Menuju konten utama

Kesalahan 10 Tahun Jokowi Tak Akan Pudar Hanya dengan Minta Maaf

Presiden adalah jabatan publik, tidak bisa menyelesaikan masalah hanya dengan permohonan maaf secara lisan. Tapi harus dipertanggungjawabkan secara jabatan.

Kesalahan 10 Tahun Jokowi Tak Akan Pudar Hanya dengan Minta Maaf
Presiden Joko Widodo memeriksa pasukan saat menjadi inspektur upacara HUT Ke-78 Bhayangkara di Lapangan Monas, Jakarta, Senin (1/7/2024). Dalam pidatonya Presiden menyampaikan bahwa Polri harus semakin lincah, adaptif, memiliki cara pandang strategis, menjadi cooling system dan perekat kebinekaan, profesional serta tidak tebang pilih dalam hal penegakan hukum. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/tom.

tirto.id - “Orang yang dipukul merasakan terus rasa sakitnya, sementara orang yang memukul sudah lupa...” – Pramoedya Ananta Toer, petikan wawancara dengan Forum Keadilan, 26/3/2000.

Presiden Joko Widodo meminta maaf atas segala kesalahannya selama menjabat sebagai pemimpin Republik Indonesia. Ia mengaku tak mampu menyenangkan semua pihak, seraya melapisi permohonan maafnya dengan pengakuan akan kelemahan dan ketidaksempurnaan manusia.

Tak jelas betul kepada siapa Jokowi melayangkan permohonan maafnya. Tak disebut juga kesalahan atau dosa yang mana dalam permohonan maaf sang presiden.

Kendati begitu, permohonan maaf Jokowi tentu dianggap oleh barisan pendukungnya sebagai sikap pemimpin yang patut ditiru. Dan rakyat mau tidak mau dituntut pengertian, bersikap dewasa, menelan maaf yang kosong esensinya.

Misalnya Sekretaris Jenderal Partai Gerindra, Ahmad Muzani, yang menyeru masyarakat menerima permohonan maaf Jokowi. Ia meminta masyarakat mengubur kejengkelan dan ketersinggungan terhadap Jokowi selama ia menjabat sebagai presiden. Muzani menilai tidak ada kata terlambat melayangkan permohonan maaf, demi persatuan dan kebersamaan.

“Harus dilupakan, kita menyampaikan permohonan maaf dan kita memaafkan atas semua kejengkelan, mungkin kekeliruan, kedongkolan di antara kita semua,” kata dia di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/8/2024).

Lain Muzani, lain pula sikap Ketua Umum MUI, Anwar Iskandar. Merespons permintaan maaf Jokowi, Kamis (1/8/2024) di Jakarta, Anwar membalas dengan ucapan terima kasih kepada Jokowi sebab menurutnya pemerintah sudah membuat Indonesia tersenyum. Ia lantas memuji Jokowi sebagai sosok yang sabar dan telaten, terus memikirkan rakyat.

“Kalau saya boleh mewakili, panjenengan semua kita maafkan. Bahkan, kita mungkin lebih dari minta maaf karena telah bikin repot, kadang suuzan saja,” ujar Anwar.

Tak jelas betul, siapa “kita” yang dimaksud Anwar yang justru mohon maaf kembali kepada Jokowi. Sebab jika “kita” yang dimaksud adalah rakyat Indonesia, agaknya tak semudah itu menerima permintaan maaf, bahkan sampai harus memohon maaf segala kepada presiden.

Masyarakat bisa mengapresiasi kebesaran hati Jokowi yang mengulur maaf. Namun, maaf saja tak cukup membenahi sengkarut yang dilakukan rezim pemerintahan Jokowi selama ini. Terlebih, ketika permohonan maaf itu tampak kabur dan berbau formalitas belaka.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhamad Isnur, menyatakan permohonan maaf Jokowi tidak jelas karena tak diiringi pengakuan atas kesalahannya. Isnur menilai rezim pemerintah Jokowi punya banyak kesalahan dalam kebijakan dan sikap politik, sehingga permohonan maaf dari presiden terasa kabur tanpa pengakuan dosa.

“Kan tidak jelas kesalahan yang mana. Sangat banyak peristiwa, sangat banyak kesalahan. Mahkamah Rakyat menerbitkan 9 dosa besar rezim Jokowi. Jadi kita kalau ingin melihat keikhlasan dan kebenaran dari permintaan maaf itu, harus jelas, harus clear,” kata Isnur kepada Tirto, Selasa (6/8/2024).

Permintaan maaf dari seorang kepala negara hendaknya diiringi dengan pengakuan atas kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan. Namun itu saja tidak cukup. Isnur menilai, permohonan maaf baru akan benar-benar terasa tulus jika ada upaya memperbaiki dosa yang sudah diakui sendiri.

“Apakah yang dikemukakan Mahkamah Rakyat artinya diakui sebagai kebenaran, bahwa itu diakui semua kesalahan? Lalu, jika itu sebuah permintaan maaf akan kesalahan, ya diperbaiki dong, dipulihkan kondisinya,” ucapnya.

Aksi tolak PSN Nagari Air Bangis

Aktivis dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor Kemenko Marves, Jakarta, Jumat (22/9/2023). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/YU

Isnur memandang salah satu kesalahan besar rezim Jokowi adalah membiarkan suburnya dinasti politik. Jokowi dianggap membiarkan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai cawapres dengan cara otak-atik aturan di Mahkamah Konstitusi. Selain itu, berbagai kebijakan yang merugikan rakyat luas juga lahir di masa kepemimpinannya.

“Cabut segera UU Ciptaker Omnibus Law, kembalikan KPK seperti semula undang-undangnya, cabut semua IUP (izin usaha pertambangan) yang terbukti merusak lingkungan dan terbukti merampas ruang hidup rakyat,” tegas Isnur.

Dengan sisa dua bulan menjabat sebagai presiden, kata Isnur, sebaiknya Jokowi tidak mengeluarkan kebijakan baru yang berbahaya dan menyengsarakan rakyat. Permintaan maaf presiden hanya akan terasa klise jika tidak diiringi pengakuan dosa dan pengungkapan kebenaran.

“Jadi klise, jadi fatamorgana belaka, jika tidak diiringi pengakuan kesalahan. Tidak diiringi pengungkapan kebenaran, tidak diiringi pemulihan atau perbaikan kondisi dan kemudian masih melakukan kesalahan,” ucap Isnur.

Rezim pemerintahan Jokowi sudah mendapat gugatan dari Mahkamah Rakyat Luar Biasa pada 25 Juni 2024 lalu. Sidang yang dilangsungkan di Universitas Indonesia, Depok, itu mengadili sembilan dosa pemerintahan Jokowi. Selain Jokowi, Mahkamah Rakyat turut menggugat Ketua MPR dan DPR serta seluruh parpol di parlemen.

Sembilan dosa atau Nawadosa rezim Jokowi versi Mahkamah Rakyat meliputi perampasan ruang dan penyingkiran masyarakat; kekerasan, persekusi, kriminalisasi dan diskriminasi; kejahatan kemanusiaan dan pelanggengan impunitas; serta komersialisasi dan penundukan sistem pendidikan.

Lebih lanjut, membiarkan perilaku KKN; eksploitasi sumber daya alam; sistem kerja yang menindas; pembajakan legislasi; hingga militerisme atau militerisasi. Mahkamah Rakyat diinisiasi oleh unsur masyarakat sipil, mahasiswa, hingga akademisi dari berbagai daerah.

Hakim ketua Mahkamah Rakyat Luar Biasa, Asfinawati, menilai negara melalui presiden, tak cukup hanya melayangkan permohonan maaf. Ia menekankan, nilai-nilai bernegara berbeda dengan kehidupan personal.

“Konsekuensi kesalahannya struktural, yaitu sistemik dan meluas. Dalam prinsip HAM harus ada pemulihan hak yang terlanggar bukan cuma kalimat maaf,” kata Asfinawati kepada Tirto, Selasa.

Menurut Asfinawati, kesalahan utama rezim pemerintahan Jokowi adalah memutarbalikkan kondisi demokrasi di Indonesia. Ini menjadi poin yang amat krusial, sebab bila prinsip hidup berdemokrasi sudah dikangkangi, maka pelanggaran-pelanggaran lainnya akan lahir.

Dia menilai, perlu ada pemulihan untuk menunjukkan keseriusan permintaan maaf presiden. Saat ini, kebebasan berpendapat di muka umum yang diperjuangkan ketika reformasi juga sering direspons dengan tekanan dari penguasa. Imbasnya, lahir berbagai beleid yang minim partisipasi dan merugikan rakyat.

“Meski saya ragu [bakal dilakukan], tapi penuhi tuntutan rakyat. Mulai kasus perampasan lahan dan kebijakan-kebijakan yang tidak ada partisipasi bermakna,” ucap Asfinawati.

Tak Mudah Memberi Maaf

Wakil Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, menyatakan bahwa warisan kesalahan rezim Jokowi membuat permohonan maaf dari sang presiden sulit diterima. Utamanya, kata dia, pemerintah saat ini menggunakan instrumen hukum secara sewenang-wenang hanya untuk kepentingan politik kekuasaan.

