tirto.id - Janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat cuma omong kosong. Menuju purnabakti dua periode kepemimpinannya, belum ada pengungkapan dan pelaku HAM berat masa lalu yang diadili. Padahal, ketika kampanye di Pilpres 2014 dan 2019, Jokowi berjanji bakal menuntaskan masalah HAM berat ini.
Jokowi memang sudah mengakui dan menyesali 12 peristiwa HAM berat masa lalu pada 2023. Kasus HAM berat yang diakui pemerintah meliputi Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari di Lampung 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, dan Peristiwa Kerusuhan Mei 1998.
Kemudian Peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA Aceh 1999, Peristiwa Wasior Papua 2001-2002, Peristiwa Wamena Papua 2003, dan Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003.
Namun, pengakuan ini dinilai belum sepenuhnya memberikan rasa keadilan bagi pihak korban. Sikap pemerintah yang lebih mengedepankan penyelesaian non-yudisial juga sarat membawa masalah baru bagi kelompok keluarga korban. Terlebih, masa kerja Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (Tim PPHAM) yang berakhir Desember 2023 hingga saat ini belum juga diperpanjang.
Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Jane Rosalina Rumpia, menilai komitmen Jokowi dalam penyelesaian HAM berat terbukti omong kosong belaka. Pasalnya, upaya pemerintah belum diikuti langkah konkret pertanggungjawaban hukum dan akuntabilitas Negara dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Patut diduga, kata Jane, penggalan janji penuntasan kasus HAM berat turut cuma menjadi daya tarik kemenangan Jokowi dalam dua kali pelaksanaan Pilpres.
“Terlebih, rekam jejak dirinya bukan berasal dari latar belakang militer dan tidak memiliki catatan hitam dosa politik rezim Orde Baru, yang tentu hal ini dapat diyakini mewujudkan keadilan bagi para korban,” kata Jane kepada reporter Tirto, Selasa (13/8/2024).
Upaya pemerintah Jokowi yang selalu mengedepankan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu lewat jalur non-yudisial dinilai sebagai siasat pemutihan. Sebelum pembentukan Tim PPHAM, tercatat sudah ada beberapa konsep yang dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat di luar jalur pengadilan.
KontraS mencatat terdapat 7 tim yang pernah dibentuk di era Jokowi sejak awal menjadi Presiden. Meliputi Tim Penyelesaian Kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (2016), Komite Gabungan Pengungkap Kebenaran dan Rekonsiliasi (Agustus 2015-2016), Tim Gabungan Terpadu Untuk Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (2016 dibawah wewenang Kemenkopolhukam), Dewan Kerukunan Nasional (2018), Tim Terpadu Penanganan Kasus Pelanggaran HAM Berat yang menjadi pelopor Deklarasi Damai Talangsari (2019), Tim Terpadu Kemenko Polhukam (2019), dan yang terbaru Tim PPHAM.
Jane menilai, semua tim yang dibentuk Jokowi belum memperoleh hasil keadilan yang signifikan bagi korban dan keluarga korban. Demikian pula dengan tim PPHAM, selain proses pembentukannya yang diwarnai sejumlah permasalahan, rekomendasi yang dikeluarkan oleh tim ini juga sangat jauh dari semangat memunculkan kewajiban negara melakukan pengungkapan kebenaran dan pertanggungjawaban bagi para pelaku HAM berat.
Jokowi sudah menerima rekomendasi dari Tim PP HAM yang ditindaklanjuti dengan hadirnya Inpres nomor 2 tahun 2023. Inpres itu menginstruksikan 19 kementerian dan lembaga mengambil langkah secara terkoordinasi sesuai tugas dan fungsi kewenangan masing-masing untuk melaksanakan rekomendasi Tim PP HAM.
Jane memandang, mekanisme penyelesaian non-yudisial yang ditawarkan Jokowi sejatinya bukanlah praktik baik yang diajarkan oleh hukum internasional terkait dengan kerangka keadilan transisi (transitional justice). Sebab syarat utama penyelesaian non-yudisial seharusnya didahului dengan upaya pengungkapan kebenaran.
“Demikian pula dengan kerangka normatif dan kebijakan nasional yang sejatinya hanya mengenal mekanisme penuntutan pidana yang disediakan melalui Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,” jelas Jane.
Wakil Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, memperkuat pendapat Jane. Ia menegaskan bahwa penyelesaian pelanggaran HAM berat sejatinya tidak mengenal istilah non-yudisial. Seharusnya jalan yang ditempuh pemerintah adalah penyelesaian yudisial yakni lewat pengadilan HAM untuk menyeret terduga pelaku.
“Nah, masalah kompensasi, rehabilitasi, atau restitusi sebagaimana yang diklaim oleh Jokowi sebagai penyelesaian non-yudisial, itu semuanya memang kewajiban dan tanggung jawab negara untuk memenuhi hak-hak korban,” ucap Ardi kepada reporter Tirto.
Ardi memandang bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat secara non-yudisial merupakan bentuk penguburan kasus-kasus itu sendiri. Hal tersebut memberikan impunitas bagi terduga pelaku pelanggar HAM untuk melenggang bebas dalam kontestasi politik.
Kecurigaan itu terbukti benar, sebab Jokowi menarik figur-figur yang memiliki catatan terkait peristiwa pelanggaran HAM berat ke dalam jajaran pemerintahan. Misal, Jokowi pernah mengangkat Hartomo sebagai Kepala BAIS (2016-2017), seorang mayor jenderal TNI yang diduga terlibat dalam kasus pembunuhan Theys Hiyo Eluay, aktivis masyarakat adat Papua.
KontraS bahkan pernah mencatat, ada belasan purnawirawan yang diduga terlibat dalam kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu berada di barisan pendukung Jokowi dan Prabowo Subianto dalam kontestasi Pilpres 2019 silam. Beberapa figur yang sudah disebut KontraS, memang ada yang masuk dalam pemerintahan Jokowi, misal Wiranto yang saat ini jadi Ketua Wantimpres dan Ryamizard Ryacudu yang sempat menjadi Menteri Pertahanan.
Menteri Pertahanan kabinet saat ini sekaligus presiden terpilih, Prabowo Subianto, juga disebut masyarakat sipil sudah ditetapkan bersalah dan terbukti melakukan beberapa penyimpangan dan kesalahan termasuk melakukan penculikan terhadap beberapa aktivis pro-demokrasi pada 1998. Hal itu berdasarkan Keputusan Dewan Kehormatan Perwira Nomor: KEP/03/VIII/1998/DKP.
Situasi tersebut menunjukkan mekanisme human rights vetting mechanism tidak pernah dijalankan secara serius dalam sistem politik dan pemerintahan. Padahal, memeriksa latar belakang atau rekam jejak personil yang akan menduduki jabatan-jabatan publik merupakan elemen kunci dari reformasi sektor keamanan yang efektif.
“Sangat berbahaya, karena di masa pemerintahan Jokowi ini, terduga atau bahkan terpidana kasus pelanggaran HAM berat masa lalu mendapatkan promosi jabatan pada instansi pemerintah,” ucap Ardi.
Ardi memandang masyarakat dan korban memang terpedaya dengan janji Jokowi terkait kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Padahal, yang dilakukan dua periode pemerintah Jokowi terkait kasus pelanggaran HAM berat masa lalu merupakan upaya politik mengubur kasus itu sendiri.
“Pemerintah Jokowi tidak melaksanakan rekomendasi DPR terkait pembentukan pengadilan HAM Ad-Hoc untuk kasus penghilangan orang secara paksa atau penculikan. Kasus-kasus pelanggaran HAM berat lain, juga bahkan tidak ada berujung pada keadilan bagi korban,” tegas Ardi.
Melakukan Impunitas
Jokowi ‘sukses’ meneruskan performa pemerintahan presiden sebelum dirinya yang selalu gagal dalam mengadili terduga pelaku pelanggaran HAM berat. Sebelumnya, ada tiga kasus pelanggaran HAM berat yang sudah disidangkan, yakni peristiwa Tanjung Priok pada 1984, Timor-Timur tahun 1999, dan Abepura 2000. Namun semua pelakunya divonis bebas karena tidak ada bukti yang cukup.
