Menuju konten utama

Di Indonesia, Masalah Lingkungan Tenggelam oleh Politik Identitas

Walhi menilai politikus kita cuma sibuk dengan isu-isu berbasis identitas. Mereka tak peduli masalah lingkungan yang nyata di depan mata.

Di Indonesia, Masalah Lingkungan Tenggelam oleh Politik Identitas
Ilustrasi perubahan iklim. AP Photo/Eric Risberg

tirto.id - Isu lingkungan belum banyak dibicarakan para politisi Indonesia. Tema ini juga absen dalam tiap perdebatan yang kerap kita saksikan di televisi. Apa yang disajikan untuk publik masih belum beranjak dari politik identitas.

"Isu lingkungan kalah dengan isu-isu semacam wajah Boyolali," kata Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dalam konferensi pers di Cikini, Jakarta Pusat, Senin (3/12/2018).

Khalisah menyampaikan bahwa isu lingkungan, khususnya terkait perubahan iklim, sebenarnya sangat politis dan seharusnya jadi perhatian calon presiden-wakil presiden. Temuan Walhi, selama ini usaha untuk menangkal perubahan iklim hanya diupayakan pemerintahan pusat namun tidak benar-benar diperhatikan pemerintahan daerah.

"Memang belum ada sinergi secara struktural antara pemerintah daerah dan pusat terkait usaha untuk penurunan emisi," kata Khalisah.

Khalisah menekankan bahwa perubahan iklim ini bukan sebatas cuaca makin panas dan kita bisa mengatasinya dengan menyalakan penyejuk ruangan dengan suhu lebih rendah atau tidak menyalakannya sama sekali. Lebih dari itu, perubahan iklim juga tentang keselamatan masyarakat bumi, terutama mereka yang hidup di pulau-pulau kecil.

Berdasarkan data dari The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), pada tahun 2017 kenaikan suhu sudah mencapai satu derajat celsius. Jika emisi global terus meningkat dengan kecepatan yang sama seperti sekarang ini, maka kenaikan suhu akan melewati batas 1,5 derajat celsius pada tahun 2040.

Saat kenaikan mencapai 1,5 derajat celsius, maka ekosistem laut akan mencapai titik kritisnya dan tidak dapat dipulihkan, termasuk hilangnya 70-90 persen terumbu karang. Hal tersebut juga mengancam berbagai macam kehidupan di laut.

Dampak kenaikan tersebut akan sangat terasa di bagian tropis dan sub-tropis bumi bagian selatan, salah satunya Indonesia. Beberapa dampak lain adalah kekurangan air, kesehatan, hingga kegagalan panen.

Kengerian ini bisa diantisipasi dengan beberapa kebijakan. Menurut IPCC salah satu caranya adalah dengan menurunkan penggunaan karbon listrik hingga nol. Energi terbarukan primer seperti bioenergi, air, angin, dan matahari juga perlu ditingkatkan penggunaannya.

Masalahnya, menurut Khalisah, sejauh ini belum ada usaha lebih dari kedua pasang calon, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, bahkan untuk membahas dan menjadikan isu ini sebagai arus utama (mainstream), meski isu ini disinggung dalam visi-misi mereka ketika maju sebagai kandidat capres-cawapres.

Salah satu visi Jokowi-Ma’ruf berbunyi "mencapai lingkungan hidup yang berkelanjutan", sementara Prabowo-Sandiaga menyebutkan "membangun perekonomian nasional yang adil, makmur, berkualitas, dan berwawasan lingkungan".

"Perubahan iklim ini tidak bisa menjadi isu pelengkap dari isu lingkungan. Ia harus menjadi isu utama. Ia harus secara sungguh-sungguh diperjuangkan oleh Capres dan Cawapres," kata Khalisah.

Apa Relevansi Identitas Jika Bumi Hancur?

Saras Dewi, dosen Filsafat Lingkungan di Universitas Indonesia (UI), mengatakan bahwa jelas sekali isu politik identitas lebih digandrungi, dan isu lingkungan masih jauh di belakangnya. Menurutnya ini harus diubah.

"Kepentingan manusia harus diutamakan," kata Saras kepada reporter Tirto. "Yang paling mendesak sekarang adalah politik ekologis. Pandangan politik yang mengarah pada relasi masyarakat, kebijakan negara yang menyasar pada keberlanjutan," tambahnya.

Penulis buku Ekofenomenologi ini juga menyampaikan bahwa masih ada penyangkalan atas fakta bahwa memang ada masalah lingkungan yang akut. Jika penyangkalan karena ketidaktahuan, maka solusinya adalah memasifkan edukasi.

"Namun yang saya khawatirkan adalah, penyangkalan ini datang dari kesengajaan, rasa sombong yang pada akhirnya akan mencelakai kita," kata Saras.

Saras menganalogikan politik identitas seperti terkurung dalam tempurung. Persoalan yang ada masih berputar pada loyalitas terhadap simbol-simbol tribal, kelompok berdasarkan agama, etnis, maupun ide-ide sejenis yang tak ada gunanya sama sekali.

"Apa relevansi identitas jika bumi kita hancur? Siapakah manusia tanpa lingkungan hidupnya?" tanyanya retoris, karena kita semua tahu jawabannya.

Baca juga artikel terkait LINGKUNGAN HIDUP atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Politik
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Rio Apinino