“Disebut sebagai legalisme otokratis. Belum lagi soal pencalonan anaknya sebagai wapres yang penuh intrik hukum melalui mahkamah konstitusi. Dosa-dosa ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan permintaan maaf,” kata Ardi kepada Tirto, Selasa.

Permohonan maaf Presiden Jokowi, kata Ardi, juga tidak disertai dengan penjelasan soal musabab kesalahan. Hal itu membuat permintaan maaf presiden jadi terlihat sebagai retorika politik di penghujung masa kekuasaan.

Padahal, menurut Ardi, sudah terlalu banyak dosa politik yang dilakukan Jokowi. Seperti pengesahan berbagai peraturan perundang-undangan yang bermasalah: mulai dari UU dan Perppu Ciptaker, Revisi UU KPK, UU Minerba, UU PSDN, serta rencana revisi UU TNI dan Polri yang saat ini terus ditancap gas.

Gibran mengundurkan diri sebagai Wali Kota Solo

Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka mengemasi barang miliknya di meja kerja Balai Kota Solo usai mengajukan surat pengunduran diri ke DPRD Kota Solo, Jawa Tengah, Selasa (16/7/2024). Gibran mengajukan surat pengunduran diri dari jabatan Wali Kota Solo setelah dirinya ditetapkan KPU sebagai Wakil Presiden terpilih pada Pemilu 2024 dan akan dilantik pada 20 Oktober 2024. ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/Spt.

“Kekuasaan di masa yang akan datang bisa jadi akan mengoreksi segala kesalahan dan menuntut pertanggungjawaban Jokowi yang dia lakukan selama sepuluh tahun ini secara hukum,” ujar Ardi.

Sementara itu, Staf Khusus Presiden, Grace Natalie, memandang wajar jika muncul respons menolak permintaan maaf Jokowi, karena presiden tidak bisa menyenangkan semua pihak. Namun, Grace mengeklaim Jokowi akan menerima pendapat tersebut dengan lapang dada.

“Tidak mungkin menyenangkan semua orang. Silakan saja jika punya pendapat berbeda. Pak Presiden selalu terbuka,” kata Grace kepada Tirto, Selasa.

Terpisah, Deputi IV Kantor Staf Presiden (KSP), Wandy Tuturoong, turut menilai akan ada respons yang berbeda-beda dari masyarakat terkait permohonan maaf Presiden Jokowi. Namun, pria yang akrab disapa Binyo itu menolak berkomentar lebih jauh soal polemik ini.

“Masyarakat bebas berpandangan tentu saja. Tapi saya tidak mau mengomentari balik soal itu,” kata Binyo kepada Tirto, Selasa.

Di sisi lain, pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menilai justru masyarakat yang tidak begitu saja menerima permohonan maaf presiden, sudah bersikap benar. Bivitri mengingatkan, jabatan presiden adalah jabatan publik sehingga tidak bisa menyelesaikan masalah semata-mata dengan permohonan maaf secara lisan.

“Ini adalah tanggung jawab jabatan. Tanggung jawab pelaksanaan wewenang. Jadi memang tidak bisa dengan permintaan maaf, tapi harus dipertanggungjawabkan secara jabatan. Bisa secara politik dan bisa juga secara hukum,” jelas Bivitri kepada Tirto, Selasa.

Sayangnya, kata dia, partai politik tidak selalu bisa diandalkan masyarakat karena sudah tersandera kepentingan berkuasa. Selain itu, pemerintahan Jokowi juga membuat parpol oposisi sudah kehilangan tajinya dengan pembungkaman atau politik akomodatif.

Ia menilai, kesalahan utama dari rezim pemerintahan Jokowi adalah merusak sendi-sendi demokrasi. Tak mengherankan jika masyarakat tidak mudah memaafkan Jokowi. Justru, dengan begitu, masih ada masyarakat yang memiliki kompas moral dan masih waras untuk dapat membedakan wilayah personal dan urusan kewenangan publik.

“Intinya adalah nggak bisa ada permintaan maaf begitu saja. Kalau mau ada permintaan maaf saja, ya sekalian mundur,” ujar Bivitri.

Melihat polemik ini, tampaknya lagi-lagi kita diingatkan dengan petikan tulisan Pramoedya. Dalam kolom di Majalah Tempo, ia menulis:

“Saya tidak mudah memaafkan orang karena sudah terlampau pahit menjadi orang Indonesia.”

Pahit itu agaknya masih terasa, Bung!

Baca juga artikel terkait JANJI JOKOWI atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Politik
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi