tirto.id - Pejuang lingkungan hidup kini punya satu lagi instrumen hukum yang seharusnya mampu menjamin perlindungan atas perjuangan mereka.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, baru saja mengeluarkan Permen LHK Nomor 10 Tahun 2024 tentang Perlindungan Hukum terhadap Orang yang Memperjuangkan Hak atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat. Aturan ini diteken pada akhir Agustus 2024 lalu.
Aturan ini menambah regulasi anti-SLAPP (strategic lawsuit against public participation) soal jaminan perlindungan pejuang lingkungan. Mereka masih sering mendapat kriminalisasi saat menyuarakan hak-hak atas lingkungan hidup. Aturan ini merupakan pelaksana dari Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Permen LHK Nomor 10/2024 menyatakan orang yang memperjuangkan lingkungan hidup tidak bisa dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata. Mereka juga berhak atas perlindungan hukum, diajukan lewat permohonan kepada menteri, kementerian/lembaga, atau instansi daerah berdasarkan permintaan.
Selain Pasal 66 UU PPLH, Indonesia juga memiliki Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 dan Pedoman Jaksa Agung Nomor 8 Tahun 2022. Dua aturan ini memberikan pedoman bagi aparat penegak hukum menerapkan prinsip anti-SLAPP dalam kasus hukum terhadap pejuang lingkungan.
Diragukan Keampuhannya Lindungi Aktivis Lingkungan
Direktorat Penegakan Hukum Yayasan Auriga Nusantara, Rony Saputra, menilai terbitnya Permen LHK 10/2024 perlu diapresiasi sebagai bentuk tanggung jawab negara memberikan jaminan perlindungan kepada setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup.
Permen LHK menjadi aturan sektoral ketiga setelah keluarnya Pedoman Jaksa, dan Peraturan Mahkamah Agung yang secara tegas menjamin perlindungan terhadap pejuang lingkungan.
Kendati demikian, Rony menilai tetap perlu disoroti penerapan dari Permen LHK tersebut. Pasalnya, kriminalisasi pejuang lingkungan pintu masuknya sering kali lewat aparat penegak hukum, yakni kepolisian dan kejaksaan.
“Permen ini terkadang ‘kurang dianggap’ oleh penegakan hukum apalagi jika dihadapkan dengan KUHAP dan KUHP. Untuk itu, KLHK perlu intensif melakukan sosialisasi ke lembaga penegak hukum,” kata Rony kepada reporter Tirto, Jumat (13/9/2024).
Rony memandang Kementerian LHK seharusnya menggandeng instansi penegak hukum untuk sosialisasi aturan Permen LHK Nomor 10/2024. Selain itu, Rony memandang Permen LHK ini memberikan porsi kewenangan Menteri LHK terlalu besar menilai situasi saat pegiat lingkungan membutuhkan perlindungan.
Menteri LHK melakukan penilaian permohonan perlindungan dari pejuang lingkungan yang merasa terancam akan ‘tindakan balasan’, sebagaimana tertera di Pasal 11. Namun, Rony menilai indikator yang digunakan untuk penilaian permohonan perlindungan tidak dijelaskan.
“Karena tindakan balasan yang dimaksud bisa berupa pelaporan ke polisi (kriminalisasi), gugatan hukum, ancaman fisik, atau ancaman psikologis. Kemudian, sejauh mana penilaian menteri terkait penilaian tindakan balasan akan menghentikan proses hukum,” terang Rony.
Rony ragu Permen LHK mampu menghentikan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan. Namun, ia berharap Permen LHK menjadi solusi tepat dalam penanganan kriminalisasi yang menimpa pejuang lingkungan dan warga yang mempertahankan ruang hidup mereka.
“Salah satu persoalan yang perlu diperhatikan soal Permen ini adalah adanya tim penilai, penilai ini termasuk pemerintah dan pemerintah daerah, ini yang perlu diperhatikan,” ucap Rony.
Direktur Kajian Agraria Center of Economic and Law Studies (Celios), Zakiul Fikri, mengaku bahwa Permen LHK Nomor 10/2024 merupakan terobosan progresif dari KLHK. Aturan ini keluar disaat maraknya kriminalisasi terhadap warga dan pejuang lingkungan yang bersuara menolak intervensi bisnis ekstraktif sektor sumber daya alam atas ruang hidup masyarakat.
Misalnya, kata Fikri, bisnis yang berdampak pada kelestarian hutan dan lingkungan seperti bisnis kayu dan pertambangan.
“Permen ini dari segi spirit itu menimbulkan, menumbuhkan kembali semangat juang para warga dan aktivis untuk memperjuangkan hak-hak mereka, terutama hak-hak mereka atas lingkungan yang baik dan bersih,” kata Fikri kepada reporter Tirto, Jumat (13/9/2024).
Kendati begitu, Fikri menilai penerapan Permen LHK Nomor 10/2024 bukan tanpa ganjalan. Misalnya, kata dia, Permen LHK ini sukar diterapkan dalam lingkup tindak pidana. Padahal, intimidasi kepada pejuang lingkungan sering kali berkutat di ranah pidana atau kriminalisasi.
Fikri menilai polisi sebagai penegak hukum bisa saja tidak menuruti aturan di level menteri. Apalagi, Permen LHK ini tidak diikuti dengan adopsi aturan yang sama di level internal Polri.
“Kepolisian tidak memiliki keterikatan secara langsung atas Permen ini. Sebab polisi, dia hanya bisa melaksanakan, menjalankan perintah yang diberikan undang-undang peraturan pemerintah maupun peraturan presiden,” kata Fikri.
Kalah dari Aturan yang Lebih Kuat di Atasnya
Fikri mengingatkan bahwa peraturan menteri secara hierarki ada di bawah aturan presiden dan undang-undang. Oleh karenanya, kata dia, Permen LHK Nomor 10/2024 berpotensi kalah oleh norma sektoral di level perundang-undangan.
Misalnya UU Minerba dan UU Panas Bumi yang memiliki pasal ancaman penjara terhadap orang yang menghalangi atau merintangi sektor tersebut.
“Nah kalau norma ini dia dibenturkan dengan permen LHK Nomor 10 tahun 2024 ini, tentu permen LHK itu akan kalah,” kata Fikri.
Maka, ada dua argumen hukum yang bisa mengalahkan Permen LHK ini. Pertama asas lex superior derogat legi inferiori, yang menyatakan jika terdapat pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang tinggi dengan yang rendah, maka yang tertinggi didahulukan.
Kedua, terdapat asas hukum lex specialis derogat legi generali, yakni hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum bersifat umum (lex generalis). Misalnya, saat kriminalisasi pejuang lingkungan dijerat dengan UU ITE dan modus ini banyak terjadi.
“Jadi, dua dalih ini berpotensi akan meluluhantakan semua norma-norma dan cita-cita serta semangat yang baik dari permen LHK Nomor 10 tahun 2024 ini,” ujar Fikri.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian LHK, Mamat Rahmat, enggan berkomentar terkait catatan penerapan Permen LHK Nomor 10/2024. Mamat menyampaikan belum bisa memberikan respons soal hal ini.
“Mohon maaf belum bisa memberi tanggapan ya, tks,” kata Mamat ketika dihubungi lewat aplikasi perpesanan oleh reporter Tirto, Jumat (14/9/2024).
Manajer Kajian Kebijakan Eksekutif Nasional WALHI, Satrio Manggala, menyatakan bahwa beleid dari KLHK ini sebetulnya membawa semangat pelindungan hukum dengan dua cara yakni, pencegahan tindakan pembalasan dan penanganan.
Ia menjelaskan, pencegahan dilakukan dengan berbagai macam strategi koordinasi hingga fasilitasi, pelatihan, dan/atau sosialisasi ke berbagi instansi termasuk aparat penegak hukum.
“Penanganan diatur dengan cara penetapan kasus sebagai tindakan pembalasan dan pemberian bantuan hukum,” kata Satrio kepada reporter Tirto, Jumat (13/9/2024).
Dalam catatan hasil kajian WALHI, terdapat kurang lebih 1.000 orang pejuang lingkungan yang mengalami tindakan pembalasan berupa kekerasan dan kriminalisasi (SLAPP) dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Hasil kajian WALHI, tindakan SLAPP di Indonesia berbentuk pembalasan yang ditujukan terhadap prinsip hak partisipasi publik pada setiap agenda atau proyek pembangunan.
Sehingga kasus pembungkaman atau pelanggaran terhadap hak partisipasi publik terjadi di banyak sektor. Misalnya di sektor perkebunan, kehutanan, pembangunan infrastruktur, dan lain-lain yang berujunga pada bentuk konflik agraria.
“Sedangkan batasan pada Permen ini mengatur khusus terhadap kasus pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup,” ujar Satrio.
Ketua Kelompok Kerja Politik Greenpeace Indonesia, Khalisah Khalid, juga senada dengan Satrio. Menurut Khalisah, jika mengacu pada ketentuan Permen LHK, pejuang lingkungan hidup yang dilindungi hanya yang menempuh jalur hukum.
Padahal, dalam kerja advokasi pembelaaan lingkungan hidup, jalur hukum hanya salah satu bagian strategi.
“Bagaimana perlindungan terhadap pejuang lingkungan yang menempuh strategi non-litigasi? Terlebih kita tahu, tidak mudah bagi warga negara untuk mendapatkan akses hukum yang adil,” kata Khalisah kepada reporter Tirto, Jumat (13/9/2024).
Ia turut menyoroti permohonan perlindungan pejuang lingkungan hidup dalam Permen LHK ini. Khalisah memandang, seolah redaksi aturan ini justru mengharuskan pejuang lingkungan yang harus aktif dan berjuang mendapat perlindungan negara.
Padahal, KLHK mampu mengambil peran aktif sehingga tidak hanya menunggu pelaporan masuk. Terlebih, penilaian susbtansi pelaporan dari pejuang lingkungan bisa sampai 60 hari.
“Banyak kasus lingkungan hidup itu terjadi di pelosok yang memiliki keterbatasan akses. Ini seharusnya juga menjadi pertimbangan bagi KLHK untuk lebih proaktif, baik dalam konteks pencegahan, maupun penanganan,” jelas Khalisah.
Ia memberi masukan, negara juga harus memikirkan bagaimana melindungi para pejuang lingkungan hidup dari ancaman kekerasan yang bahkan bisa berujung kematian. Contohnya, kasus Salim Kancil yang pada 2015 silam tewas dikeroyok karena menolak pertambangan pasir. Permen LHK ini dinilai baru berfokus pada ancaman tindakan pidana dan perdata.
“Permen ini tidak menjangkau pembungkaman terhadap pejuang lingkungan hidup melalui berbagai tindak kekerasan yang dialami,” tutur Khalisah.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Bayu Septianto