tirto.id - Salim Kancil diseret ratusan meter. Ia mengalami penyiksaan sebelum akhirnya meregang nyawa pada 26 September 2015. Penganiayaan dan pembunuhan itu diduga terkait protes Salim Kancil terhadap tambang pasir ilegal di Watu Pecak, Pantai Selok Awar-Awar, Lumajang, Jawa Timur.
Para pembunuhnya membuang jasad Salim Kancil ke pinggir jalan untuk mengintimidasi warga setempat yang menolak kehadiran tambang pasir. (Pada Juni 2016, ke-13 pelaku pembunuhan Salim Kancil divonis antara 12-20 tahun penjara.)
Bergeser ke Sumatera, masih pada tahun yang sama, Indra Pelani, anggota Serikat Tani Tebo, Jambi, ditemukan tewas. Kematiannya diduga terkait konflik lahan antara masyarakat dan perusahaan sawit PT Wira Karya Sakti. Pembunuhnya adalah tujuh petugas keamanan perusahaan.
Dalam persidangan, motif pelaku tidak ditelusuri secara serius, juga pihak dari perusahaan tidak dihadirkan.
Pada 2016, sembilan perempuan Kendeng mengecor kaki di depan Istana Negara. Aksi itu bagian penolakan masyarakat Rembang terhadap PT Semen Indonesia. Warga Kendeng mengajukan gugatan ke PTUN Semarang soal izin lingkungan PT Semen Indonesia tapi justru berujung kriminalisasi.
Lompat ke 2018, Basuki Wasis, dosen IPB dan ahli Komisi Pemberantasan Korupsi yang dihadirkan sebagai ahli perhitungan dampak lingkungan dalam persidangan perkara korupsi, justru dilaporkan balik. Basuki menjadi saksi ahli dalam perkara korupsi Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi PT Anugerah Harisma Barakah dengan terdakwa Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam.
Basuki mengungkapkan perkara korupsi itu merugikan negara Rp2,7 miliar lantaran kerusakan ekologi pada lokasi tambang di Pulau Kabaena. Karena keterangan itulah, Nur Alam menggugat Basuki ke Pengadilan Negeri Cibinong. (Pada 13 Desember, majelis hakim PN Cibinong menolak gugatan Nur Alam dan membebaskan Basuki Wasis.)
Menyeberang ke Sumba Barat, Poro Duka tewas tertembak polisi saat aksi warga setempat menolak pengukuran lahan oleh Dinas Pertanahan dan perusahaan PT Sutra Marosi pada 25 April 2018.
Salim Kancil hingga Poro Duka adalah bagian dari ratusan kasus konflik agraria di Indonesia. Sepanjang tahun lalu ada dua kasus agraria per hari, menurut catatan akhir tahun 2017 oleh organisasi nonpemerintah Konsorsium Pembaruan Agraria.
Sedikitnya ada 156 tindak kekerasan terhadap pembela HAM, menurut Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) yang merekam peristiwa sejak Januari hingga Oktober 2018. Bentuk kekerasan itu berupa penganiayaan, penangkapan sewenang-wenang, hingga kriminalisasi.
Pelaku kekerasan terhadap pembela hak asasi manusia itu antara lain polisi, TNI, pemerintah, swasta, dan organisasi masyarakat.
Pelanggaran HAM terhadap Pejuang Lingkungan
Ragam kekerasan terhadap pembela HAM, terutama pejuang lingkungan, semakin naik sejalan proyek infrastruktur yang digencarkan pemerintahan saat ini, menurut Wahana Lingkungan Hidup (Walhi).
Pemerintah Joko Widodo terus mengejar pembangunan, baik itu yang dikerjakan oleh BUMN maupun swasta. Dalihnya, meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tetapi pembangunan macam ini alpa mempertimbangkan dampak lingkungan, menurut Walhi.
Walhi juga menilai tren kriminalisasi pada pejuang lingkungan hidup meningkat pada tahun-tahun politik; sebuah ongkos mahal dari pembangunan yang mengabaikan prinsip kemanusiaan.
“Ada kecenderungan mengobral wilayah-wilayah konsesi," ujar Wahyu Perdana dari Walhi. "Padahal, dalam catatan kami tahun 2017, 89 persen wilayah dengan dibandingkan luas daratan sudah dikuasai korporasi. Jika percepatan pembangunan terus-menerus mengesampingkan pengelolaan manusia dan sumber daya, ini akan menjadi bom waktu."
