tirto.id - Drama perseteruan Pemerintah Indonesia dan Freeport memasuki babak akhir untuk musim ini. Kedua belah pihak menyepakati tiga poin utama yakni divestasi 51 persen saham, pembangunan smelter atau pabrik pemurnian, dan stabilitas penerimaan negara.
Namun, banyak hal yang belum tuntas dari perseteruan musim lalu. Mulai dari kejelasan soal nilai divestasi, investasi pembangunan smelter, hingga royalti Freeport. Drama perseteruan tampaknya masih akan dilanjutkan pada musim berikutnya.
Kesepakatan Pemerintah Indonesia dan Freeport ini memang patut diapresiasi. Pemerintah Indonesia yang diwakili Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri ESDM Ignasius Jonan dengan tersenyum cerah mengumumkan kesepakatan tersebut pada Selasa (29/8/2017).
“Ini merupakan mandat dari Presiden Joko Widodo, dan bisa diterima oleh Freeport,” ucap Jonan saat membuka jumpa pers yang digelar di Ruang Sarulla, Kementerian ESDM, Jakarta.
Pernyataan pemerintah disampaikan dengan hati-hati. Pertanyaan dari jurnalis dibatasi, baik Sri Mulyani maupun Jonan tak memberikan jawaban yang gamblang. Detail-detail mengenai kesepakatan tidak dirinci.
CEO Freeport-McMorran Richard Adkerson yang turut hadir dalam acara tersebut tidak banyak berbicara. Adkerson hanya menyampaikan, “kami telah mencapai kesepakatan dan Freeport sudah setuju terhadap divestasi 51 persen dan pembangunan smelter.”
Usai jumpa pers, ketiga tokoh utama tersebut langsung meninggalkan ruangan tanpa memberi kesempatan wartawan untuk mewawancarai lagi. Penjelasan lebih rinci diberikan melalui siaran pers yang dikeluarkan Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, dan Freeport McMoran (FCX).
Namun, ada perbedaan mendasar antara rilis yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia dan Freeport. Pemerintah Indonesia menyebut sebagai “Kesepakatan Final antara Pemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia (PTFI). Sementara Freeport menyebutnya dengan “FCX dan Pemerintah Indonesia telah mencapai suatu kesepahaman mengenai kerangka kerja untuk mendukung rencana investasi jangka panjang PTFI di Papua.”
FCX menyebut "kerangka", karena merasa masih membutuhkan dokumentasi definitif serta persetujuan dari dewan direksi dan mitra FCX terkait beberapa poin penting. “Pekerjaan penting masih harus dilakukan untuk mendokumentasikan kesepakatan ini, dan kami berkomitmen untuk menyelesaikan dokumentasi tersebut sesegera mungkin di tahun 2017,” kata Adkerson dalam siaran pers tersebut.
Meski demikian, kedua belah pihak sepakat menyebut bahwa kesepakatan tersebut merupakan sebuah langkah maju dari perundingan yang sudah berjalan selama beberapa waktu. Untuk pertama kalinya, kedua belah pihak menyepakati beberapa hal krusial terutama berkaitan dengan divestasi saham dan pembangunan smelter. “Tercapainya kesepahaman mengenai struktur kesepakatan bersama merupakan hal yang signifikan dan positif bagi seluruh pemangku kepentingan,” kata Adkerson.
Setelah kesepakatan itu, harga saham FCX pada perdagangan Selasa (29/8) waktu Amerika langsung turun 2,06 persen menjadi 15,21 dolar. Meski kesepakatan tersebut dianggap positif, tetapi investor masih membutuhkan sejumlah klarifikasi dan rincian dari kesepakatan, terutama soal harga divestasi.
Kisruh Perubahan Kontrak Karya
Sejak awal kehadirannya di Indonesia, Freeport memang telah memicu kontroversi. Yang terbaru adalah masalah izin ekspor yang dibekukan karena Freeport dianggap tak mematuhi peraturan dari Pemerintah Indonesia, khususnya Undang-undang mineral dan batubara.
Pada 12 Januari 2017, Freeport tidak lagi memiliki izin ekspor konsentrat tembaga, emas, dan perak. Akibatnya, Freeport harus menghentikan kegiatan operasionalnya mulai 10 Februari 2017. Dampaknya, ribuan karyawan harus dirumahkan.
