tirto.id - Sekolah, termasuk di level Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) seperti Taman Kanak-Kanak dan tempat penitipan anak atau daycare, seharusnya menjadi tempat beraktivitas yang aman dan menyenangkan bagi anak-anak—selain tentu saja rumah.
Mirisnya, sampai hari ini, kita masih saja dibuat geram dengan kasus kekerasan terhadap anak-anak di lingkungan yang seharusnya melindungi dan mengayomi mereka. Yang memprihatinkan lagi, pelaku kejahatannya acap kali orang yang cukup dekat dengan mereka.
Sebelum adanya berita viral tentang penganiayaan balita oleh pemilik daycare sekaligus influencer parenting di Depok, Jawa Barat, kejadian serupa sudah pernah dilaporkan di berbagai daerah.
Tahun lalu, misalnya, kekerasan pada anak dilakukan oleh guru salah satu PAUD di Banjarmasin, Kalimantan Selatan dan Bitung, Sulawesi Utara.
Mundur ke belakang, pada 2014, belum lepas dari ingatan kita tentang kasus pelecehan seksual pada anak di Taman Kanak-Kanak Jakarta International School.
Tidak bisa dimungkiri, pemberitaan bertubi-tubi tentang kasus kekerasan terhadap anak di daycare telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan orang tua. Seiring itu, mulai marak perdebatan di media sosial tentang pro-kontra terhadap layanan penitipan anak.
Apapun jenis tantangan yang dipilih, orang tua tentu sudah merencanakan yang terbaik untuk anak. Maka tidak seharusnya keputusan mengasuh anak di rumah maupun menitipkan anak di daycare menjadi ajang atau kompetisi di dunia parenting. Semuanya patut diapresiasi dan dihormati.
Mengasuh Anak di Rumah
Ada berbagai pertimbangan di balik keputusan ibu yang tidak menitipkan anaknya di daycare.
Langkah Iis (33) untuk fokus mengasuh anak-anaknya di rumah dilandasi oleh keinginan membersamai tumbuh kembang mereka, “Bermain bareng anak-anak, cerita-cerita seru, mengaji bareng, solat bareng.”
Iis memutuskan melepas pekerjaannya sebagai sekretaris di kawasan Jakarta Selatan tak lama setelah melahirkan anak kedua pada 2020 silam.
“Tidak ada rasa sesal atau sedih sama sekali, saya justru sangat senang karena momen pertumbuhan anak itu cuma satu kali seumur hidup,” terang Iis, yang merasa dirinya akan kesulitan memberikan pengawasan maksimal terhadap anak-anaknya jika dititipkan di daycare.
Sementara itu, Avina (34) menilai bahwa pendidikan anak di daycare tidak akan sama dengan didikan dan kasih sayang orang tua kandung.
Avina memutuskan meninggalkan profesinya sebagai guru di Yogyakarta semenjak mengandung anak pertama dan mengikuti suami pindah kerja ke Jakarta.
"Saya pun berpikir, nanti kalau anak sudah agak besar, saya masih bisa melanjutkan pekerjaan saya sebagai guru,” ungkap Avina, yang kini kembali berkarier sebagai guru setelah fokus mengasuh ketiga anaknya selama sepuluh tahun.
Lain cerita dengan Ayun (29). Pegawai swasta asal Klaten ini masih belum tertarik untuk menitipkan anaknya yang berusia tiga tahun ke daycare karena khawatir si anak akan jadi mudah bosan.
“Di lingkungan saya, banyak orang tua tidak mengirimkan anak ke daycare atau PAUD. Ada tetangga punya perbandingan begini: anak pertama didikan PAUD cenderung malas dan susah belajar karena mungkin sudah bosan ikut sekolah sejak kecil, sedangkan anak kedua yang non-PAUD lebih semangat ketika belajar hal baru.”
Sampai hari ini, Ayun berbagi tugas dengan suami yang bekerja dari rumah. Suami mengurus anak sampai sore, dilanjutkan oleh Ayun sepulang dari kantor.
Daycare Masih Jadi Opsi Ibu Pekerja
Di lain sisi, bagi sebagian ibu pekerja lainnya, daycare nampaknya masih akan terus memegang peranan penting untuk mendukung produktivitas kerja mereka.
Dipna (30), jurnalis yang berdomisili di Yogyakarta, merasa insecure setelah mendengar berita kekerasan balita di daycare Depok. Meski begitu, ibu satu anak ini meyakini bahwa layanan yang bagus dan tepercaya masih ada.
"Khawatir pasti,” terangnya, “Namun, saya tidak mau menggeneralisir semua daycare seperti itu. Daycare anak saya tidak pernah ada masalah, saya pun menitipkan dari umur tiga bulan hingga saat ini hampir tiga tahun."
