Menuju konten utama

Kebebasan Sipil Semakin Kedodoran selama 10 Tahun Era Jokowi

Isnur menyatakan Jokowi merupakan pemimpin yang membuat ruang kebebasan sipil menuju kembali ke dalam ruang yang tertutup.

Kebebasan Sipil Semakin Kedodoran selama 10 Tahun Era Jokowi
Presiden Joko Widodo (kanan) menyampaikan pengarahan dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta, Senin (26/2/2024). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/tom.

tirto.id - "Radix enim omnium malorum est cupiditas: akar segala kejahatan adalah keserakahan.”

Demokrasi tidak runtuh dalam satu malam. Kemunduran demokrasi menuju jurang kematian terjadi karena pelucutan sendi-sendi utama yang menopang nilai-nilai demokrasi. Supremasi hukum dan kebebasan sipil, jadi komponen utama yang harus dirobohkan untuk selangkah menuju kepemimpinan tiran.

Sepuluh tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo dinilai mencerminkan jelas kondisi itu. Terjadi perburukan demokrasi di Indonesia dengan menyempitnya ruang-ruang kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berekspresi masyarakat sipil. Pemerintah Jokowi melakukan berbagai bentuk pembatasan pendapat, kritik, hingga demonstrasi dengan berbagai modus operasi.

Meski ruang-ruang berpendapat dan institusi demokrasi tak diberangus secara total, rezim pemerintah Jokowi menggunakan cara-cara yang terselubung bahkan legal dalam menekan pihak oposisi atau yang berseberangan. Penggunaan hukum sebagai instrumen kekuasaan dilakukan dengan bentuk ancaman kriminalisasi bagi pihak-pihak yang tak seirama dengan kemauan penguasa.

Di sisi lain, penggunaan tindakan represif lewat aparat seperti TNI-Polri, juga dilakukan dan terus berulang. Pembubaran massa, penangkapan pembela HAM, hingga intimidasi kepada rakyat yang mempertahankan ruang hidupnya jadi catatan hitam kepemimpinan Jokowi.

Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhamad Isnur, menyatakan bahwa Jokowi merupakan pemimpin yang membuat ruang kebebasan sipil menuju kembali ke dalam ruang yang tertutup. Jokowi sendiri, kata Isnur, bertindak langsung memerintahkan jajaran anak buahnya membungkam kebebasan berpendapat sipil yang tak sejalan dengan agenda pemerintah.

“Contohnya saat ada Omnibus Law Cipta Kerja, Jokowi diduga memerintahkan polisi dan BIN mendekati orang-orang dan lembaga yang menolak. Itu berarti perintah Jokowi untuk melakukan penegakan secara represif,” kata Isnur kepada reporter Tirto, Jumat (9/8/2024).

Hal itu terbukti, kata Isnur, dengan larangan kepolisian untuk melakukan demonstrasi. Polisi diduga melakukan kontra narasi, penangkapan, dan tidak menerbitkan izin berpendapat di muka umum untuk aksi penolakan UU Cipta Kerja Omnibus Law.

“Jokowi bahkan sempat bilang dengan kasar bahwa siapa yang menghambat investasi akan digebuk. Pada implementasinya di lapangan teman-teman yang melakukan demonstrasi dan penolakan Omnibus Law digebuk di mana-mana,” ujar Isnur.

Menurut catatan YLBHI, ada sekitar 5.298 peserta aksi penolakan RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang ditangkap di berbagai daerah pada 2020. Ratusan orang juga mengalami luka-luka akibat tindakan aparat yang represif dalam membubarkan massa. Pada 2019, juga ada 2 orang yang meninggal dalam aksi penolakan revisi UU KPK atau #reformasidikorupsi.

“Kita bisa melihat bahwa Jokowi memang melakukan upaya yang represif dalam agenda pembangunannya,” sebut Isnur.

Jelang rampungnya pemerintahan Jokowi pada Oktober mendatang, sikap antikritik pemerintah tampak tidak surut. Misalnya, ketika agenda Pilpres 2024, puluhan kampus dan sivitas akademika mengkritik Jokowi karena diduga cawe-cawe alias campur tangan dalam urusan pilpres. Jokowi bahkan dikritik oleh almamaternya sendiri, Universitas Gadjah Mada, sebab manuver politiknya mengancam demokrasi.

Kendati demikian, justru terjadi dugaan intimidasi diterima segelintir rektor serta sivitas akademika yang melayangkan kritik. Ada yang berupa pembubaran diskusi publik, serta ada pula sivitas akademika yang didatangi kepolisian untuk diminta membuat video testimoni.

Kasus lainnya yang tak kalah menyita perhatian adalah perkara kriminalisasi aktivis hak asasi manusia (HAM) Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti. Mereka dilaporkan oleh Menteri Koordinator Maritim dan Investasi (Menkomarves), Luhut Binsar Panjaitan, setelah melakukan diskusi hasil riset berjudul ‘Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya’ dalam siniar di YouTube.

Pelanggaran hak ruang hidup masyarakat dan kebebasan berekspresi sipil juga tercermin dalam kasus proyek Rempang Eco City, Kepulauan Riau. Proyek ini merelokasi 7.500 warga dari 16 desa, termasuk masyarakat adat yang sudah ratusan tahun tinggal di sana.

Aparat keamanan membalas protes masyarakat dengan meriam air, gas air mata, serta peluru karet. Ada 20 pengunjuk rasa terluka dalam kejadian tersebut. Beberapa anak-anak SD di tempat kejadian juga terkena muntahan gas air mata hingga mengalami trauma.

Brutalitas rezim Jokowi menghadapi kebebasan berpendapat sipil juga terjadi tahun lalu ketika terjadi penangkapan terhadap 18 orang yang menginap di Masjid Raya Sumatera Barat. Mereka melakukan aksi damai memprotes rencana pembangunan kilang minyak dan petrokimia di Nagari Air Bangis, Sumatra Barat, Agustus 2023.

Di saat yang sama, aparat keamanan juga menggunakan gas air mata dalam membubarkan demonstrasi di Bandung, Jawa Barat. Tujuh orang ditangkap polisi saat memprotes rencana penggusuran 300 warga yang bermukim di Dago Elos. Masyarakat dilaporkan terluka akibat tindakan represif oleh polisi dalam membubarkan massa.

“Jokowi adalah bapak pembangunan yang otoritarian. Dan lebih mementingkan dinasti atau keluarganya,” ujar Isnur.

KontraS mencatat sepanjang Juli 2023 hingga Juli 2024, terjadi 75 peristiwa pelanggaran kebebasan sipil yang meliputi tindakan pembubaran paksa sebanyak 36 kali, penangkapan sewenang-wenang 24 kali, serta tindakan intimidasi sebanyak 20 kali. Polisi di pemerintahan Jokowi menjadi alat kekuasaan untuk membungkam kebebasan sipil, alih-alih melindungi.

Wakil Koordinator Bidang Eksternal KontraS, Andi Muhammad Rezaldy, menilai Jokowi di hadapan publik memang berkali-kali menunjukkan legowo dikritik, bahkan pernah meminta rakyat untuk tidak segan-segan melayangkan kritik terhadap pemerintahnya. Faktanya, kata Andi, justru pemerintah melakukan pembiaran pada tindakan represif aparat keamanan saat membubarkan protes dari masyarakat sipil.

“Pemerintah seolah membiarkan adanya kekerasan tersebut tanpa adanya akuntabilitas atau pertanggungjawaban,” kata Andi kepada reporter Tirto.

Jokowi makan malam bersama influencer

Presiden Jokowi makan malam bersama influencer di IKN, Minggu (28/8/2024). Muchlis Jr/Biro Pers Sekretariat Presiden

Strategi rezim Jokowi menggerus ruang kebebasan dan kritik sipil memang tak segamblang kepemimpinan Soeharto saat era Orde Baru. Kelompok oposisi dan masyarakat sipil masih eksis, ruang menyampaikan pendapat tak sepenuhnya ditutup, namun terjadi upaya-upaya melemahkan supremasi sipil sehingga kepentingan kekuasaan menjadi dominan.

Cara-cara yang dilakukan rezim Jokowi menekan kebebasan sipil bisa dengan penggunaan instrumen hukum dan non-hukum. Cara non-hukum dilakukan pemerintah melalui operasi di ruang digital dengan melakukan kontra-narasi, upaya penyadapan, doxing, hingga intimidasi dengan menyewa jasa pendengung.

Tak jarang pendapat masyarakat dikooptasi dengan narasi pemerintah yang didengungkan oleh pemengaruh dan pesohor di media sosial. Anggaran pemerintah untuk menggunakan cara-cara ini bahkan mencapai miliaran rupiah.

Selain itu, pemerintah juga membungkam upaya kebebasan sipil berpendapat lewat produk hukum. Misalnya lewat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang jadi langganan pemerintah menjerat kelompok oposisi atau masyarakat yang melakukan kritik terhadap Jokowi.

Mengacu catatan dari Amnesty International Indonesia, setidaknya terdapat 504 kasus penyalahgunaan UU ITE yang melanggar hak kebebasan berekspresi terhadap 535 orang sepanjang 2019-2023. Mereka yang dituduh berdasarkan undang-undang tersebut terdiri dari pembela hak asasi manusia, jurnalis, akademisi, hingga warga sipil.

“Selain itu, adanya UU Ormas juga mempersempit ruang kebebasan sipil dan menimbulkan ancaman nyata bagi demokrasi. Regulasi ini bisa dengan mudah disalahgunakan penguasa untuk membungkam suara kritis dan organisasi masyarakat,” tambah Andi.

Kemunduran Demokrasi

Pembungkaman yang dilakukan rezim Jokowi di ruang siber semakin melemahkan nilai-nilai demokrasi yang substantif. SAFEnet mencatat, terdapat 30 kasus kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi di ranah digital selama Januari-Maret 2024. Laporan kasus-kasus kriminalisasi ini menjerat sekitar 52 orang.

Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet, Hafizh Nabiyyin, memandang bahwa karier politik Jokowi lahir dari ruang digital. Hal itu sepertinya disadari Jokowi untuk diterapkan pula dalam kepemimpinannya untuk mengontrol ruang siber dan mengkriminalisasi pengkritik.

“Strategi rezim Jokowi membatasi kebebasan berekspresi lebih banyak dilakukan dengan tidak langsung. Jokowi tidak menerapkan peraturan yang secara eksplisit melarang kritik, tapi melanggengkan penerapan pasal-pasal karet multitafsir di UU ITE,” ujar Hafizh kepada reporter Tirto, Jumat (9/8/2024).

Metode tersebut, kata Hafizh, menimbulkan chilling effect di masyarakat yang khawatir kalau terlalu frontal mengkritik pemerintah bakal dikriminalisasi. Jokowi juga pernah melakukan pemutusan atau pelambatan akses internet di daerah-daerah yang melakukan demonstrasi. Alasan yang selalu digaungkan rezim adalah menahan laju hoaks penyebab kerusuhan.

“Rezim juga menekan perusahaan media sosial untuk tunduk pada kepentingan rezim lewat pasal moderasi konten dan pemutusan akses internet di UU ITE dan Permenkominfo 5/2020,” ujar Hafizh.

Hak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul serta berserikat secara damai diatur dalam Kovenan Internasional untuk Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Indonesia menjadi negara pihak ICCPR sejak 2006. Dalam negeri sendiri, kebebasan sipil dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945. Termasuk dalam UU HAM dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

AKSI JALAN MUNDUR AJI JAKARTA

Sejumlah jurnalis dari AJI Jakarta menggelar aksi solidaritas di Bundaran HI, Jakarta, Minggu (29/9/2019). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/ama.

Pemerintah sendiri kerap mengklaim menghargai segala kritik dan masukan masyarakat. Hal ini seperti yang disampaikan pihak istana kepada Tirto, pada Juni lalu. Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP), Rumadi Ahmad, menyatakan tugas untuk menjaga ruang publik yang sehat bukan hanya dilakukan oleh pemerintah.

Dia menegaskan bahwa pemerintah selalu berkomunikasi dan terbuka dengan kritik-kritik yang dilayangkan masyarakat sipil. Rumadi menyebut, pemerintah membutuhkan kritik dari berbagai pihak, termasuk masyarakat. Kritik, kata dia, bukan hanya menjaga demokrasi semata, tetapi merupakan ruh dari kehidupan.

“Namun kritik tidak berarti membiarkan anarki. Kehidupan sebuah bangsa membutuhkan keseimbangan itu,” kata Rumadi.

Menyempitnya ruang kebebasan sipil era kepemimpinan Jokowi membuat nilai demokrasi Indonesia mengalami penurunan signifikan. Economist Intelligence Unit (EIU) mencatat skor Indeks Demokrasi 2023 Indonesia berada di angka 6,53. Angka tersebut turun dari 2022 yang kala itu sebesar 6,71. Di tahun 2023, Indonesia menempati posisi 56 dari 167 negara dalam peringkat negara demokrasi.

EIU masih mengelompokkan Indonesia sebagai negara flawed democracy alias demokrasi cacat. Dari lima indikator penyusun Indeks Demokrasi, penurunan yang dialami Indonesia terjadi pada indikator kebebasan sipil. Pada 2022, EIU mencatat skor indikator kebebasan sipil Indonesia sebesar 6,18, sementara pada tahun 2023 jeblok ke angka 5,29.

Peneliti dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Nurul Izmi, menegaskan bahwa Jokowi telah membuat demokrasi di Indonesia kembali ke era sebelum reformasi. Ini ditandai dengan penyempitan kebebasan berekspresi oleh instrumen hukum, juga hadirnya sistem politik dan ekonomi yang dikuasai oleh oligarki.

“Dan ada upaya kembali melibatkan militer dalam urusan sipil lewat berbagai macam revisi peraturan perundang-undangan,” ujar Izmi kepada reporter Tirto.

Gelagat self-censorship di masyarakat menjadi suatu bukti bahwa pada hari ini sipil tidak percaya jaminan perlindungan akan kebebasan berekspresi. Masyarakat memilih menyebut Indonesia dengan istilah ‘wakanda’ atau ‘konoha’ ketika mengkritik pemerintah.

“Masyarakat dihantui pasal pencemaran nama baik dan ujaran kebencian yang sampai saat ini masih diberlakukan pemerintah,” kata Izmi.

Baca juga artikel terkait JANJI JOKOWI atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz