Menuju konten utama
Kasus Pencemaran Nama Baik

Alasan Sebaiknya Jaksa Tak Banding soal Vonis Bebas Haris-Fatia

Pakar hukum menilai pengajuan banding atau kasasi atas vonis bebas Fatia & Haris seolah JPU bertindak atas kepentingan Luhut.

Alasan Sebaiknya Jaksa Tak Banding soal Vonis Bebas Haris-Fatia
Haris Azhar (kanan) dan Fatia Maulidiyanti (kiri) usai mengikuti sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin (8/1/2024). tirto.id/Ayu Mumpuni

tirto.id - Cogitationis poenam nemo patitur memiliki arti tak seorangpun dapat dihukum atas apa yang ia pikirkan. Peribahasa Latin itu dibacakan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur ketika memvonis bebas aktivis hak asasi manusia, Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar atas segala dakwaan.

Putusan bebas atas Fatia dan Haris menguatkan dugaan kriminalisasi dan pembungkaman sikap kritis mereka pada kondisi alam di Papua. Dalam sidang putusan, Senin (8/1/2023), majelis hakim memutuskan keduanya bebas dari kasus dugaan pencemaran nama baik Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan.

Vonis bebas ini dibacakan bergantian oleh hakim ketua Cokorda Gede Arthana dan dua hakim anggota, Muhammad Djohar Arifin dan Agam Syarief Baharudin. Meski berkas persidangan Fatia dan Haris dipisah, vonis ini dibacakan bersama dengan putusan yang sama.

“Tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan penuntut umum. Membebaskan terdakwa dari segala dakwaan,” ujar hakim ketua Cokorda.

Majelis hakim juga memulihkan hak-hak Fatia dan Haris, yaitu kemampuan, kedudukan, serta harkat dan martabat keduanya. Sementara itu, sebutan ‘Lord’ yang disematkan kepada Luhut juga terbukti bukan sebuah bentuk penghinaan.

Serupa, kalimat ‘Jadi Luhut bisa dibilang bermain dalam pertambangan di Papua hari ini’, dan ‘Jadi penjahat juga kita’, dinilai majelis hakim bukan penghinaan karena didasarkan pada telaah atau analisis kajian cepat riset yang diterbitkan oleh koalisi masyarakat sipil.

Kalimat-kalimat tersebut terucap dalam video di kanal Youtube Haris Azhar yang berjudul ‘Ada Lord Luhut Di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya‼ Jenderal BIN Juga Ada‼’.

Dalam video siniar itu, Haris yang merupakan Direktur Lokataru, mengundang Fatia selaku Koordinator KontraS mendiskusikan hasil riset berjudul ‘Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya’. Objek yang diteliti terkait usaha pertambangan yang berlokasi di Blok Wabu, Kabupaten Intan Jaya, Papua.

Video tersebut membuat Luhut melaporkan Fatia dan Haris dengan delik pencemaran nama baik dan penghinaan. Luhut keberatan diseret dalam aktivitas pertambangan di Papua.

Di sisi lain, majelis hakim justru menimbang bahwa Luhut memang terbukti memiliki afiliasi dalam proyek pertambangan di Papua. Dalam persidangan, Luhut sempat mengakui memiliki 99 persen saham di PT Toba Sejahtera Group.

Adapun PT Tobacom Del Mandiri yang mengoperasikan tambang di Papua adalah anak perusahaan dari PT Toba Sejahtera Group. “Secara tidak langsung Luhut adalah beneficial owner (pemilik manfaat) dari perusahaan PT Tobacom Del Mandiri,” ucap hakim Arifin.

Majelis hakim menilai hal tersebut bukan sebuah pencemaran nama baik, penghinaan, dan berita bohong. Mereka mengamini apa yang dikatakan Fatia dan Haris didasarkan pada hasil riset, yang turut membuktikan keterkaitan pejabat negara di dalam proyek pertambangan Papua.

Perlawanan Belum Padam

Vonis bebas Fatia dan Haris tampaknya bukan kabar yang membuat Kejaksaan Negeri Jakarta Timur lega. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Jaktim mengajukan kasasi karena tidak terima putusan bebas majelis hakim PN Jakarta Timur.

Hal ini disampaikan melalui keterangan tertulis oleh Plh. Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Herlangga Wisnu Murdianto.

“Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Timur menyatakan kasasi terhadap putusan terdakwa Haris Azhar dan terdakwa Fatia Maulidiyanti,” kata Herlangga, Senin (8/1/2024).

Menurut dia, upaya kasasi sesuai dengan Akta Permintaan Kasasi Nomor 02/Akta.Pid/2024/PN.Jkt.Tim tanggal 8 Januari 2024 untuk perkara atas nama terdakwa Haris Azhar. Kemudian, Akta Permintaan Kasasi Nomor 03/Akta.Pid/2024/PN.Jkt.Tim tanggal 8 Januari 2024 untuk perkara atas nama terdakwa Fatia Maulidiyanti.

“Jaksa segera mempersiapkan memori kasasi terhadap perkara tersebut,” ujar Herlangga.

Kuasa hukum Fatia-Haris cum Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan YLBHI, Arif Maulana, menyayangkan upaya kasasi yang dilakukan Kejaksaan. Arif menilai, putusan bebas oleh majelis hakim PN Jaktim jelas menunjukkan bahwa pelaporan Fatia dan Haris merupakan sebuah kriminalisasi dan pembungkaman.

“Terbukti dalam pengadilan, Luhut punya kepentingan (di Papua) itu fakta hukum. Kalau jaksa kemudian melakukan kasasi, itu artinya jaksa masih mau melakukan kriminalisasi Haris dan Fatia, jaksa harusnya malu,” ujar Arif kepada reporter Tirto, Selasa (9/1/2024).

Arif melihat jaksa seakan-akan justru mengabaikan hukum dan menutup fakta dari vonis yang dijatuhkan majelis hakim. Hal ini terlihat laiknya jaksa lebih memihak kepada kepentingan pejabat negara, bukan kepentingan rakyat sipil.

“Tapi memang kita tahu bahwa ini jadi semacam template mereka dan ini sayang sekali, mereka seperti saya lihatnya jaksa ini menjadi jaksanya Luhut. Harusnya tunduk pada fakta kebenaran bukan pada kemauan pejabat publik,” sebut Arif.

Dia menegaskan, hal ini menjadi peringatan untuk warga sipil bahwa upaya-upaya untuk membungkam kritik dan kebebasan berpendapat masih terus ada. Di sisi lain, sebagai tanda bahwa api memperjuangkan hak-hak bebas berpendapat dan menyampaikan kritik masih harus terus dinyalakan.

“Ini sekaligus warning untuk kita semua terus mengawal kasus (Fatia-Haris) ini agar putusannya justru malah tidak jadi sebaliknya. Kita berharap Mahkamah Agung (MA) juga konsisten harus independen dan juga memberikan putusan berkeadilan (saat kasasi),” sambung Arif.

Sidang kasus Haris Azhar dan Fatia

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan memberi kesaksian dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Jakarta, Kamis (8/6/2023). ANTARA FOTO/Fauzan/nym.

Di sisi lain, Luhut Binsar Pandjaitan, menyayangkan vonis bebas Fatia-Haris oleh PN Jaktim. Luhut menilai ada beberapa fakta dan bukti penting selama persidangan yang tampaknya tidak menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan oleh majelis hakim.

“Kami percaya bahwa setiap aspek dan fakta dalam suatu kasus hukum harus dipertimbangkan dengan saksama untuk mencapai keputusan yang adil dan bijaksana,” kata Luhut melalui keterangan resmi yang diterima Tirto, Selasa (9/1/2024).

Namun demikian, Luhut tetap menghormati putusan majelis hakim yang memvonis bebas Fatia dan Haris. Selanjutnya, dia menyerahkan sepenuhnya kepada Jaksa Penuntut Umum atas proses yang akan diambil berikutnya.

Dia menegaskan sangat menghargai sistem peradilan dan berharap bahwa setiap proses hukum dapat berjalan dengan lebih transparan dan akuntabel, demi keadilan dan kebenaran. Luhut mengajak semua pihak menghormati proses hukum dan menunggu setiap prosesnya dengan sabar.

“Kami percaya bahwa penuntut umum akan melanjutkan proses hukum ini dengan bijaksana dan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku,” ujar Luhut.

Pakar hukum tata negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menilai sikap JPU yang mengajukan kasasi atas vonis bebas Fatia-Haris seolah bertindak pada kepentingan Luhut. Pria yang akrab disapa Castro ini menyayangkan tindakan tersebut.

“Ini yang kita sesalkan, seolah-olah JPU bertindak atas nama kepentingan LBP. Harusnya JPU menerima putusan PN Jaktim dengan alasan telah sejalan dengan prinsip-prinsip kebebasan berekspresi yang harusnya dijamin oleh negara,” ujar Castro kepada reporter Tirto, Selasa (9/1/2024).

Sementara itu, ancaman kebebasan berekspresi dan pembungkaman sikap kritis masih berpotensi hadir seiring disahkannya perubahan kedua UU ITE. Castro menilai, di negara demokrasi, sudah seharusnya Pasal-Pasal karet yang ada dalam UU ITE tidak pantas digunakan lagi.

Seperti diberitakan sebelumnya, Haris dan Fatia didakwa dengan Pasal 27 ayat 3 juncto Pasal 45 ayat 3 UU ITE, Pasal 14 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1946, Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946, dan Pasal 310 KUHP tentang Penghinaan.

“Pasal-Pasal karet ini hanya digunakan untuk membungkam mereka yang kritik. Faktanya, perubahan kedua UU ITE beberapa hari yang lalu, malah tetap mempertahankan itu. Jelas ini bagian dari kemunduran demokrasi kita,” ungkap Castro.

Harap dan Cemas

Komisi Nasional HAM memandang putusan bebas Haris dan Fatia sebagai sinyal positif bagi perlindungan terhadap pembela HAM. Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, menyatakan vonis bebas kepada Fatia dan Haris adalah sinyal positif bagi hak atas kebebasan berekspresi di Indonesia.

“Pertimbangan dan putusan ini juga memberikan sinyal positif bagi pengakuan dan perlindungan atas lingkungan berkelanjutan sebagai bagian dari hak asasi manusia,” kata Atnike dalam keterangan tertulis, Selasa kemarin.

Kendati demikian, Atnike menilai penting untuk menjadi catatan bahwa dalam kondisi ideal, permasalahan ini tidak seharusnya sampai perlu masuk ke tahap peradilan. Adapun dia berpendapat bahwa jaksa tidak seharusnya mengajukan kasasi atas vonis tersebut.

Sebab, dia memandang, tindakan Fatia dan Haris adalah bentuk memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hal itu bahkan dilindungi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Sidang putusan Haris dan Fatia

Terdakwa Direktur Lokataru Haris Azhar (kanan) dan mantan Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti (kiri) menemui pendukungnya usai sidang putusan di Pengadllan Negeri (PN) Jakarta Timur, Senin (8/1/2024). ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah/YU

Senada dengan Atnike, Peneliti dari ICJR, Nur Ansar, menilai persidangan dengan delik pencemaran nama baik yang menyeret Fatia dan Haris seharusnya tidak perlu sejak awal. Persidangan ini berlangsung lama dan menguras energi masing-masing pihak.

“Hal ini pada akhirnya tetap berpengaruh pada iklim kebebasan berekspresi,” kata Nur Ansar di Jakarta.

Menurut dia, ini perlu menjadi catatan dalam sistem peradilan pidana, khususnya yang berhubungan dengan kebebasan berekspresi. Upaya aktivisme apalagi kritik berbasis penelitian, tidak seharusnya direspons dengan proses pidana.

ICJR juga mengingatkan, proses kriminalisasi ini tidak lepas dari kebijakan hukum pidana khususnya dalam UU ITE yang tidak dirumuskan dan diimplementasikan sesuai dengan prinsip negara demokratis.

Berdasarkan data Amnesty International Indonesia, setidaknya terdapat 504 kasus penyalahgunaan UU ITE yang melanggar hak kebebasan berekspresi terhadap 535 orang selama 2019-2023. Mereka yang dituduh berdasarkan undang-undang tersebut terdiri dari pembela hak asasi manusia, jurnalis, akademisi, hingga warga sipil lainnya.

“Ke depannya, pertimbangan majelis hakim dalam putusan Fatia-Haris perlu menjadi preseden untuk penyelesaian kasus-kasus di atas serta penerapan pasal penghinaan dalam KUHP baru, revisi kedua UU ITE, maupun dalam kerja-kerja aparat penegak hukum,” tegas Nur Ansar.

Baca juga artikel terkait KASUS LUHUT VS HARIS AZHAR atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Hukum
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz