Menuju konten utama

Nasib Masalah Lingkungan Setelah Kesepakatan Divestasi Freeport

Jatam menilai divestasi saham Freeport tak bisa menjawab persoalan lingkungan. Sementara dalam proses itu sendiri, pemerintah dan Freeport berjanji bakal memperbaikinya.

Nasib Masalah Lingkungan Setelah Kesepakatan Divestasi Freeport
Suasana MoU Divetasi Saham PT. Freeport McMoran dengan PT Inalum di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (12/7/2018). Acara ini dihadiri oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan, Menteri Keuangan Sri Mulyani, CEO and Vice Chairman of Freeport-McMoRan Richard Adkerson, Direktur Utama PT Inalum Budi Gunadi Sadikin, Menteri BUMN Rini Soemarno, dan Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Kesepakatan pokok peralihan sebagian kepemilikan saham PT Freeport Indonesia (PTFI) menyita perhatian publik. Melalui head of agreement (HoA) yang ditandatangani pada Kamis (12/7/2018) sore lalu di Kementerian Keuangan, Jakarta, pemerintah mengklaim bahwa peluang untuk memiliki 51 persen saham PTFI semakin terbuka.

Sebagian masyarakat memaknainya sebagai pencapaian besar yang dilakukan pemerintahan Presiden Joko Widodo. Namun, ada juga yang melihat kesepakatan itu tidak menjawab salah satu persoalan pokok yang terjadi di sana: kerusakan lingkungan.

Kritik ini disampaikan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam). Mereka menilai meski pada akhirnya Indonesia bisa menguasai lebih dari setengah dari total saham, akan tetapi tidak berarti masalah lingkungan akan selesai begitu saja.

Freeport, dalam sejarahnya, memang kerap abai akan persoalan ini. Dalam catatan Jatam, perusahaan raksasa ini pernah melakukan 22 kegiatan yang melanggar AMDAL. Salah satunya perluasan ukuran tambang terbuka Grasberg dari 410 hektare jadi 584 hektare. Perluasan ini tidak dicantumkan di AMDAL.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Oktober 2017 pernah memberikan sanksi administratif kepada Freeport karena masalah ini. Setelah itu Freeport mengaku sudah mengikuti semua ketentuan. Juru Bicara Freeport Indonesia, Riza Pratama, mengatakan perbaikan memang dilakukan setelah ada sanksi.

Dokumen Jatam menyebut Freeport juga menjadikan sungai Aghawagon, Otomona, Ajkwa, Minajerwi, dan Aimoe sebagai tempat pembuangan limbah beracun seperti merkuri dan sianida. Sungai Ajkwa, kata Jatam, bahkan telah jadi tempat pembuangan limbah tailing selama 28 tahun, sejak 1988 hingga 2016 lalu.

Jatam juga mengutip temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Maret lalu. Ada dua pelanggaran yang disebut. Pertama penyalahgunaan izin penggunaan kawasan hutan lindung, dan kedua perubahan ekosistem akibat limbah hasil operasi tambang. Kerugian negara diprediksi mencapai Rp185 triliun.

Tentu saja, temuan BPK ini dibantah Freeport.

Ini bukan kali pertama Freeport bersengketa dengan pemerintah soal lingkungan. Pada tahun 2006, Menteri Lingkungan Hidup era Soesilo Bambang Yudhoyono, Rachmat Witoelar, mengatakan "kerusakan lingkungan yang disebabkan PT Freeport sudah parah."

Ia mengatakan tailing limbah bahan beracun berbahaya telah mencapai pesisir Laut Arafuru. Akibatnya, sejumlah spesies akuatik sensitif di Sungai Ajkwa punah.

Rachmat juga mengatakan kalau "Freeport selalu menolak diteliti sejak dulu."

Malah dalam periode antara 2000-2011, ketika Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia terus-menerus menekan perusahaan itu memperbaiki kinerja lingkungan hidupnya, pemerintah Amerika ikut-ikutan bereaksi.

Sonny Keraf mencatat kalau Duta Besar Amerika di Jakarta mengkampanyekan kalau Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia anti-Amerika.

"Secara sepihak dan apriori beliau (Duta Besar) menganggap tekanan kepada Freeport karena status perusahaan tersebut sebagai milik Amerika dan bukan karena masalah lingkungan hidup yang ditimbulkan." (hlm 319).

Pada akhirnya, Jatam menganggap mempertahankan Freeport beroperasi adalah kesalahan.

"Pemerintah harus mengambil langkah menutup, bukan mengeluarkan izin baru atau melakukan divestasi yang hanya merupakan proses back to business saja, yang terjadi hanyalah aktivitas bisnis jual beli saham, sekedar perubahan komposisi dan konsolidasi aktor baru belaka."

Infografik CI Freeport, Temuan, Tekanan, dan Pengerukan

Janji Manis

Serentetan masalah lingkungan dalam operasional Freeport tidak diabaikan pemerintah saat melakukan negosiasi untuk divestasi. Ada beberapa syarat yang wajib dipenuhi Freeport dalam HoA. Menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, salah satu di antaranya adalah memenuhi tata kelola tambang yang ramah lingkungan.

"Melalui penguasaan saham mayoritas PTFI oleh Inalum, pemerintah mengharapkan kualitas pengelolaan lingkungan PTFI dapat terus ditingkatkan," kata Siti Nurbaya.

Siti Nurbaya mengatakan kalau PTFI didorong untuk mencari terobosan untuk pemanfaatan limbah 'tailing' sebagai bahan baku industri sehingga tidak hanya bermanfaat bagi PT FI, tetapi juga bermanfaat bagi industri lainnya.

"Kami meyakini bahwa PTFI sebagai salah satu pengelola tambang terbesar di dunia, akan mampu menjaga keberlanjutan penanganan lingkungan terdampak area tambang," tambah perempuan kelahiran 28 Juli 1956 dari partai Nasdem ini.

Freeport, dalam keterangan resminya, berjanji melakukan itu meski tidak secara eksplisit. Mereka mengatakan akan "menjalankan operasinya secara bertanggung jawab, untuk mendukung pembangunan berkelanjutan yang berdampak bagi masyarakat setempat, serta memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat Indonesia."

Baca juga artikel terkait DIVESTASI FREEPORT atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Bisnis
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Rio Apinino