“Sayangnya, tak ada sanksi yang dapat menjerat birokrat yang mengeluarkan izin AMDAL sembarangan,” tambah Wahyu.
Ongkos mahal model pembangunan yang membunuh kemanusiaan itu tidak main-main.
Laporan Global Witness mencatat sekitar 185 pejuang lingkungan hidup yang tersebar di 24 negara dibunuh pada 2015. Menurut organisasi nirlaba pada isu eksploitasi sumber daya alam, konflik, kemiskinan, korupsi, dan pelanggaran HAM di seluruh dunia itu, angka kekerasan tersebut meningkat menjadi 200 kasus pada 2016.
Di Indonesia, dalam laporan yang dirangkum Yayasan Perlindungan Insani Indonesia, angka kasus pelanggaran HAM terhadap pejuang lingkungan merupakan yang paling banyak di antara bentuk pelanggaran HAM lain: 103 kasus dari total 132 kasus pelanggaran HAM dalam sewindu terakhir.
Catatan Walhi lebih buruk: Per 2018 setidaknya ada 163 pejuang lingkungan yang dikriminalisasi.
Dalam periode setahun ini, menurut Walhi, ratusan pejuang lingkungan dikriminalisasi, mengalami kekerasan, penganiayaan dan pembunuhan. Sebagian besar adalah masyarakat yang mengalami dampak langsung kerugian maupun perusakan lingkungan yang disebabkan oleh korporasi dan kebijakan pemerintah dalam proyek-proyek infrastruktur.
Pengabaian Terstruktur oleh Negara
Namun, isu lingkungan masih menjadi isu minor, kalah dari isu politik identitas.
Kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan, secara legal seharusnya bisa diatasi. Undang-Undang 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebut setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
Namun, penjelasan pasal 66 dalam regulasi itu justru problematis. Ia hanya melindungi korban dan pelapor yang menempuh cara hukum atas eksploitasi sumber daya alam yang menyebabkan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.
Artinya, para pejuang lingkungan yang memprotes tapi tidak menempuh jalur hukum tetap rentan dikriminalisasi.
“Kami mendorong ada peraturan turunan atas undang-undang tersebut seperti peraturan menteri," ujar Wahyu Pedana dari Walhi maupun Damairia Pakpahan dari Yayasan Perlindungan Insani Indonesia.
Kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan, ujar Damairia Pakpahan, "membuat fokus aparat hukum berpindah dari kasus inti ke kasus kriminalisasi. Sementara di masyarakat, kendati fokusnya tak berubah tapi energinya menjadi terbagi."
"Yang seperti itu kadang melelahkan dan bikin mereka akhirnya memilih mundur,” tambah Pakpahan.
Posisi korban kriminalisasi semakin lemah saat dibawa ke persidangan dan bertemu hakim yang tidak memiliki sertifikat lingkungan. Padahal, dalam Pasal 5 Keputusan Ketua Mahkamah Agung tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup, perkara lingkungan hidup harus diadili oleh hakim lingkungan hidup.
Sampai sekarang Indonesia cuma punya 304 hakim bersertifikat lingkungan, tersebar di pengadilan negeri, pengadilan tinggi, pengadilan tata usaha negara, dan pengadilan tinggi tata usaha negara.
Minimnya jumlah hakim yang mengantongi sertifikat lingkungan hidup, hakim yang minim perspektif lingkungan, semakin memperburuk situasi rentan pejuang lingkungan hidup di Indonesia.
Pada awal pekan ini, bagian dari rangkaian peringatan Hari HAM Sedunia 10 Desember, para pembela hak asasi manusia dan pejuang lingkungan berkumpul di Jakarta dan menggelar aksi di seberang Istana Negara dan Mahkamah Agung.
Ratusan peserta aksi yang sebagian besar adalah petani dari Jawa Barat dan Jawa Tengah menuntut negara memenuhi hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang layak dan sehat. Di antara ratusan petani itu adalah Ahmad, pria 70-an tahun dari Indramayu, yang menolak proyek pembangkit listrik batu bara di daerahnya.
Berdiri di atas pikap sembari meninju udara dengan menggenggam seikat padi, Ahmad berteriak lewat pelantang: “Untuk apa pembangunan megah kalau manusianya mati?”
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam