tirto.id - Mata Yohanes sempat buta temporer ketika di tribun timur menuju tengah lapangan Stadion Kanjuruhan Malang usai pertandingan Arema-Persebaya pada 1 Oktober 2022 lalu.
Ia mengangkat kedua tangan, tanda menyerah, dan berjalan menuju suara aparat demi mengamankan diri. Tangannya diraih seorang aparat. Yohanes pun memberikan peringatan: jangan tembak tribun, karena banyak anak-anak dan perempuan!
Namun peringatan itu justru berbalas pukulan. Ia tak dapat memastikan siapa yang memukul. Pastinya pukulan berlanjut hingga peringatannya tenggelam dalam umpatan aparat dan ia sendiri berakhir terkapar di tanah.
Asap mengepul di tempat asalnya duduk. Aremania yang tadinya bersama dirinya berhamburan karena kepulan gas air mata itu membuat perih mata dan sesak nafas. Yohanes sempat berdiam diri dan mencari air sebelum akhirnya memanjat pagar di depannya dan lari menuju lapangan.
“Sebenarnya kan pakai anjing bisa bubar, kenapa kok itu gas air mata ikut ditembakkan,” sesal Yohanes.
Gas air mata, tendangan, pukulan, dan gebuk pentungan memenuhi lapangan Stadion Kanjuruhan. Brutalnya aparat, terutama penembakan gas air mata, dan kurangnya koordinasi menjadi penyebab meninggalnya 132 suporter di stadion itu.
Investigasi lembaga negara dan koalisi masyarakat sipil menunjukkan dugaan andil kepolisian dalam tragedi berdarah tersebut.
Temuan awal investigasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) misalnya menyebut tembakan gas air mata yang dilakukan kepolisian merupakan pemicu utama kepanikan.
Komnas HAM menilai tembakan gas air mata memicu kepanikan penonton sehingga mereka berusaha kabur dari tribun dan mencari jalan keluar. Upaya kabur dari kepungan gas air mata itulah yang membuat massa berjejalan sehingga sebagian dari mereka kehabisan nafas dan meninggal.
Padahal, penggunaan gas air mata dinilai berada di luar ketentuan alat yang diperkenankan dibawa masuk ke dalam stadion.
Stadium Safety dan Security Regulation, yang diterbitkan organisasi sepakbola internasional FIFA, pasal 19 butir b, menyebutkan bahwa tidak diperkenankan membawa dan menggunakan senjata api dan senjata pengendali massa berbasiskan gas.
Menurut penelusuran Tirto, selama ini polisi mengacu pada Peraturan Kapolri No 2 Tahun 2019 Tentang Penindakan Huru-Hara untuk mengatur tahapan-tahapan pengendalian massa. Di situ diatur sejumlah tahapan seperti imbauan, aba-aba hingga penembakan.
Tirto mewawancarai enam penonton di sejumlah penjuru tribun di Stadion Kanjuruhan saat kejadian. Hasilnya, semua mengaku tak mendengar ada aba-aba atau peringatan sebelum penembakan.
“Tak ada peringatan sama sekali,” kata seorang penonton yang duduk di tribun timur dan menyaksikan selongsong terlontar ke arah tribunnya.
Yonna, seorang Aremania yang hadir di stadion, duduk di tribun VIP menyebutkan penembakan gas air mata di Stadion Kanjuruhan bisa dikatakan serampangan. Lelaki yang sehari-hari bekerja sebagai pewarta ini punya pengalaman berada di tengah kericuhan stadion.
Polisi memang biasa menggunakan gas air mata ketika ada kericuhan massa. Namun, penembakan biasanya dilakukan dengan jeda. Massa di stadion Kanjuruhan malam itu menyaksikan situasi yang berbeda.
Ketika duduk di tribun, Yonna mendengar tembakan polisi di Stadion Kanjuruhan dilakukan seolah tanpa jeda. “Angin membawa gas sampai ke tribun saya sehingga saya masuk ke ruang VIP,” ucapnya.
Sebagai orang yang biasa menyaksikan pertandingan di Kanjuruhan, biasanya ada upaya untuk membujuk penonton tetap tenang, minimal melalui master of ceremony (MC). "Ojo mbok rek (jangan masuk), kok tumben enggak terdengar. Sound system mati atau rusak, gak tahu. Biasanya diingatin dulu, siapapun. Petugasnya juga diingatkan," kata Yonna.
Dugaan Kejahatan Sistematis
Di stadion Kanjuruhan, pengamanan dan jalur evakuasi tak berjalan beriringan ketika tragedi terjadi. Investigasi Tim Pencari Fakta Koalisi Masyarakat Sipil mendapatkan temuan awal bahwa peristiwa malam itu terindikasi sebagai kejahatan yang sistematis.
"Bahwa pada saat pertengahan babak kedua, terdapat mobilisasi sejumlah pasukan yang membawa gas air mata, padahal diketahui tidak ada ancaman atau potensi gangguan keamanan saat itu. Jadi kami melihat ada sesuatu hal yang ganjil," kata Kepala Divisi Hukum Kontras Andi Muhammad Rezaldi dalam jumpa pers, Minggu (9/10/2022).
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang mendalami isu-isu kepolisian, Sarah Nuraini Siregar mengatakan seharusnya polisi sudah bisa memperhitungkan metode yang pas untuk mengendalikan massa di dalam stadion.
Ia menyayangkan polisi yang justru menggunakan opsi senjata gas air mata untuk menangani massa di tempat seperti stadion. Padahal, dibandingkan dengan penanganan pengunjuk rasa, polisi sudah punya prosedur yang tertata.
“Sekarang kita bandingkan dengan unjuk rasa. Di situ kan ada negosiasi, ada interaksi. Kedua, penanganan demonstrasi polisi sudah memahami: layer pertama yang sudah senior yang lebih sabar menghadapi emosi. Kedua, polwan. Ketiga, baru perintis dan Brimob,” kata Sarah.
Salah satu poin kritis ditujukan pada perencanaan dan koordinasi penanganan massa di Kanjuruhan. Menurutnya kejadian di lapangan memperlihatkan buruknya koordinasi.
Awalnya kapolres mengatakan pihaknya menghindari penggunaan gas air mata. Namun pada saat ricuh memuncak, tiba-tiba semua gas air mata ditembakkan, seolah dijejalkan ke massa secara bersamaan.
Poin lain adalah kinerja aparat yang masih mengandalkan pendekatan kekerasan saat menghadapi massa besar. “Saya melihat aspek-aspek pemolisian yang sesuai dengan prinsip demokrasi itu misal penghormatan kepada HAM, menjauhi metode yang keras, itu belum dikuasai oleh polisi Indonesia,” kata Sarah.
Penulis sepakbola, dan juga Managing Director Pandit Football, Andreas Marbun mengatakan siapapun yang terlibat dalam penjagaan keamanan dalam sebuah pertandingan harus memiliki persiapan matang.
Di sisi lain pihak yang berkaitan dengan pengamanan harus memiliki pemahaman terhadap regulasi yang berkaitan dengan standar internasional penyelenggaraan pertandingan sepakbola.
“Perspektifnya adalah pencegahan. Artinya mereka sudah tahu yang terjadi, mereka di lingkungan sepakbola dan keamanan, mereka tahu harus ngapain seharusnya dan ada aturan dari otoritas sepakbola kita yang kemudian meratifikasi dari FIFA atau mengadaptasi dari FIFA,” kata Andreas.
Tirto mencoba mengkonfirmasi sejumlah temuan dalam laporan Tragedi Kanjuruhan ke Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo 12 Oktober 2022 melalui pesan singkat WhatsApp. Namun, upaya konfirmasi sampai 13 Oktober, belum direspon.
Upaya konfirmasi juga dilakukan kepada Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Ahmad Ramadhan pada 12 Oktober 2022. Namun, upaya terhenti, lantaran Ramadhan sedang hendak berangkat ibadah umroh.***
Penulis: Johanes Hutabarat
Editor: Adi Renaldi