunan regulasi baru yang mengancam pembela HAM lingkungan hidup juga menjadi faktor terjadinya kekerasan terhadap aktivis lingkungan.
Salah satu regulasi yang mengancam ialah, UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law Cipta Kerja).
Undang-undang ini memang mengatur berbagai aspek terkait investasi dan pembangunan.
Namun, beberapa ketentuannya dinilai memiliki potensi mengurangi perlindungan lingkungan dan hak-hak pekerja.
Misalnya, penyesuaian terhadap izin lingkungan yang lebih sederhana dapat mengurangi kontrol terhadap dampak lingkungan yang merugikan, serta penyelesaian sengketa yang lebih condong ke arah kepentingan bisnis daripada kepentingan lingkungan dan masyarakat.
Terakhir, impunitas hukum menjadi faktor yang penting dalam kekerasan terhadap aktivis ini.
Satya Bumi menganggap aparat penegak hukum tidak mampu menjangkau aktor-aktor intelektual yang memerintahkan seseorang untuk melakukan pembunuhan terhadap aktivis lingkungan hidup.
Penulis: Auliya Umayna Andani
Editor: Bayu Septianto