Baca juga: Kemelut Izin Ekspor yang Membelit Freeport
Pemerintah Indonesia menyalahkan Freeport yang dianggap tidak mematuhi kewajibannya sehingga berdampak pada pembekuan izin ekspor konsentrat. Kewajiban Freeport yang dipermasalahkan pemerintah adalah divestasi saham yang seharusnya dilakukan sejak 2009 dan pembangunan smelter.
Baca juga: Jika Freeport Berhenti Beroperasi
Dalam regulasi baru yang diterbitkan pemerintah, perusahaan tambang yang diperbolehkan ekspor hanya mereka yang memenuhi sejumlah persyaratan, salah satunya berkomitmen untuk membangun smelter, divestasi 51 persen saham bagi perusahaan asing, serta mengubah status Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Hal tersebut diatur dalam PP No. 1 tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas PP No.23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (PP Minerba).
Freeport tidak terima dengan aturan tersebut, bahkan sempat berniat akan menggugat pemerintah Indonesia pada Februari 2017. Mereka mengirim surat resmi, terkait perubahan Kontrak Karya dan peluang bernegosiasi dalam empat bulan. “Dalam surat itu ada waktu 120 hari, di mana Pemerintah Indonesia dan Freeport bisa menyelesaikan perbedaan-perbedaan yang ada. Kalau tidak selesai, Freeport punya hak untuk melakukan arbitrase,” kata Adkerson pada (17/2).
Baca juga: Kontrak dalam Perdebatan, Freeport akan Gugat Indonesia
Sebelum tenggat waktu 120 hari terlewati, Freeport akhirnya kembali mengantongi izin ekspor. Gugatan arbitrase pun tak lagi terdengar kabarnya. Izin ekspor itu keluar bersamaan dengan kunjungan Wakil Presiden AS Michael Richard Pence ke Indonesia. Perundingan antara pemerintah dan Freeport terus berlanjut, hingga tercapainya kesepakatan pada Minggu, 27 Agustus 2017.
Babak baru ini tentu menjadi sebuah kabar baik bagi Freeport, meski masih diselimuti berbagai ketidakpastian. Dalam proses negosiasi yang berlarut-larut, harga saham mereka juga terus berfluktuasi.
Tak hanya itu, tambang tembaga dan emas mereka di Indonesia merupakan salah satu sumber uang penting bagi FCX. Misalnya pada 2016, FCX mencatat pendapatan hingga 14,830 miliar dolar. Dari jumlah tersebut, 3,295 miliar atau 22 persen berasal dari tambang di Indonesia. Dari sisi cadangan tembaga Freeport yang mencapai 86,8 miliar lbs (per 2016), tambang di Indonesia memberikan kontribusi hingga 30,99 persen. Sementara untuk cadangan emas Freeport yang mencapai 26,1 miliar Ozs (per 2016), dari Indonesia, memberikan kontribusi hingga 98,85 persen.
Bagi Indonesia, Freeport merupakan salah satu tambang yang diharapkan bisa memberikan dampak ekonomi yang positif baik pada warga sekitar maupun secara nasional. Segala upaya dikerahkan agar tambang-tambang yang Kontrak Karya di masa lalu dianggap merugikan, kini dinegosiasikan ulang. Termasuk kewajiban membangun smelter, yang ditujukan untuk menggairahkan industri dalam negeri.
Upaya pemerintah terus digiatkan mengingat kontribusi Freeport mengalami penurunan. Puncak “setoran Freeport” ke Indonesia terjadi pada 2007, dengan jumlah mencapai 1,805 miliar dolar. Namun setelahnya, kontribusi Freeport ke Indonesia yang terdiri dari dividen, royalti serta pajak dan pungutan lainya pada 2015 mencapai titik terendah hanya 368 juta dolar. Kontribusi Freeport sedikit meningkat pada 2016 menjadi 424 juta dolar. Angka tersebut tentu saja membuat pemerintah tidak senang. Mengubah KK menjadi IUPK diharapkan bisa menjaga “Stabilitas Penerimaan Negara”.
Mempertemukan keinginan Freeport dan Pemerintah Indonesia tentu sebuah tantangan, mengingat Kontrak Karya sudah diteken pada 1991 baru akan berakhir pada 2021. Investor butuh kepastian, pemerintah butuh pemasukan. Mencari jalan tengah tentu bukan hal yang mudah, apalagi jika ada bumbu-bumbu politisasi. Dengan fakta ini, maka mencari akhir dari babak perseteruan ini sudah pasti masih akan memerlukan jalan yang panjang.
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti