Menuju konten utama

Pembongkaran Gate 13 Kanjuruhan & Upaya Hapus Pelanggaran HAM

Pembongkaran Gate 13 Kanjuruhan membuktikan impunitas terhadap pelanggar HAM terus dilanggengkan pemerintah.

Pembongkaran Gate 13 Kanjuruhan & Upaya Hapus Pelanggaran HAM
Warga bersama keluarga korban membentangkan poster saat aksi peringatan satu tahun Tragedi Kanjuruhan di depan Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Minggu (1/10/2023). ANTARA FOTO/Irfan Sumanjaya/nz

tirto.id - Keluarga korban Tragedi Kanjuruhan seakan dipaksa menelan pil pahit berulang. Belum rampung proses hukum demi mengusut tuntas keadilan yang masih bengkok di balik Tragedi Kanjuruhan, kini nestapa itu berganda.

Gate atau gerbang 13 – saksi bisu tempat banyak korban Tragedi Kanjuruhan meregang nyawa pada 1 Oktober 2022 lalu – dibongkar sepihak dalam proses renovasi Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Pembongkaran yang dilakukan oleh PT Waskita Raya – salah satu pihak yang merenovasi stadion Kanjuruhan – amat disayangkan keluarga korban. Bukan tanpa alasan, selama ini Gate 13 menjadi titik temu keluarga korban Kanjuruhan mengipas bara semangat: berbagi bahu mengenang duka dan menuntut tuntas keadilan.

Gate 13 Kanjuruhan sudah menjadi memorabilia bagi keluarga korban, sekaligus tempat melayangkan doa untuk korban Tragedi Kanjuruhan.

Keluarga korban dan masyarakat sipil yang mendampingi, menilai pembongkaran dilakukan sebagai suatu upaya penghapusan jejak bukti Tragedi Kanjuruhan. Sekitar 40 persen korban meregang nyawa di Gate 13. Tragedi yang terjadi 1 Oktober 2022 silam ini, menewaskan 135 orang, puluhan di antaranya merupakan anak-anak.

Ratusan korban Tragedi Kanjuruhan bukan sekadar angka. Keluarga korban terus berjuang mencari keadilan pemerintah atas kelalaian yang menyebabkan buah hati mereka meregang nyawa. Pembongkaran Gate 13 Kanjuruhan membuat proses hukum yang tengah diperjuangkan keluarga korban seakan diabaikan dan dipaksa dilupakan.

Pengajar STH Indonesia Jentera, Asfinawati, menilai pembongkaran Gate 13 Stadion Kanjuruhan tidak bisa dianggap masalah sepele. Dia menilai sikap ini merupakan bentuk pengabaian pemerintah terhadap kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Hal serupa juga dilakukan pemerintah terhadap situs Rumoh Geudong, Aceh, yang merupakan Tempat Kejadian Perkara (TKP) kekejaman dan pelanggaran HAM pada rezim Orde Baru.

“Ini bukan hal sepele karena menjaga situs [tempat kejadian] pelanggaran HAM bagian dari penanganan pelanggaran HAM non-yudisial,” kata Asfinawati kepada reporter Tirto, Rabu (24/7/2024).

Pembongkaran Gate 13 Kanjuruhan adalah politik amnesia yang dilakukan negara untuk menghapus jejak-jejak pelanggaran HAM. Bukan hanya itu, sikap ini juga seolah menjadi landasan mengafirmasi perbuatan yang dilakukan para pelanggar HAM.

Lebih jauh, pembongkaran Gate 13 Stadion Kanjuruhan membuktikan impunitas terhadap pelanggar HAM terus dilanggengkan. Asfinawati memberikan contoh kasus Paniai yang sudah dianggap pelanggaran HAM berat, namun terdakwa yang diadili hanya satu orang.

“Kecenderungan pemerintahan ini kan tidak mempedulikan HAM. Jadi tindakan-tindakan impunitas pasti menjadi bagiannya,” kata Asfinawati.

Selain itu, Asfinawati menilai penghancuran Gate 13 Stadion Kanjuruhan berpotensi mengganggu proses hukum yang berjalan. Aparat penegak hukum yang akan menguak Tragedi Kanjuruhan, bisa menemui kesulitan ketika tempat kejadian perkara sendiri sudah hilang atau rusak.

“Ke depan orang ingin melakukan penyelidikan lebih lanjut peristiwa Kanjuruhan, baik karena terungkapnya fakta baru maupun tidak, tapi tempat kejadian sudah tidak ada,” kata Asfinawati.

Aksi peringatan satu tahun tragedi Kanjuruhan

Warga bersama keluarga korban membentangkan poster saat aksi peringatan satu tahun Tragedi Kanjuruhan di depan Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Minggu (1/10/2023). ANTARA FOTO/Irfan Sumanjaya/nz

Mengamini pendapat Asfinawati, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai pembongkaran Gate 13 Stadion Kanjuruhan bisa dikategorikan sebagai perbuatan 'Tampering with Evidence' atau perbuatan merusak barang bukti. Hal itu juga bisa merujuk pada Pasal 233 KUHP terkait penghancuran barang bukti.

“Terlepas dari persoalan obstruction of justice, jelas terlihat bahwa negara memang ingin melupakan peristiwa pelanggaran HAM. Proses hukum yang terjadi tidak mencerminkan akuntabilitas aparatur negara yang terlibat dalam kasus Tragedi Kanjuruhan,” kata Usman kepada reporter Tirto, Rabu (24/7/2024).

Menurutnya, pemerintah tidak memiliki empati terhadap keluarga korban serta komitmen memberikan keadilan bagi korban. Penuntasan kasus pelanggaran HAM hanya dijadikan ajang seremonial, sehingga tidak mengherankan jika pada kasus Tragedi Kanjuruhan tampak tidak ada komitmen pemerintah memberikan keadilan bagi korban.

“Ini yang sebenarnya menjadi permasalahan kita selama puluhan tahun, negara tidak pernah mengakui apalagi membongkar bahwa ada jejak kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara,” ucap Usman.

Amat disayangkan, kata Usman, pemerintah justru menjadi aktor yang melanggengkan kultur impunitas. Banyak contohnya seperti peristiwa Paniai, Tanjung Priok, bahkan Peristiwa 1965.

Dalam banyak kasus, menurut Usman, persidangan yang dilakukan terhadap pelaku pelanggaran HAM dari golongan aparat berjalan secara tertutup dan hanya sebatas sanksi administratif.

“Jika memang negara ingin menghentikan rantai impunitas maka negara melalui aparat penegak hukum harus memastikan akuntabilitas, termasuk terhadap mereka yang berada di tataran komando,” tegas Usman.

Proses hukum Tragedi Kanjuruhan baru menjerat lima orang. Mereka adalah Ketua Panitia Pelaksana Arema FC Abdul Haris, Security Officer Arema FC Suko Sutrisno, serta Komandan Kompi 1 Brimob Polda Jatim Hasdarmawan, Kasat Samapta Polres Malang Ajun Komisaris Bambang Sidik Achmadi, dan Kabag Ops Polres Malang Komisaris Wahyu S Pranoto.

Pengadilan Negeri Surabaya memvonis Abdul Haris dan Hasdarmawan 1 tahun 6 bulan penjara dan Suko Sutrisno 1 tahun penjara. Sedangkan Bambang Sidik dan Wahyu S Pranoto divonis bebas. Namun, dalam kasasi di Mahkamah Agung (MA) Bambang dihukum 2 tahun, Wahyu 2 tahun 6 bulan, dan Abdul Haris menjadi 2 tahun penjara.

Ingkar Janji

Salah satu perwakilan keluarga korban Kanjuruhan, Devi Athok, sangat kecewa pemerintah dan pelaksana proyek renovasi Stadion Kanjuruhan, secara sepihak menghancurkan Gate 13. Padahal, dia menyatakan sempat ada audiensi dengan PT Waskita Karya dan sudah berjanji bahwa Gate 13 Kanjuruhan akan dipertahankan atau tidak ikut direnovasi.

“Waskita bilang akan memperkuat tiang penyangga Gate 13. [Keluarga korban tanya] Apakah akan membongkar? Kalau dibongkar kami akan lawan. Akhirnya kami sepakat kalau memperkuat pilarnya tidak [sampai] membongkar,” kata Devi dalam konferensi pers daring yang dihadiri reporter Tirto, Selasa (23/7/2024).

Namun, betapa terkejutnya Devi pada akhir pekan lalu ketika mendapatkan kabar bahwa Gate 13 Kanjuruhan sudah rata dengan tanah. Padahal ketika audiensi yang dilakukan 28 Mei 2024 lalu, tidak ada kesepakatan untuk membongkar.

Bahkan, Pemkab Malang dan pihak kepolisian yang hadir justru mengamanatkan perwakilan keluarga korban untuk merawat Gate 13 sebagai museum memorabilia Tragedi Kanjuruhan.

“Gate 13 sudah dirobohkan semua, rata. Menyisakan tangga dan besi satu di atas sebelah kanan dan satu besi penyangga sebelah kiri masih ada,” ucap pria yang kehilangan dua anaknya itu dalam Tragedi Kanjuruhan silam.

SIDANG PERDANA TRAGEDI STADION KANJURUHAN MALANG

Seorang ibu menunjukkan foto keluarganya yang menjadi korban tragedi Stadion Kanjuruhan Malang saat sidang di Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur, Senin (16/1/2023). Sidang dengan agenda pembacaan dakwaan untuk lima terdakwa itu digelar secara daring. ANTARA FOTO/Didik Suhartono/rwa.

Ketika keluarga korban mencoba menelpon manajer proyek Waskita untuk minta klarifikasi, jawaban yang didapat justru tidak mengenakan hati. Mereka berdalih tidak tahu-menahu soal proses hukum yang masih berjalan dan diperjuangkan keluarga korban.

Devi dan keluarga korban lainnya mendesak pemerintah serta pelaksana proyek menghentikan renovasi Stadion Kanjuruhan. Dia menduga ada upaya terselubung di balik penghancuran Gate 13 Stadion Kanjuruhan.

“Di bawah tangga [tersisa] ada sandal, sepatu, kacamata, penjepit rambut [milik korban] saya bawa pulang. Mereka rupanya ingin menghapus jejak kelam di Kanjuruhan,” ujar Devi.

Pendamping hukum keluarga korban, Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan [TATAK], padahal sudah melakukan berbagai upaya penolakan pembongkaran Gate 13. Misalnya, lewat surat terbuka dan somasi kepada Menteri PUPR, PT Waskita Karya (Persero), dan PT Brantas Abipraya (Persero) untuk menghentikan renovasi Stadion Kanjuruhan.

Tuntutan itu sebagai wujud penghormatan pada proses hukum yang berjalan. Pasalnya, laporan TATAK terhadap dihentikannya Laporan Modal B oleh Satreskrim Polres Malang tengah diperiksa oleh Mabes Polri sebagaimana telah dikeluarkannya Surat Pemberitahuan Perkembangan Penanganan Dumas [SP3D].

Artinya proses hukum masih berlanjut untuk mengusut tuntas Tragedi Kanjuruhan.

Wakil Koordinator Bidang Eksternal Kontras, Andi Muhammad Rezaldy, menilai peringatan dari TATAK tampaknya hanya dianggap sebagai angin lalu sebab tidak ada tanggapan dari pihak-pihak dituju hingga pembongkaran Gate 13 Stadion Kanjuruhan dilakukan sepihak.

TATAK, kata Andi, memandang pemerintah lewat Kementerian PUPR melakukan perbuatan melawan hukum sekaligus pengabaian hukum (disregard of law) karena dalam menjalankan kebijakan atau perintah terkait renovasi Stadion Kanjuruhan tidak berlandaskan ketentuan undang-undang, kepatutan, dan keadilan.

“Dalam proses penegakan hukum, bahwa selama ini Stadion Kanjuruhan tidak pernah digunakan sebagai tempat rekonstruksi. Sehingga, keberadaan pintu 13 memiliki peran yang sangat penting guna kepentingan dan pendalaman fakta atas peristiwa yang terjadi,” kata Andi kepada reporter Tirto, Rabu (24/7/2024).

Gate 13 Kanjuruhan merupakan tempat kejadian (Locus Delictie) berjatuhannya korban jiwa dan harus segera direkonstruksi dalam proses hukum. Namun, pemerintah terkesan abai dan enggan untuk dapat mengusut tuntas Tragedi Kanjuruhan.

“Bahwa aktor-aktor yang telah dihukum hanyalah aktor lapangan saja, sementara itu aktor high level-nya hingga sampai saat ini belum kunjung diungkap,” terang Andi.

TATAK dan keluarga korban Kanjuruhan mendesak Kementerian PUPR beserta dua kontraktor renovasi Stadion Kanjuruhan yakni PT Waskita Karya (Persero) dan PT Brantas Abipraya (Persero) untuk menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Mereka diminta mengembalikan bentuk Gate 13 Stadion Kanjuruhan seperti semula.

Reporter Tirto sudah berupaya meminta tanggapan pihak PT Waskita Karya lewat Relations Manager PT Waskita Karya, Isbir Farhan dan SVP Corporate Secretary Waskita Karya, Ermy Puspa Yunita, namun permintaan wawancara yang dilayangkan tidak ditanggapi.

Setali tiga uang, Juru Bicara Kementerian PUPR, Endra S. Atmawidjaja, hanya membaca pesan permintaan wawancara dari Tirto.

Koordinator Lembaga Bantuan Hukum Pos Malang, Daniel Alexander Siagian, menegaskan penghancuran Gate 13 Stadion Kanjuruhan menambah duka keluarga korban.

Padahal, sampai sekarang pun mereka belum mendapatkan hak atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan.

Setiap Sabtu kliwon, kata Daniel, keluarga korban dan Aremania mengadakan doa bersama di Gate 13 untuk mengenang Tragedi Kanjuruhan. Dia menegaskan pembongkaran Gate 13 adalah bentuk pengabaian dari proses hukum dan perjuangan keluarga korban yang masih berupaya menuntut pengusutan Tragedi Kanjuruhan.

“Itu [Gate 13] ada nilai historisnya dan sudah dibongkar hari ini. Saya memaklumi situasi pergumulan batin dan kekecewaan yang luar biasa atas ketiadaan Komitmen, terhadap penegakan hukum, ketiadaan komitmen kepada suara keluarga konan, tidak ada komitmen pada usut tuntas,” kata Daniel.

KARANGAN BUNGA DI STADION KANJURUHAN

Warga berdoa di patung Singa Tegar kawasan Stadion Kanjuruhan yang dipenuhi karangan bunga di Malang, Jawa Timur, Senin (3/10/2022). ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani/hp.

Baca juga artikel terkait TRAGEDI KANJURUHAN atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Bayu Septianto