tirto.id - Negosiasi antara Pemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia masih belum menemukan titik temu. Perusahaan asal Amerika Serikat itu keberatan dengan sejumlah persyaratan yang diajukan pemerintah terkait perpanjangan relaksasi ekspor konsentrat setelah dihentikan sejak 12 Januari lalu.
Akibatnya, Freeport harus mengurangi produksi dan merumahkan karyawannya. Padahal, Freeport masih memiliki kesempatan untuk tetap bisa ekspor, jika saja menaati ketentuan yang diatur dalam PP No. 1/2017 tentang Perubahan Keempat atas PP No. 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (PP Minerba), serta ketentuan Permen ESDM No. 5/2017 dan Permen No. 6/2017 sebagai aturan turunan dari PP tersebut.
Dalam beleid baru ini, perusahaan tambang yang boleh mengekspor hanyalah yang memenuhi sejumlah persyaratan, salah satunya berkomitmen membangun smelter, divestasi 51 persen saham bagi perusahaan asing, serta mengubah status kontak karya (KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Sejauh ini, Freeport belum memenuhi syarat-syarat tersebut. Alih-alih memenuhi syarat yang diajukan pemerintah, Freeport justru mengancam akan menggugat ke arbitrase internasional.
Saat jumpa pers, di Jakarta, pada Senin (20/2/2017), Presiden dan CEO Freeport McMoRan Inc, Richard C. Adkerson mengatakan Freeport Indonesia pada 17 Februari telah mengirimkan surat pemberitahuan kepada Menteri ESDM, Ignasius Jonan mengenai tindakan wanprestasi dan pelanggaran KK oleh pemerintah. Ia juga menilai KK tersebut tidak dapat diubah sepihak oleh Pemerintah Indonesia melalui izin ekspor yang diberikan jika beralih status menjadi IUPK.
“Dalam surat itu ada waktu 120 hari, di mana pemerintah Indonesia dan Freeport bisa menyelesaikan perbedaan-perbedaan yang ada. Kalau tidak selesai, Freeport punya hak untuk melakukan arbitrase," kata Richard.
Sebaliknya, pemerintah tetap berpedoman pada regulasi yang ada. Ancaman yang dilayangkan Freeport Indonesia tidak membuat pemerintah mundur. Menteri ESDM Ignasius Jonan bahkan menuding Freeport Indonesia sebagai perusahaan yang rewel. Hal itu ditegaskan Jonan saat menanggapi alotnya negosiasi yang dilakukan pemerintah dengan perusahaan asal Amerika itu.
Dilema Pemerintah
Dalam konteks ini, pemerintah dihadapkan dengan dua pilihan yang cukup sulit. Di satu sisi, pemerintah ingin menegakkan regulasi yang ada, tetapi di sisi lain pemerintah juga dihadapkan dengan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal dan beragam kerugian ekonomi karena terhentinya pendapatan dari Freeport.
Dilema tersebut cukup beralasan jika melihat data ketenagakerjaan PT Freeport Indonesia (data per 30 Desember 2015). Pada periode tersebut, Freeport menyerap 32.416 pekerja, baik kontrak maupun karyawan tetap. Jika diperinci lebih detail, maka terdapat sekitar 12.085 pekerja tetap, yang terdiri dari 7.612 orang non-Papua, sekitar 4.321 orang merupakan asli Papua, dan sekitar 152 lainnya adalah warga asing.
Berdasarkan data Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Perumahan Rakyat (Disnakertrans-PR) Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, hingga 23 Februari 2017, Freeport telah memberhentikan 1.087 karyawan. “Data pada Rabu kemarin (22/2/2017), sebanyak 968 karyawan yang telah dikurangi berasal dari kontrak grup, sedangkan karyawan Freeport sebanyak 40 orang, dan karyawan asing sebanyak 60 orang,” kata Kepala Disnakertrans-PR, Kabupaten Mimika, Septinus Somilena.
Ia menambahkan, “Hari ini kami telah mendapat laporan dari Trakindo yang telah mengurangi 119 karyawan, jadi total ada 1.087 karyawan [yang diberhentikan] hingga hari ini.” ujarnya pada 23 Februari lalu.
Karena itu, pemerintah tetap membuka ruang negosiasi dengan Freeport dengan memberikan beberapa opsi. Hal ini dilakukan pemerintah untuk menghindari terjadinya PHK karyawan secara besar-besaran. Sayangnya, dari sekian opsi yang ditawarkan pemerintah, Freeport lebih memilih untuk merumahkan karyawannya.
“Pilihan perpanjangan kontrak sudah kami berikan, rekomendasi ekspor kembali juga sudah dikeluarkan pemerintah, kalaupun mau dengan Kontrak Karya juga bisa, tentu saja dengan peraturan yang baru sesuai saat ini,” kata Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Komunikasi Publik, Hadi Mustofa Djuraid, pada Senin (27/2/2017).
Perkembangan terakhir, Kantor Imigrasi Kelas II Tembagapura melaporkan, sebanyak 70 pekerja asing (expatriat) yang bekerja di perusahaan pertambangan Freeport Indonesia dan sejumlah perusahaan sub kontraktornya sudah kembali ke negara asalnya. Kepala Seksi Informasi dan Sarana Komunikasi pada Kantor Imigrasi Tembagapura, Mochammad Dede Sulaiman mengatakan hingga kini (28 Februari 2017) baru empat perusahaan yang telah melaporkan kepulangan pekerja asingnya.
Empat perusahaan itu yakni PT Freeport Indonesia, PT Redpath, PT RUC dan PT JDA. “Pekerja asing PT Freeport yang sudah pulang sebanyak 23 orang (ditambah anggota keluarga mereka 52 orang), PT Redpath sebanyak 31 orang, PT RUC sebanyak 11 orang dan PT JDA sebanyak lima orang,” kata Kepala Seksi Informasi dan Sarana Komunikasi pada Kantor Imigrasi Tembagapura, Mochammad Dede Sulaiman, seperti dikutipAntara.
Jika Freeport Benar-Benar Tutup
Selain ancaman PHK massal, ada sejumlah konsekuensi lain yang harus dihadapi pemerintah pusat dan Papua yang selama ini mendapatkan pemasukan dari industri tambang yang beroperasi di bumi cenderawasih itu. Misalnya, penerimaan yang didapatkan Provinsi Papua dari sistem manajemen tailing yang selalu meningkat tiap tahunnya.
Menurut data Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Papua, jenis penerimaan dari sistem manajemen tailing ini pada tahun 2013 mencapai Rp35,17 miliar, naik pada tahun berikutnya menjadi Rp36,50 miliar, dan pada tahun 2015 menjadi Rp41,09 miliar. Artinya, jika operasi pertambangan Freeport Indonesia berhenti, maka potensi pendapatan dari sistem manajemen tailing yang selama ini didapatkan Provinsi Papua juga ikut terancam.
Lalu, bagaimana dengan penerimaan negara?
Berdasarkan data Freeport yang diolah Tim Riset Tirto, total penerimaan negara yang didapatkan dari Freeport sebesar $16,16 miliar sejak 1992 hingga 2015. Pada 2015 saja, total penerimaan bagi Indonesia dari Freeport sebesar $368 juta atau Rp5,08 triliun jika dikonversi menggunakan kurs tahun yang sama. Nilai ini hanya setara dengan 0,34 persen dari total penerimaan negara pada periode yang sama.
Sumber penerimaan negara terbesar dari perusahaan asal Amerika ini berasal dari pajak dan pungutan lainnya, seperti bea masuk dan retribusi daerah. Sejak 2001 hingga 2015, per tahunnya pajak dan pungutan lainnya yang diterima Indonesia dari Freeport rata-rata sebesar $786,8 juta. Sedangkan untuk nilai dividen dan royalti hanya berkontribusi sekitar 20 persen atas total penerimaan negara dari Freeport. Bahkan, sejak 2012, Freeport sudah tidak lagi memberikan dividen pemerintah.
Namun, jika dibandingkan dengan pendapatan Freeport Indonesia, maka nilai penerimaan negara tersebut jauh lebih kecil. Sejak 2005 hingga 2015, Freeport Indonesia membukukan pendapatan rata-rata sebesar $3,72 miliar setiap tahun. Kontribusi pertahun sejak 2011 hingga sekarang kepada perusahaan induknya, Freeport McMoran, sebesar 17,27 persen.
Pada 2005, Freeport Indonesia menjadi kontributor pendapatan terbesar bagi Freeport McMoran dengan kontribusi sebesar 85,53 persen. Maka, tak heran jika Freeport McMoran merasa dirugikan dengan adanya regulasi baru yang dikeluarkan pemerintah.
Namun demikian, penutupan tambang Freeport Indonesia di Papua tidak akan terlalu berpengaruh terhadap pasokan tembaga dunia. Hal ini dapat dilihat dari data yang dilansir U.S. Geological Survey dalam “Mineral Commodity Summaries 2016.” Berdasarkan data tersebut, total produksi tembaga dunia pada 2015 mencapai 18,7 juta metrik ton.
Berdasarkan data itu, terdapat 10 negara pengasil tembaga terbesar di dunia, yaitu: Chili dengan jumlah produksi pertahunnya sebanyak 5,7 juta ton tembaga. Disusul Cina dengan jumlah produksi pertahunnya sebanyak 1,75 juta ton. Sedangkan Peru menduduki urutan ketiga sebagai negara penghasil tembaga terbesar di dunia dengan jumlah produksi pertahunnya sebanyak 1,6 juta ton.
Indonesia tidak termasuk dalam 10 negara penghasil tembaga tersebut. Jika dipersentasekan, negara-negara di luar 10 besar penghasil tembaga tersebut hanya berkontribusi serkitar 3,9 juta metrik ton atau sekitar kurang lebih 15 persen dari total produksi dunia.
Hal yang sama juga terjadi dalam produksi emas. Merujuk pada data yang dilansir U.S. Geological Survey, total produksi emas dunia pada tahun 2015 adalah sekitar 3 juta metrik ton. Indonesia sebagai negara tempat produksi Freeport Indonesia juga tidak termasuk dalam sepuluh besar negara penghasil produksi emas. Indonesia hanya menyumbang sekitar 75 ribu metrik ton emas pada tahun 2015. Artinya, penutupan Freeport Indonesia di Papua tidak akan berpengaruh signifikan terhadap produksi tembaga dan emas dunia.
Meski demikian, hingga saat ini pemerintah masih mengkaji solusi terbaik terkait penyelesaian polemik ini. Salah satu opsi yang mengemuka adalah membeli 10,46 persen divestasi saham Freeport Indonesia.
“Ya bisa jadi begitu. Bisa jadi juga orang lain membeli sahamnya. Kita enggak tahu juga karena ada opsi-opsi lain,” kata Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, seperti dikutip Antara, Senin (27/2/2017).
Luhut mengaku masih akan melihat pilihan terbaik untuk melakukan pembelian divestasi saham. Kendati demikian, Luhut memastikan harus ada pembicaraan baik-baik dengan perusahaan tambang asal Amerika itu. Namun, di sisi lain kepentingan nasional Indonesia juga tidak boleh dikorbankan.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti