Menuju konten utama

Mencegah Kekerasan Berulang di Tempat Penitipan Anak

Kekerasan terhadap anak di tempat penitipan menjadi bentuk keteledoran pemerintah karena lemah dalam pengawasan.

Mencegah Kekerasan Berulang di Tempat Penitipan Anak
Ilustrasi Pelecehan Seksual. foto/IStockphoto

tirto.id - Kesibukan karier disertai kebutuhan finansial saat ini, membuat kebutuhan orang tua mencari tempat penitipan anak atau daycare terpercaya semakin besar. Salah pilih, bukan tak mustahil tempat penitipan anak justru menjadi mimpi buruk bagi sang buah hati. Munculnya kasus kekerasan terhadap anak di daycare perlu jadi atensi semua pihak, termasuk evaluasi dari pemerintah.

Polres Kota Pekanbaru, Riau, menetapkan seorang tersangka berinisial WF atas dugaan kekerasan terhadap anak di daycare daerah Kota Pekanbaru, Riau. WF merupakan pemilik daycare yang diduga melakban seorang anak di kursi dan tidak memberikannya makan.

Aksi WF terungkap lewat video yang viral di media sosial. Kasat Reskrim Polres Pekanbaru, Kompol Bery Juana Putra, menyatakan bahwa video dugaan penganiayaan yang beredar bukan kejadian terkini. Video itu kejadian yang sudah berlangsung lampau.

Perekam video, kata dia, adalah karyawan di daycare tersebut. Namun, karyawan itu tidak lagi bekerja di tempat penitipan anak.

"Pelaku ini disuruh (melakukan kekerasan kepada anak) oleh pemilik tempat yang saat ini sudah ditetapkan tersangka," ujar Bery dihubungi reporter Tirto, Kamis (8/8/2024).

Sebelumnya, influencer parenting berinisial MI juga menjadi tersangka karena diduga telah melakukan kekerasan terhadap anak di daycare miliknya. Kejadian nahas ini menimpa dua anak M (2) dan HW (9 bulan) di Wensen School Indonesia, Kota Depok, Jawa Barat.

Wensen School Indonesia milik MI akhirnya ditutup karena tidak terdaftar sebagai daycare melainkan hanya berstatus kelompok bermain (KB). Kepolisian Resor Metro Depok menjerat MI lewat Pasal 80 Ayat 1 dan Ayat 2 UU Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 dengan ancaman pidana penjara 3,5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 72 juta.

Kasus-kasus kekerasan terhadap anak di daycare setidaknya harus jadi peringatan bagi orang tua agar berhati-hati dan teliti dalam menentukan tempat penitipan anak. Seperti MI, meski terkenal sebagai influencer parenting, namun tak memiliki latar belakang kompeten untuk menjadi pengasuh daycare. Hal itu diperkuat sebab daycare miliknya tak berizin.

Ketua Yayasan Lentera Anak, Lisda Sundari, mengingatkan bahwa pola kasus kekerasan terhadap anak memang sering terjadi di tempat anak sering berada. Artinya, kekerasan ini memang besar kemungkinannya untuk dilakukan oleh orang terdekat anak. Termasuk orang tua, kerabat, pengasuh anak, sampai guru.

“Jadi memang kenapa anak-anak mengalami kekerasan di daycare? Karena daycare itu kan tempat anak-anak berada, berinteraksi dan di sana ada pengasuh, ada orang dewasa,” kata Lisda kepada reporter Tirto, Kamis (8/8).

Meita Irianty

Kapolres Metro Depok Kombes Arya Perdana saat melakukan konferensi pers kasus pemilik daycare Meita Irianty di Mapolres Metro Depok, Jawa Barat, Kamis (1/8/2024). Foto/Dok. Polres Metro Depok

Lisda memandang, memang potensi kekerasan di daycare tak lebih besar jika dibandingkan kekerasan di sekolah. Namun, bukan berarti potensi kekerasan itu tidak ada. Maka, kata dia, menjadi penting bagi orang tua mengetahui dengan baik standar tempat penitipan anak dan kompetensi para pengasuhnya.

“Jadi pengasuh atau orang yang bekerja di daycare harusnya dia mendapat pelatihan atau pemahaman dulu tentang hak anak. Apa risiko yang terjadi kalau dia menjadi pengasuh di daycare, dia harus punya kematangan emosional,” sebut Lisda.

Pemerhati anak dari Proklamasi Anak Indonesia (PAI), Dian Purnomo, menyatakan kekerasan terhadap anak terkait dengan pandangan serta pengetahuan masyarakat yang masih lemah terhadap perlindungan anak. Masih banyak orang dewasa memandang anak semata makhluk yang lemah, tidak berani melapor, dan tak punya kemampuan melawan.

“Maka mereka cenderung memperlakukan anak dengan semau-maunya,” kata Dian kepada reporter Tirto, Kamis.

Menurut Dian, pandangan bahwa anak adalah aset juga membuat orang dewasa melihat anak seperti benda. Adapun bagi pelaku kekerasan, mungkin anak tidak lebih dari aset yang diharapkan menghasilkan pundi-pundi uang.

Mengurus anak di daycare atau tempat penitipan memang itu tidak mudah. Pekerja atau pengasuh harus punya pandangan kasih terhadap anak agar tidak bertindak semena-mena.

“Ketika orang memiliki perspektif perlindungan anak yang baik, anak akan dianggap sebagai manusia seutuhnya yang membutuhkan perlindungan dan harus dijaga hak-haknya,” ujar Dian.

Kasus kekerasan terhadap anak di daycare tak lepas dari fungsi pengawasan pemerintah yang belum berjalan baik. Jelas berbeda antara daycare, kelompok bermain, atau bahkan taman kanak-kanak.

Jika pemerintah tak jeli, kemungkinan muncul tempat penitipan anak yang tak berizin dan tidak punya kompetensi semakin besar. Apalagi, kata Dian, bisnis tempat penitipan anak mungkin jadi salah satu peluang usaha yang berkembang saat ini.

“Mendirikan daycare yang proper butuh persyaratan lebih banyak dan tidak semua punya sourcesnya. jalan pintas ini yang kemudian dilakukan oleh orang yang tidak bertanggung jawab untuk mencari uang tanpa memiliki kapabilitas yang cukup,” tegas Dian.

Kasus Wensen School Indonesia milik tersangka MI setidaknya memperlihatkan bagaimana pemda dan stakeholder terkait kecolongan mengawasi keberadaan daycare atau tempat penitipan anak di Depok.

Setelah kasus ini menjadi perhatian publik, Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, mencatat, dari 110 penitipan anak yang beroperasi di Kota Depok hanya 12 penitipan anak yang memiliki izin resmi.

Ilustrasi daycare

Ilustrasi tempat penitipan anak. FOTO/iStockphoto

Fasilitas dari Yayasan Wensen School Indonesia juga hanya memiliki izin untuk kelompok bermain (KB), bukan izin sebagai tempat penitipan anak. Artinya ada sebanyak 98 daycare tak mengantongi izin di kota Depok, belum termasuk di kota atau daerah-daerah lainnya.

Dian menuturkan, orang tua sebaiknya memilih daycare yang tidak mencurigakan. Perlu bertanya tentang surat izin resmi dan pastikan tempat penitipan anak terbuka atau diketahui masyarakat sekitar.

“Dan tidak kalah pentingnya untuk mendengarkan suara anak. Jadi bikin dulu lah trial, coba 1-2 jam sampai 1-2 hari, anak tidak akan bohong. Kalau dia tidak nyaman, kita akan tahu,” ucap Dian.

Evaluasi Diperlukan

Peneliti bidang sosial dari The Indonesian Institute (TII), Dewi Rahmawati Nur Aulia, menilai kekerasan terhadap anak di tempat penitipan menjadi bentuk keteledoran pemerintah dalam mengawasi proses pendirian industri ini. Pemerintah harusnya memastikan bahwa hadirnya bisnis penitipan anak harus melalui prosedur perizinan yang ketat dan diawasi.

“Ini penting dilakukan guna memastikan agar lembaga yang dibentuk memiliki kepastian hukum dan melindungi hak-hak orang tua sebagai konsumen dari kelembagaan penitipan anak,” kata Dewi kepada reporter Tirto, Kamis.

Dewi memandang, kekerasan yang terjadi di tempat penitipan anak muncul bak cendawan di musim hujan belakangan ini akibat faktor rendahnya kesadaran untuk dapat membedakan kelembagaan/institusi yang memberikan layanan ramah anak.

Tempat penitipan anak atau daycare harus memperhatikan ergonomi kelembagaan ramah anak berupa fasilitas dan ruang ramah anak, kebersihan, termasuk kualifikasi pengasuh. Selain itu, kata Dewi, orang tua juga perlu memastikan agar pengasuh dapat memperlakukan anak mereka sebagaimana haknya, jadi tidak asal menitipkan si buah hati.

“Orang tua perlu memastikan hal tersebut karena anak punya treatment yang berbeda-beda. Sehingga memerlukan usaha dari penyelenggara layanan untuk menyediakan hal tersebut,” ujar Dewi.

Daycare tergolong sebagai bentuk pendidikan anak usia dini sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 angka 7 Permendikbud 84/2014. Pasal tersebut menerangkan bahwa TPA adalah satu bentuk satuan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) jalur pendidikan nonformal yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak sejak lahir sampai dengan 6 tahun, dengan prioritas sejak lahir sampai dengan usia 4 tahun.

Izin penyelenggaraan program TPA harus memenuhi ketentuan pendirian satuan PAUD sebagaimana diatur di dalam Permendikbud 84/2014. Berdasarkan Pasal 19 Permendikbud 84/2014, TPA sebagai program pendidikan nonformal dapat diselenggarakan oleh satuan pendidikan nonformal dalam bentuk pusat kegiatan belajar masyarakat, majelis taklim, atau satuan pendidikan nonformal sejenis. Izin tersebut bisa dicabut jika hasil dari evaluasi menunjukan bahwa TPA atau daycare tidak layak.

Kepala Biro Psikologi dari Rumah Cinta, Retno Lelyani Dewi, menyatakan pengasuh harus mampu mengondisikan dan menstimulasi anak agar nyaman di daycare. Persoalannya, jika daycare memiliki banyak anak usia di bawah 3 tahun, namun jumlah pengasuh terbatas.

Retno menjelaskan, anak di bawah usia 3 tahun sangat memerlukan stimulasi motorik dan bahasa. Jika anak-anak yang dititipkan memiliki hambatan perkembangan di salah satu area (motorik atau bahasa), biasanya anak cenderung memiliki emosi yang sulit dikontrol, atau mudah tantrum.

“Jangan sampai pengasuh memiliki masalah kesehatan mental yang berisiko menyalurkan kemarahan pada anak-anak yang berada dalam pengasuhannya. Sehingga saat anak cenderung mengeluarkan emosi negatif, pengasuh dapat memberikan penanganan tepat,” kata Retno, kepada reporter Tirto, Kamis.

Header Diajeng Bunda Titip Anak di Daycare

Header Diajeng Bunda Titip Anak di Daycare. foto/IStockphto

Soal standar layanan daycare ramah anak sendiri, kata dia, sudah tertuang dalam Surat Edaran Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 61 Tahun 2020 tentang Pedoman Penyelenggaraan Taman Pengasuhan Anak Berbasis Hak Anak/Daycare Ramah Anak Bagi Pekerja di Daerah.

Jika daycare sudah dipastikan legal dan pengasuh berkompeten, maka orang tua dapat melakukan wawancara serta observasi mendalam tentang teknis keseharian di daycare. Retno menyatakan agar orang tua tidak ragu untuk menginformasikan kondisi anak kepada pihak pengasuhan.

“Misal ada alergi tertentu, perubahan mood-nya, dll. Jika respons pengasuh atau petugas seperti yang kita bayangkan, boleh jadi ini adalah daycare tepat untuk anak kita. Tetapi tetap pahami bahwa kita orang tua adalah pengasuh utama anak,” jelas Retno.

Dihubungi terpisah, Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Nahar, menyatakan, anak korban penganiayaan oleh pemilik daycare membutuhkan pendampingan psikologis. Pihaknya memastikan menerjunkan tim untuk mendampingi korban.

Lebih lanjut, tegas Nahar, setiap daycare harus punya izin operasional dari pihak berwenang untuk memastikan semua kegiatan di dalamnya sesuai dengan tujuan dan fungsi daycare. Orang tua diimbau lebih cermat dalam memilih tempat penitipan anak.

”Semua anak adalah anak kita yang wajib kita jaga dan lindungi bersama,” pungkas Nahar.

Baca juga artikel terkait KASUS KEKERASAN ANAK atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fahreza Rizky