Di masa presiden Jokowi, ada kasus Paniai berdarah yang menewaskan empat orang pada 2014. Namun pengadilan HAM di Pengadilan Negeri Makassar pada 2022 justru melepas bebas satu-satunya terdakwa dalam kasus ini, Mayor Infantri (Purn) Isak Sattu.
Jane dari KontraS memandang, absennya penghukuman para pelaku HAM berat membuat pelbagai pelanggaran lebih buruk terus terjadi. Di era pemerintahan Jokowi sendiri justru terjadi berbagai peristiwa pelanggaran HAM yang diduga dilakukan oleh aktor negara (state-actor), seperti aparat keamanan.
Misalnya kasus Tragedi Kanjuruhan Malang yang menewaskan 135 orang, kasus tewasnya dua mahasiswa dalam aksi penolakan revisi UU KPK, penembakan jamaah Rizieq Shihab di kilometer 50, belum lagi kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua yang terus terjadi dan dilakukan berbagai pihak.
Maka semakin tidak dapat dipungkiri, kata Jane, Jokowi beserta jajarannya gagal dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia khususnya hak korban yang telah lama menanti keadilan.
“Kurangnya kemauan pihak-pihak tertentu dalam menyelesaikan kasus, sistem hukum yang kurang memadai untuk mengadili pelaku, hingga proses politik yang sarat akan kepentingan menjadi hambatan-hambatan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu,” jelas Jane.
Dalam wawancara dengan Tirto beberapa waktu lalu, Deputi V Bidang Politik, Hukum, Pertahanan, Keamanan, dan HAM Kantor Staf Presiden, Rumadi Ahmad, menegaskan Pemerintah Joko Widodo-Ma’ruf Amin telah dan terus mengupayakan penyelesaian pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu. Upaya tersebut diklaim dilakukan lewat dua jalur atau mekanisme, yaitu dengan mekanisme yudisial dan non-yudisial.
Rumadi mencontohkan, mekanisme yudisial pernah dilakukan pemerintah lewat Pengadilan HAM untuk Kasus Paniai, Papua, yang dilangsungkan pada 2022 silam. Penyelesaian non-yudisial, sampai berakhirnya masa kerja Tim PPHAM akhir 2023, sebanyak 582 korban pelanggaran HAM telah didata (berdasarkan data dari Komnas HAM) sebagai penerima hak pemulihan yang penyerahannya diberikan secara bertahap.
“Sampai Tim [PPHAM] dibentuk kembali oleh presiden, tugas pemantauan pelaksanaan Inpres Nomor 2 Tahun 2023 diambil oleh Kemenko Polhukam, dan Kantor Staf Presiden (KSP) sebagai pengendali program prioritas dan pengelola isu strategis Presiden,” kata Rumadi kepada reporter Tirto.
Pengajar hukum dari STH Indonesia Jentera, Asfinawati, justru menyatakan bahwa pengadilan kasus Paniai adalah contoh buruk penanganan pemerintah Jokowi terhadap pelanggaran HAM lewat jalur pengadilan. Pasalnya, pelaku yang didakwa cuma satu orang dan itu pun mendapatkan vonis bebas.
“Tidak masuk akal sekali kejahatan kemanusiaan yang syaratnya sistematis atau meluas hanya dilakukan 1 orang,” kata Asfinawati kepada reporter Tirto.
Jokowi, kata dia, bukan hanya melakukan impunitas terhadap pelanggar HAM, namun juga melakukan kebohongan berkali-kali kepada keluarga korban. Di akhir masa baktinya Jokowi malah membalik situasi dengan membantu terduga pelanggaran HAM berat masa lalu untuk memenangi pilpres.
“Seharusnya orang yang terlihat dalam pelanggaran HAM di masa lalu harus disingkirkan dari jabatan publik,” tegas Asfinawati.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang