Menuju konten utama

10 Tahun Jokowi: Akuisisi Freeport hingga Blok Mahakam & Rokan

Selama 10 tahun Jokowi, setidaknya ada tiga tambang besar yang kembali ke pangkuan Indonesia, yaitu: Blok Mahakam, Freeport, dan Blok Rokan.

10 Tahun Jokowi: Akuisisi Freeport hingga Blok Mahakam & Rokan
Presiden Joko Widodo menyapa anak-anak yang menyambutnya saat tiba di Istora Papua Bangkit, Jayapura, Rabu (23/7/2024). Presiden menghadiri peringatan Hari Anak Nasional Ke-40 bertema "Anak Terlindungi, Indonesia Maju". ANTARA FOTO/Gusti Tanati/tom.

tirto.id - Selama hampir dua periode, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berhasil mengembalikan sejumlah tambang raksasa ke pangkuan Ibu Pertiwi. Tiga tambang itu di antaranya adalah Blok Mahakam di Balikpapan, Kalimantan Timur, Freeport di Bumi Cendrawasih atau Papua, serta Blok Rokan di Provinsi Riau. Ketiganya merupakan aset tambang negara yang selama ini telah dikelola dan dikuasai oleh pihak luar atau asing.

Selama 50 tahun, daerah kaya minyak dan gas di Kalimantan yang dikenal dengan Blok Mahakam, dikuasai oleh kontraktor asing dari Prancis (Total E&P Indonesie) dan Jepang (Inpex Corporation). Namun sejak 1 Januari 2018, Pemerintah Jokowi-JK berhasil megalihkelolakan blok tersebut kepada PT Pertamina (Persero) yang merupakan representasi negara.

Agar transisi pengelolaan dapat dilaksanakan dengan mulus, pada 16 Desember 2015 telah dibuat Head Of Agreement (HoA) antara Pertamina dengan Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation. Salah satu substansi HoA yaitu Transfer Agreement untuk mempertahankan kelanjutan operasi selama masa transisi pasca 2017.

HoA itu mencakup proses peralihan operator yang baik dari Total kepada Pertamina, dengan mempertimbangkan hak-hak dan kewajiban semua pihak, baik kontraktor lama maupun baru, termasuk proses pengalihan karyawan Total di Blok Mahakam menjadi karyawan Pertamina, serta penyiapan anggaran dan rencana kerja pasca 31 Desember 2017 oleh Pertamina melalui PT Pertamina Hulu Mahakam (PT PHM).

Selanjutnya, pada 25 Oktober 2016, SKK Migas dan PT PHM juga menandatangani amandemen Kontrak Bagi Hasil Blok Mahakam. Amandemen tersebut menjadi dasar bagi Pertamina untuk dapat berinvestasi lebih awal melakukan kegiatan pengeboran Blok Mahakam dalam rangka menjaga tingkat produksi. Amandemen kontrak bagi hasil ini memberikan ruang kepada Pertamina untuk melakukan investasi mulai 2017 sebelum pengelolaan penuh oleh Pertamina pada Januari 2018.

Jokowi saat itu memang punya komitmen besar untuk mengupayakan agar kedaulatan negara atas sumber daya alam yang dimilikinya dapat dikuasai sepenuhnya oleh negara. Termasuk sumber daya alam minyak dan gas (migas) yang saat ini telah dikelola.

“Dan kini, Alhamdulillah, kita menutup tahun 2018 dan memasuki tahun yang baru, sebagai bangsa yang semakin berdaulat atas bumi dan kekayaan alamnya sendiri,” kata Jokowi saat itu.

Setelah sukses mengelola Blok Mahakam pada 1 Januari 2018, dalam kurun waktu sembilan bulan berikutnya, Jokowi berhasil melakukan divestasi saham milik PT Freeport Indonesia. Proses divestasi 51 persen saham Freeport Indonesia resmi disepakati, setelah Holding Industri Pertambangan PT Inalum (Persero), Freeport McMoRan Inc. (FCX) dan Rio Tinto menandatangani Perjanjian Divestasi PTFI, Perjanjian Jual Beli Saham PT Rio Tinto Indonesia (PTRTI), dan Perjanjian Pemegang Saham PTFI, pada 27 September 2018.

Penandatanganan perjanjian itu merupakan kelanjutan dari Pokok-Pokok Perjanjian (Head of Agreement) terkait penjualan saham FCX. Dengan penandatanganan tersebut, maka jumlah saham PTFI yang dimiliki INALUM akan meningkat dari 9,36 persen sebelumnya menjadi 51,23 persen. Sementara Pemda Papua akan memperoleh 10 persen dari 100 persen saham PTFI.

Rencana divestasi yang dilakukan pemerintah dengan Freeport sudah berlangsung sejak lama. Semua bermula pada 1967, saat Freeport dan pemerintah menekan Kontrak Karya, dengan masa berlaku sampai 30 tahun. Dari kontrak ini, Freeport McMoRan memiliki saham 90,64 persen dan pemerintah hanya memiliki saham 9,36 persen. Freeport kemudian memperpanjang Kontrak Karya II di 1991 dan berlaku untuk 30 tahun ke depan.

Pada tahun tersebut, dimulailah proses divestasi yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam Kontrak Karya II, pasal 24 mengatur jelas bahwa perusahaan penambang mineral wajib melepas sahamnya ke pemerintah Indonesia sebanyak dua tahap. 9,36 persen dalam kurun waktu 10 tahun sejak kontrak ditekan dan selanjutnya menawarkan 2 persen per tahun sampai mencapai 51 persen.

Proses divestasi sempat berantakan ketika Presiden Soeharto menerbitkan Peraturan Presiden (PP) Nomor 20 Tahun 1994, di mana aturan tersebut perusahaan asing bisa memiliki saham hingga 100 persen dan diperbolehkan membeli saham perusahaan yang sudah didirikan dalam rangka penanaman modal dalam negeri. Padahal saat itu perusahaan swasta nasional PT Indocopper telah membeli saham Freeport sebesar 9,36 persen.

Kemudian pada 2010, di pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan PP Nomor 23 Tahun 2010 di mana ada kewajiban divestasi sebesar 20 persen sampai pada PP 1 Tahun 2017 kewajiban divestasi mencapai 51 persen.

Dalam prosesnya, Jokowi sendiri mengakui bahwa salah satu yang sulit adalah mengambil alih tambang Freeport di Papua. Negosiasinya, kata Jokowi, berjalan alot dan berlangsung selama 3,5 tahun. Bahkan ketika itu, Freeport hanya mengizinkan sekitar 30 persen saham saja. Namun kemudian ditolak dan pemerintah ngotot ingin mendapatkan hak kepemilikan mayoritas 51 persen.

“Sudah 40 tahun Indonesia hanya menikmati bagi hasil pengolahan 9,3 persen dari tambang ini. Alhamdulillah, upaya panjang itu sudah membuahkan hasil. Kepemilikan saham kita di Freeport Indonesia kini menjadi 51 persen,” ujar Presiden Jokowi.

Tak puas sampai di situ, Jokowi bahkan memberi sinyal akan meningkatkan kepemilikan saham Freeport dari semula 51 persen menjadi 61 persen. Dengan penambahan ini, maka penerimaan negara dari Freeport diperkirakan akan naik hingga 10 persen. Karena dengan saham 51 persen, saja pendapatan Indonesia sudah mencapai 70 persen. Jika kepemilikan saham 61 persen tercapai nantinya, pendapatan Indonesia diperkirakan akan naik hingga 80 persen.

“Jadi, jangan ada bayangan Freeport itu [milik] Amerika. Sudah Indonesia. Sebentar lagi, akan kita tambah menjadi 61 persen," kata Jokowi dalam acara Kongres Hikmahabudi ke-12 di Jakarta, Kamis (28/3/2024).

Namun penambahan kepemilikan saham tersebut masih dinegosiasikan setelah mantan Walikota Solo itu bertemu dengan Presdir Freeport Indonesia, Tony Wenas, beserta Chairman & CEO Freeport McMoran Inc, Richard C. Adkerson, dan CFO Freeport McMoran, Kathleen L. Quirk. "Masih dalam proses negosiasi dan juga persiapan regulasinya. Tapi, saya yakin angka itu bisa kita dapatkan," kata Jokowi.

Periode II Jokowi Merebut Blok Rokan

Tak hanya itu, Jokowi kembali berhasil mengambil alih kelola Blok Rokan pada 9 Agustus 2021. Pengelolaan Wilayah Kerja (WK) Rokan di Provinsi Riau beralih dari PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) ke PT Pertamina Hulu Rokan (PHR). Alih kelola ini juga menjadi tonggak sejarah pengelolaan hulu migas di Indonesia.

Sesuai Keputusan Menteri ESDM No. 1923 K/10/MEM/2018 Tanggal 6 Agustus 2018, pemerintah telah memutuskan Pertamina melalui afiliasinya PHR sebagai pengelola WK Rokan pasca 8 Agustus 2021 dengan Participating Interest (PI) sebesar 100 persen (termasuk PI 10 persen yang akan ditawarkan kepada BUMD).

Kontrak Kerja Sama WK Rokan telah ditandatangani antara PT PHR dengan SKK Migas pada 9 Mei 2019 dengan menggunakan Skema Kontrak Gross Split dan akan berlaku efektif sejak 9 Agustus 2021 dengan masa kontrak selama 20 tahun.

WK Rokan merupakan salah satu wilayah kerja strategis yang sejak 1951 hingga 2021, telah menghasilkan 11,69 miliar barel minyak dengan produksi rata-rata tahun 2021 sampai dengan Juli 2021 sebesar 160,5 ribu barel minyak per hari untuk minyak bumi atau sekitar 24 persen dari produksi nasional dan 41 MMSCFD untuk gas bumi.

“Blok Rokan di Dumai di Provinsi Riau ini sudah 100 persen dimiliki oleh Pertamina, dimiliki oleh negara kita Indonesia, dan dikelola 100 persen oleh anak-anak bangsa sendiri," ungkap Jokowi.

Jokowi mengatakan, sejak dikelola oleh anak bangsa, produksi minyak di Blok Rokan mengalami peningkatan signifikan. Jika sebelumnya saat dikelola Chevron, Blok Rokan menghasilkan 130 ribu barel minyak per hari, maka setelah diambil alih Pertamina menjadi 162 ribu barel per hari.

Jokowi bahkan memasang target ambisius kepada Pertamina untuk meningkatkan produksi menjadi lebih dari 200 ribu barel per hari. Target itu bukan sesuatu yang sulit mengingat Pertamina sudah mulai menggunakan teknologi baru untuk menghasilkan produksi yang berlipat.

“Ini akan dikembangkan di sumur-sumur yang lain yang dipilih sehingga nanti produksinya bisa meningkat drastis,” kata dia.

Capaian Positif dan Catatan Bagi Jokowi

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, mengatakan, keberhasilan Jokowi ambil alih tiga tambang raksasa seperti Blok Mahakam, Freeport, dan Blok Rokan cukup positif. Karena dengan mayoritas saham dikuasai Indonesia kendali pemerintah dalam pengelolaan tambang tersebut menjadi lebih sesuai dengan apa yang diinginkan.

“Kalau dari aspek nasionalisme saya kira positif. Kemudian sebagian besar share-nya ada di kita. Jadi dari aspek fleksibilitas pengelolaan saya kira sangat positif,” ujar dia kepada Tirto, Kamis (15/8/2024).

Kendati positif, Komaidi justru memberikan sedikit catatan terhadap ekspektasi publik pasca ambil alih tiga tambang raksasa tersebut. Karena ekspektasi publik hari ini, kata Komaidi, ketika Blok Rokan, Freeport, dan Blok Mahakam dikelola Indonesia ada nilai tambah besar dibandingkan dengan pengelolaan sebelumnya.

“Tetapi ini di dalam aspek ekonominya hanya pemindahan kue dari A ke B. Kalau sebelumnya dari swasta jauh lebih besar dari mitra kita lebih besar, sekarang kemudian ke pemerintahnya lebih besar. Tetapi apakah ini mengubah besaran kue? Tidak. Kue tetap sama,” kata dia.

Sebagai contoh, kata dia, jika produksi Blok Rokan sebelumnya bisa mencapai 200 ribu barel minyak per hari, apakah dengan dikuasai oleh pemerintah produksinya akan bertambah? Tidak demikian. Karena faktanya Blok Rokan sebagai penyumbang produksi minyak tertinggi di Indonesia hanya mampu memproduksi sebesar 161.623 barel minyak per hari.

“Jadi tetap segitu hanya share-nya berubah dan pengolahannya berubah sehingga terhadap produksi nasional sama kuenya itu itu saja,” jelas dia.

Menurut Komaidi, perlu dikalibrasikan dan disesuaikan lagi bagaimana cara pandang publik melihat pengambilalihan ini. Jangan sampai kemudian ketika seluruh pengelolaanya pindah ke Indonesia seolah olah dikotomi. Kalau sebelumnya dikelola asing dapatnya sedikit dan sebaliknya jika sudah ke Indonesia akan dapat lebih besar.

“Tapi kok hasilnya sama saja begitu. Emang sama saja kuenya itu-itu saja begitu. Kalau dilihat skala produksinya akan itu-itu saja. Mungkin perbedaanya ada di aspek kontrolnya. Ini catatannya,” pungkas dia.

Baca juga artikel terkait JANJI JOKOWI atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz