Menuju konten utama

Puan Tekankan Proses Hukum dan Pengawasan di Kasus Daycare Depok

Ketua DPR, Puan Maharani, mendorong penegakan hukum kasus penganiayaan anak di daycare Depok sekaligus upaya pendampingan psikologi bagi korban dan pelaku.

Puan Tekankan Proses Hukum dan Pengawasan di Kasus Daycare Depok
Perwakilan Presiden IPU (Inter-Parliementary Union) Puan Maharani menyampaikan pandangannya dalam KTT World Water Forum ke-10 2024 di Nusa Dua, Badung, Bali, Senin (20/5/2024). ANTARA FOTO/Media Center World Water Forum 2024/Aditya Pradana Putra/pras.

tirto.id - Ketua DPR RI, Puan Maharani, prihatin atas kasus dugaan kekerasan terhadap anak dua tahun di sebuah penitipan anak atau daycare, Kota Depok, Jawa Barat beberapa hari terakhir. Puan mendukung upaya pengusutan kepolisian dalam kasus penganiayaan tersebut.

"Pedih sekali mengetahui anak kecil dan polos mengalami tindakan kekerasan. Kepolisian harus menindaklanjuti serta mengusut kasus kekerasan itu agar pelaku bisa dihukum atas kekerasan yang dilakukannya, apalagi infonya pelaku melakukan kekerasan ke beberapa anak,” kata Puan dalam keterangan tertulisnya, Kamis (1/8/2024).

Kasus penganiayaan anak terjadi di sekolah PAUD dan daycare Wensen School, Depok dengan korban berinisial M (2). Polisi pun menangkap pemilik sekolah, Meita Irianty lantaran diduga terlibat dalam upaya penganiayaan tersebut. Berdasarkan pemberitaan terakhir, Meita diduga menganiaya 2 dari 10 anak di daycare tersebut sekaligus tidak memiliki izin pengelolaan daycare, melainkan izin sekolah.

Puan mengingatkan, anak-anak adalah kehidupan. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun, termasuk orangtuanya sendiri, yang menyakiti anak-anak Ia mengatakan kekerasan pada anak tidak bisa dibiarkan.

Puan menekankan pentingnya pendampingan hukum dan psikologi bagi para korban dan keluarganya. Pendampingan psikologi diperlukan untuk mengatasi trauma yang dialami korban.

"Pemerintah melalui lembaga terkait bersama penegak hukum wajib memberikan pendampingan psikologi untuk korban dan keluarganya, bila diperlukan termasuk pendampingan hukum,” ucap Puan.

Puan beralasan, memori bawah sadar anak akan tetap merekam upaya penganiayaan meski masih berumur 2 tahun. Ia khawatir alam bawah sadar anak mengalami trauma dan merekam luka penganiayaan.

"Ini harus dipulihkan demi perkembangan masa depannya," tutur perempuan yang juga Ketua DPP PDIP ini.

Selain kepada korban, Puan juga mendorong pendampingan sosial kepada pelaku. Ia beralasan, ada dugaan bahwa pelaku juga mengalami kekerasan hingga mengalami trauma. Hal itu lantas dilakukan pelaku ketika dewasa.

“Meskipun tidak ada pembenaran terhadap aksi kekerasan yang dilakukan, trauma atau luka masa lalu pelaku yang pernah menjadi korban harus disembuhkan. Maka perlu ditelusuri oleh ahlinya,” tutur mantan Menko PMK di Kabinet Kerja ini.

Di sisi lain, Puan mendorong urgensi pengawasan pemerintah terhadap kehadiran tempat-tempat penitipan anak, termasuk juga lembaga-lembaga bimbingan belajar anak atau Bimba yang belakangan tengah menjamur. Ia mengingatkan tempat penitipan anak kerap berstatus non-formal, tetapi harus mengikuti aturan perlindungan anak.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) sendiri telah menginisiasi standardisasi dan sertifikasi lembaga layanan peningkatan kualitas anak di bidang pemenuhan hak anak atas pengasuhan dan lingkungan. Hal ini termasuk untuk memastikan terciptanya TPA atau daycare ramah anak ber-SNI.

“Kami mendorong agar program peningkatan kualitas layanan daycare dioptimalkan dan menjangkau semua daerah. Karena keselamatan anak menjadi prioritas,” ucap Puan.

Puan juga mendorong pemerintah untuk memperbanyak program pelatihan dan pembinaan kepada pemilik maupun pegawai TPA, khususnya terkait pola pengasuhan anak serta layanan dan sarana bagi anak. Dengan memastikan daycare ramah anak, kata Puan, orang tua akan merasa aman dan nyaman saat menitipkan anak-anaknya.

“Tidak ada yang salah dengan orang tua yang menitipkan anak ke TPA atau daycare karena setiap kebutuhan orang berbeda-beda. Tidak perlu ada judgment dalam hal ini. Kasus kekerasan oleh oknum bukan karena kesalahan orang tua menitipkan anak di daycare,” kata Puan.

Puan juga mengingatkan bahwa solusi atas kebutuhan pemenuhan hak anak terhadap pengasuhan ketika anak sedang tidak bersama orang tua atau keluarga, terutama bagi anak yang orang tuanya bekerja. Puan meminta pemerintah memberi perhatian lebih dalam mengawasi TPA atau daycare agar publik mendapat tempat aman untuk anaknya.

Puan juga mendorong penyediaan TPA di berbagai fasilitas umum, maupun perusahaan dan instansi negara. Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan.

Dalam Pasal 30 UU KIA disebutkan bahwa pemberi kerja atau tempat kerja harus memberikan dukungan fasilitas, akomodasi yang layak, sarana, dan prasarana seperti fasilitas pelayanan kesehatan; penyediaan ruang laktasi; dan tempat penitipan anak. Ia mengingatkan bahwa UU KIA ingin agar perkembangan anak tetap terjamin saat orangtua bekerja. Ia mengimbau kepada orang tua melakukan riset mendalam sebelum memutuskan menitipkan anak di daycare yang dikehendaki, bila di tempat kerja tidak memiliki fasilitas TPA.

“Kita ingin, anak-anak yang merupakan generasi harapan bangsa memiliki tumbuh kembang yang baik agar dapat menjadi generasi emas. Semua anak Indonesia harus tumbuh dengan sehat dan bahagia, serta terbebas dari kekerasan,” tutup Puan.

Baca juga artikel terkait PENGANIAYAAN atau tulisan lainnya dari Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Hukum
Reporter: Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Andrian Pratama Taher