Faktor keamanan justru menjadi salah satu pertimbangan utama untuk menitipkan anak di daycare. Menurut Dipna, daycare dapat dikategorikan sebagai institusi sehingga cenderung banyak yang mengawasi dan kinerjanya dapat dimintai pertanggungjawaban.
"Jika ada nanny atau suster di rumah justru tidak ada orang yang ikut mengawasi. Mungkin ada CCTV, namun di luar area CCTV tidak bisa terlihat dan sulit meminta pertanggungjawaban,” terangnya.
Fransiska Inda (41), karyawan swasta di Ambarawa, turut prihatin dengan kejadian di Depok dan sempat merasa khawatir anaknya diperlakukan buruk juga oleh pengelola daycare.
Namun, sebagaimana Dipna, Inda masih berpikir positif, “Puji Tuhan anak saya baik-baik saja dan nyaman di daycare. Para pendampingnya pun sangat sayang dan perhatian."
Selama ini, Inda merasakan sendiri manfaat daycare. Setelah masuk daycare, anaknya jadi lebih disiplin dan terdidik—berbeda dengan ketika diasuh oleh ART di rumah.
"ART pola kerjanya asal anak diam dan senang, kurang paham tumbuh kembang anak seperti apa. Misalnya, orang tua sudah menyiapkan sayur dan buah, namun tidak diberikan ke anak. Alasannya anak tidak mau," ungkap Inda, "Sementara di daycare anak-anak dibiasakan makan buah dan sayur."
Meski sempat merasa was-was dengan kondisi daycare, pegawai swasta di Yogyakarta, Dewi (42), sepakat bahwa daycare masih menjadi opsi yang baik, "Sekarang cari ART susah. Lebih baik daycare karena guru atau miss-nya profesional, jadi anak pun bisa belajar dan lebih cepat bersosialisasi karena ada banyak teman."
Selain orang tua, pemberitaan kasus kekerasan anak di daycare tak ayal turut memengaruhi pihak pengelola dan pemilik daycare, seperti Mudri Octafia Sari, S.Tr.K.
Pemilik daycare, TK, dan PAUD Taruna Bintang Ciputat ini awalnya sempat bekerja sama dengan waralaba daycare yang bermasalah dalam kasus penganiayaan anak di Depok. Terkait hal tersebut, beberapa warganet pernah berkomentar negatif di akun daycare milik Octa.
Akan tetapi, Octa tidak mau menggubrisnya. Ia kembali fokus pada tujuannya mendirikan daycare sendiri, sebuah keputusan yang berkaitan erat dengan kesibukannya dan suaminya bekerja. Mereka memiliki riwayat bergonta-ganti ART karena sederet permasalahan, termasuk yang pernah hampir membawa kabur anak mereka.
Mereka ingin pasangan dengan perasaan senasib dapat memercayakan anaknya pada orang-orang yang tahu cara mendidik anak sesuai tumbuh kembangnya, "Di daycare, anak mampu menyelesaikan masalah, berinteraksi dengan teman, tahu konsep berbagi, dan lain sebagainya."
Demi meningkatkan kualitas sumber daya manusia di daycare miliknya, Octa bahkan tak segan-segan membiayai staf dan guru untuk mengikuti pelatihan parenting terbaru.
Meski baru merintis daycare selama dua bulan, Octa mengakui betapa beratnya upaya untuk membangun kepercayaan dari orang tua.
Orang Tua Harus Proaktif dan Selektif
Menurut Rininda Mutia, M.Psi., Psikolog, ketakutan dan kekhawatiran orang tua setelah mendengar berita tentang kasus penganiayaan anak di daycare sangat dapat dipahami.
“Marah boleh, khawatir boleh, tetapi kita perlu membuat batasan yang sehat agar hal tersebut tidak sampai mengganggu aktivitas kita sehari-hari,” jelas Ninda saat dihubungi pada Jumat (02/08/2024).
“Jika memang berita tersebut dirasa sangat triggering, berikan batasan untuk diri sendiri dalam mengonsumsi berita tersebut,” ujar co-founder penyedia layanan psikologi Amanasa di Jakarta ini.
Pada waktu sama, kasus ini juga mengingatkan orang tua agar tetap waspada, proaktif, dan selektif saat mencarikan rumah kedua untuk anak. Terkait ini, Ninda memiliki sejumlah saran dan strategi.
Yang utama, selain faktor jarak, biaya, dan fasilitas, adalah nilai-nilai yang diterapkan oleh pihak daycare.
Ninda menambahkan, “Unsur legalitas, izin pendirian, latar belakang pendiri, dan juga staf juga sangat penting untuk diketahui karena akan mempengaruhi culture yang ada di daycare tersebut.”
Saran lainnya berkaitan dengan review atau ulasan terkait penyedia layanan. Menurut Ninda, alangkah lebih baik apabila kita mempertimbangkan testimoni kerabat atau kenalan yang sudah pernah menggunakan jasa di sana, alih-alih sekadar mengandalkan ulasan yang berseliweran di internet.
