Menuju konten utama

Yang Terjadi Setelah Divestasi Tambang Freeport di Papua Diteken

Setelah pokok-pokok perjanjian diteken, masih ada beberapa hal yang perlu pemerintah Indonesia lakukan, termasuk memastikan syarat perpanjangan izin tambang dipatuhi.

Yang Terjadi Setelah Divestasi Tambang Freeport di Papua Diteken
Petugas keamanan Freeport terlihat di di kompleks tambang Grasberg Freeport McMoRan, Papua. Foto/AFP/Getty Images/Olivia Rondonuwu

tirto.id - Pemerintah dan Freeport-McMoRan Inc. (FCX) akhirnya menyepakati Heads of Agreement (HoA) atau kesepakatan pokok peralihan sebagian kepemilikan saham PT Freeport Indonesia (PTFI), Kamis (12/7). Adanya HoA membuka peluang bagi pemerintah Indonesia memiliki setara 51 persen saham PT Freeport Indonesia, yang kini mayoritas masih dimiliki oleh FCX.

“Kami bangga dengan apa yang telah kami capai dalam lebih dari 50 tahun sejarah kami, dan kami sangat menantikan masa depan selanjutnya,” kata Richard Adkerson, President dan Chief Executive Officer Freeport-McMoran Inc.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan "Head of agreement ini langkah maju dan strategis dalam rangka mewujudkan kesepakatan antara Indonesia dengan PT Freeport Indonesia dan Freeport McMoran, Inc pada 27 Agustus 2017.

Tidak salah memang bila disebut sebagai langkah maju. Bagi FCX, HoA adalah tiket menuju kepastian usaha mereka untuk bisa beroperasi di tambang Papua sampai 2041. Di sisi lain, bagi pemerintah dengan adanya HoA maka upaya divestasi saham 51 persen yang menjadi kewajiban PT Freeport Indonesia bisa segera terealisasi. Divestasi saham hingga 51 persen punya konsekuensi secara ekonomi.

Freeport bahkan memperkirakan bila proses operasi tambang berlanjut sampai 2041 dan divestasi berjalan mulus, maka manfaat ekonomi akan didapat bagi pihak Indonesia tidak sedikit.

"Kami memperkirakan manfaat langsung kepada pemerintah pusat dan daerah, serta dividen kepada Inalum dapat melebihi US$ 60 miliar," kata Adkerson.

Iming-iming potensi ekonomi sebesar itu tentu harus ditebus dengan "modal" untuk memenuhi divestasi 51 persen. Pemerintah dan FCX sepakat mengambil skema divestasi 51 persen saham melalui hak partisipasi (participating interest) perusahaan tambang asal Inggris-Australia, Rio Tinto, pada tambang Grasberg di Papua milik PT Freeport Indonesia.

Pemerintah melalui tangan BUMN PT Inalum akan mengeksekusi skema ini yang memungkinkan kepemilikan saham Inalum di PTFI bertambah dari yang semula hanya 9,36 persen menjadi sekitar 51,38 persen. Menteri BUMN Rini Soemarno menyebutkan Inalum harus mengeluarkan dana sebesar US$3,85 miliar untuk membeli 40 persen hak partisipasi Rio Tinto di tambang Grasberg.

Skema divestasi 51 persen tak cukup hanya mengambil 40 persen hak partisipasi Rio Tinto di tambang Grasberg, Inalum juga harus membeli 100 persen saham FCX di PT Indocopper Investama yang memiliki saham sebesar 9,36 persen di PTFI. Sebanyak 81,28 persen saham PTFI dimiliki oleh FCX. PT Indocopper Investama Corp dan pemerintah Indonesia masing-masing 9,36 persen.

Direktur Utama Inalum, Budi Gunadi Sadikin, menargetkan transaksi dana sebesar US$3,85 miliar bakal selesai dalam kurun waktu dua bulan. Mengenai sumber pendanaan, Budi enggan berkomentar banyak. Ia hanya menyebutkan ada 11 bank yang telah siap untuk ikut mendanai proses divestasi saham.

Budi menegaskan posisi cash yang dimiliki Inalum dan holding minyak dan gas (migas) BUMN ada sekitar US$1,5 miliar. “Nantinya untuk ke Rio Tinto sebesar US$3,5 miliar dolar AS dan ke FCX sebesar US$350 juta,” ucap Budi.

Semua transaksi itu nantinya akan dikonversi setara saham di PTFI, dengan komposisi FCX 49 persen dan Inalum 51 persen. Artinya penandatangan HoA masih tahap awal sebelum sampai tahap finalisasi divestasi 51 persen benar-benar terjadi.

“Karena memang harus ada joint venture agreement. Nanti kepemilikan Inalum di PTFI mencapai 51 persen. Joint venture agreement didetailkan, setelah final kita langsung tanda tangan dan bayar,” kata Menteri BUMN Rini Soemarno.

Selain masalah finalisasi transaksi dan proses pencarian sumber pendanaan divestasi saham, ada beberapa persoalan yang mesti diselesaikan setelah HoA, terutama dari sisi PTFI. Untuk bisa mendapatkan perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi (IUPK OP), PT Freeport Indonesia harus memenuhi dua kesepakatan lain: pertama membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) di dalam negeri; dan kedua sepakat untuk meningkatkan penerimaan negara secara agregat.

Setelah dua hal itu dipenuhi, barulah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Keuangan menerbitkan IUPK OP. Adapun perpanjangan operasi tersebut disepakati sampai tahun 2041.

Dalam melakukan negosiasi, pemerintah menekankan bahwa mereka menggunakan Pasal 169 Undang-Undang Mineral dan Batu Bara sebagai landasannya. Pemerintah pun mengaku sedang mengupayakan cara agar penerimaan negara dengan IUPK OP ini bisa menyumbangkan pendapatan yang lebih besar ketimbang saat PTFI masih mengantongi izin berupa Kontrak Karya (KK).

Komposisi penerimaan pajak yang diharapkan pemerintah dari PT Freeport Indonesia sendiri meliputi sejumlah aspek. Di antaranya Pajak Penghasilan (PPh) Badan Usaha, royalti, bagi hasil keuntungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Bila mengacu pernyataan Presiden Direktur Freeport McMoran Richard Adkerson dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, penandatangan HoA sebagai langkah bersejarah dan strategis. Namun, bagi pelaku pasar, terutama investor di Amerika Serikat, adanya HoA jadi sentimen di bursa saham. Pada pembukaan perdagangan Kamis (12/7) waktu setempat, dalam catatan Bloombergsaham FCX sempat dibuka US$17,62, tapi menjelang penutupan turun menjadi US$17,29.

Infografik Freeport

Baca juga artikel terkait FREEPORT INDONESIA atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Bisnis
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Rio Apinino