Faktor keamanan juga harus diperhatikan. Apakah lokasinya dan pengaturan ruangannya sudah aman untuk aktivitas anak? Perlu dipastikan pula rasio perbandingan jumlah staf dan jumlah anak.
Poin terakhir berkaitan dengan komunikasi antara pihak daycare dan orangtua. Ninda memberikan contoh bentuk komunikasi oleh salah satu daycare yang pernah dikenalnya.
“Mereka memiliki buku komunikasi yang diberikan setiap harinya kepada orang tua. Isinya berupa hasil observasi dan pesan untuk orangtua mengenai perkembangan anaknya. Jika ada jatuh, luka, atau keluhan anak lainnya akan disampaikan di buku tersebut.”
Ninda menambahkan, apabila pihak daycare mau terbuka mengenai luka atau sakit yang dialami anak, berarti mereka termasuk yang dapat dipercaya.
Misalnya, saat kita menjemput anak, pihak daycare memberitahukan langsung tentang kejadian tidak mengenakkan pada anak. Jadi, kita sudah mengetahui kondisinya sebelum anak mengeluhkan rasa sakit atau sebelum kita sendiri yang menemukan bekas luka pada tubuh anak.
“Adanya CCTV juga bisa membantu orang tua untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan mengenai bekas luka anak yang tidak dapat dijelaskan oleh staf atau pendiri daycare,” imbuh Ninda.
Standardisasi untuk daycare ramah anak
Di Indonesia, standar kualitas daycare menjadi perhatian Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), persisnya dikawal oleh Bidang Pemenuhan Hak Anak.
“Sejak 2021, Kemen PPPA telah menginisiasi standardisasi dan sertifikasi lembaga layanan peningkatan kualitas anak di bidang pemenuhan hak anak atas pengasuhan dan lingkungan. Hingga 2023, upaya ini telah melibatkan 9 daycare di Kementerian/ Lembaga dan 31 daycare di daerah,” ujar Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak, Pribudiarta Nur Sitepu, dilansir dari siaran pers nomor B-030/SETMEN/HM.06/2/2024 yang rilis Februari silam.
TARA dapat didefinisikan sebagai fasilitas kesejahteraan untuk memenuhi kebutuhan pengasuhan, pendidikan, dan bimbingan tumbuh kembang anak usia 0-6 tahun. Termasuk di dalamnya tempat penitipan anak, taman penitipan anak, taman anak sejahtera, taman pengasuhan anak, hingga daycare.
Standardisasi ini, menurut dokumen resmi BSN, berisi ketentuan tentang pengelolaan TARA, termasuk klasifikasi peringkat TARA dan persyaratan pengelolaan TARA, yang ditujukan untuk pihak pengelola seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha, sampai lembaga masyarakat dalam mengembangkan TARA.
Di samping mengawal standar layanan pendidikan anak usia dini, Kemen PPPA juga memiliki andil dalam pendampingan keluarga yang anaknya menjadi korban kekerasan. Ranah ini dibantu oleh Bidang Perlindungan Khusus Anak yang fokus pada Persyaratan Keselamatan Anak.
“Khususnya pada prosedur pelaporan dan penanganan kasus keselamatan anak, Pengelola TARA bersama orang tua dan/ atau wali dapat bekerja sama dan merujuk kepada instansi terkait yang memberikan pelayanan perlindungan anak apabila terjadi kasus kekerasan pada anak,” terang Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak, Nahar, S.H., M.Si., saat dihubungi terpisah pada Senin (05/08/2024).
Sehubungan dengan kasus penganiayaan balita di Depok, Nahar menambahkan, “Sejak dirujuk dan dilaporkan ke Polres Depok, Tim Layanan SAPA Kemenpppa bersama UPTD PPA Kota Depok telah berkoordinasi dan memberikan pendampingan bagi anak dan orang tua anak korban.”
Tentu, tidak seharusnya tindakan kejahatan oleh segelintir orang jadi mencoreng muruah layanan penitipan anak yang memiliki tujuan mulia untuk mendukung produktivitas orang tua pekerja dan membantu meningkatkan kemampuan anak bersosialisasi.
It takes a village to raise a child. Pengasuhan anak memerlukan tenaga dan sumber daya material dan manusia yang luar biasa besar.
Diperlukan sinergi yang kuat antara orang tua, pihak daycare, dan elemen pemerintah, untuk mewujudkan lingkungan tumbuh kembang anak yang aman dan menyenangkan.
Setiap kali menemui kasus kekerasan yang menimpa perempuan dan anak, atau mengalaminya sendiri, jangan ragu untuk segera menghubungi layanan SAPA 129 atau melalui perpesanan WhatsApp di 08111-129-129.
Editor: Maya Saputri