Menuju konten utama

Membedah Poin-Poin Revisi UU ITE: Masih Ada Pasal Bermasalah?

UU ITE hasil revisi sudah berlaku usai diteken Jokowi. Namun, masih ada sejumlah catatan dari koalisi masyarakat sipi. Apa saja?

Membedah Poin-Poin Revisi UU ITE: Masih Ada Pasal Bermasalah?
Ilustrasi UU ITE. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Presiden Joko Widodo resmi menandatangani Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 11 Tahun 2028 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dengan demikian, regulasi yang kerap disalahgunakan karena “pasal karet” ini resmi berlaku.

Dinukil dari laman JDIH Setneg, alasan merevisi UU ITE karena keberatan publik dalam penerapan aturan pidana dalam UU ITE sebelumnya.

“Munculnya keberatan sebagian masyarakat terhadap beberapa ketentuan pidana seperti dalam Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) yang telah beberapa kali diajukan uji materi (judicial review) di Mahkamah Konstitusi,” demikian bunyi poin pertama alasan dalam UU 1/2024 ini disahkan.

Alasan revisi juga dilakukan karena aturan sebelumnya belum menyelesaikan masalah. Selain itu, masih ada persepsi tidak tepat sasaran dalam pelaksanaan aturan.

“Munculnya pemahaman yang berbeda terhadap beberapa pasal sehingga penerapannya dapat dikenakan kepada subjek yang seharusnya tidak menjadi sasaran dari ketentuan tersebut,” bunyi poin 3 alasan tersebut.

Dalam revisi UU ITE ini memuat sejumlah perubahan. Pertama, pemerintah dan DPR sepakat mengubah isi Pasal 27. Kini, ditambahkan klausul “mereka yang sengaja dan tanpa hak menunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diakses dokumen elektronik yang memiliki muatan kesusilaan untuk diketahui umum maupun dokumen muatan perjudian.”

Pemerintah dan DPR menambah ketentuan Pasal 27 lewat 2 pasal baru, yakni Pasal 27A dan Pasal 27B. Pasal 27A berbunyi “Setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.”

Sementara Pasal 27B berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik demi menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang dengan ancaman kekerasan untuk memberi barang atau memberi hutang.”

Secara garis besar, pemerintah dan DPR menyempurnakan norma di UU ITE sebelumnya mulai dari Pasal 5, Pasal 13, Pasal 17; penyempurnaan daftar perbuatan pidana yang dilarang lewat Pasal 27, 27B, 28, 29, dan Pasal 36 serta ketentuan pidana dalam Pasal 45, 45A dan 45B; posisi dan peran pemerintah lewat Pasal 40 dan kewenangan penyidik pejabat negeri sipil pada Pasal 43.

Pemerintah juga mengatur identitas digital lewat Pasal 13A; perlindungan anak dan penyelenggara sistem elektronik lewat Pasal 16A dan 16B; kontrak elektronik internasional dalam Pasal 18A; dan peran pemerintah dalam menciptakan ekosistem digital sesuai Pasal 40A.

Masih Menuai Kritik

Meski sudah direvisi, tapi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi UU ITE tetap memberikan catatan terhadap amandemen kedua UU ITE ini. Sebab, UU Nomor 1 Tahun 2024 ini dinilai belum menyelesaikan masalah dalam kebebasan berekspresi di Indonesia.

“Revisi UU ITE masih memuat pasal-pasal bermasalah seperti pencemaran dan penyerangan nama baik, ujaran kebencian, informasi palsu, dan pemutusan akses. Pasal-pasal bermasalah tersebut akan memperpanjang ancaman bagi publik mendapatkan informasi serta hak kebebasan berekspresi di Indonesia,” kata Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), M. Isnur, dalam keterangan tertulis, Jumat (5/1/2024).

Isnur menekankan, koalisi mengkritik keras upaya pembahasan revisi yang tertutup. Hal itu membuat publik minim ruang untuk terlibat dan mengawasi proses revisi. Mereka malah melihat isi revisi tidak menghilangkan masalah.

“Alih-alih menghilangkan pasal yang selama ini bermasalah, koalisi menemukan bahwa perubahan undang-undang ini masih mempertahankan masalah lama,” kata Isnur.

Pasal-pasal bermasalah itu, antara lain: Pasal 27 ayat (1) hingga (4) yang kerap dipakai untuk mengkriminalisasi warga sipil; Pasal 28 ayat (1) dan (2) yang kerap dipakai untuk membungkam kritik; hingga ketentuan pemidanaan dalam Pasal 45, 45A, dan 45B.

DPR bersama pemerintah juga menambahkan ketentuan baru, salah satunya Pasal 27A tentang penyerangan kehormatan atau nama baik orang. Isnur sebut, ketentuan ini masih bersifat lentur dan berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang kritis. Pasal baru lainnya adalah Pasal 27B tentang ancaman pencemaran.

Selain itu, kata Isnur, ada juga Pasal 28 ayat 3 dan Pasal 45A ayat (3) tentang pemberitahuan bohong yang sudah memiliki padanannya dalam KUHP baru. Pasal ini berpotensi multitafsir karena tidak ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan pemberitahuan bohong dalam pasal ini.

Pasal 28 ayat (3) berbunyi “Setiap orang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat.”

“Selain pasal-pasal pemidanaan, hasil revisi kedua UU ITE masih mempertahankan Pasal 40 yang memberikan kewenangan besar bagi pemerintah memutus akses terhadap informasi yang dianggap mengganggu ketertiban dan melanggar hukum,” kata Isnur.

Oleh karena itu, kata Isnur, koalisi menolak pengesahan revisi UU ITE oleh DPR dan pemerintah karena mengabaikan partisipasi publik dan masih melanggengkan pasal-pasal yang berpotensi membungkam kebebasan berekspresi dan pelangaran HAM.

Koalisi masyarakat sipil juga mendesak agar DPR dan pemerintah untuk menerapkan partisipasi publik dan bermakna dalam pengambilan keputusan serta mendorong implementasi revisi UU ITE bukan untuk upaya kriminalisasi.

“Mendesak pemerintah untuk memastikan implementasi UU No 1/2024 agar tidak digunakan untuk mengkriminalisasi kelompok kritis dan korban kejahatan yang sesungguhnya,” kata Isnur.

Co-Founder Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) yang juga bagian dari Koalisi Serius, Damar Juniarto, menyampaikan sejumlah catatan perbedaan antara UU ITE lama dengan UU Nomor 1 Tahun 2024. Damar, yang ikut terlibat dalam pembahasan revisi UU ITE bersama Koalisi Serius mengaku ada beberapa hal positif dan negative dari UU 1/2024 ini.

Mengutip dari cuitan panjang Damar, dari sisi positif, tanda tangan elektronik diakui lewat Pasal 13, Pasal 13A dan Pasal 17 ayat 2a. Kemudian ada perlindungan anak di Pasal 16A dan adanya moderasi konten di Pasal 40 ayat 2d untuk muatan berbahaya bagi keselamatan nyawa atau keselamatan masyarakat.

“Cuma itu aja? Iya. Sebetulnya ada perubahan-perubahan substansial yang didorong ke Kominfo dan Komisi 1 DPR RI agar terjadi reformasi hukum internet, tapi tidak tercermin di #UUITE2024 sehingga tidak terjadi revisi total. Maklum, selama proses revisinya buru-buru dan kebanyakan tertutup,” bunyi cuitan Damar. Tirto sudah mendapat izin untuk mengutip twit tersebut.

Damar menilai, UU ITE semestinya dibuat lebih baik lagi karena sudah ada aturan lain seperti UU Perlindungan Data Pribadi (PDP), UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru yang akan diterapkan dua tahun mendatang.

Ia mengaku ada beberapa poin yang perlu direvisi. Pertama, Pasal 26 tentang perlindungan data pribadi sebaiknya diatur di UU PDP. Kedua, Pasal 36 tentang pemberatan pidana. Aturan ini masih punya potensi melanggar hak korban yang dilindungi lewat UU TPKS meski hanya untuk Pasal 30-34.

Selain itu, ada beberapa hal krusial lain. Pasal 27 ayat 1 yang memuat kesusilaan masih ada. Meskipun sudah berubah rumusan, tapi bunyi masih sama dengan KUHP. Pasal pencemaran nama baik dari Pasal 27 ayat 3 menjadi Pasal 27A. Rumusan tersebut malah mirip dengan KUHP baru.

Ketiga, Pasal 28 ayat 1 yang membahas soal pemberitahuan bohong dan informasi menyesatkan dapat mengakibatkan kerugian konsumen masih muncul. Pemerintah hanya menambahkan norma harus berbentuk kerugian materiil dalam pelaksanaan regulasi.

Kemudian, Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian di UU ITE lama, masih berlaku. Isi pasal pun mirip KUHP, tetapi dengan detail yang berbeda. Dalam UU ITE menormakan “menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian” dan menyertakan “individu” sebagai pihak yang dirugikan.

“Nah, ini yang paling ngeri sih... klausul baru soal disinformasi (hoaks) diatur dalam Pasal 28 (3). Semangat penormaan diambil dari Pasal 14 dan 15 UU 1/1946 dan Pasal 263 (1) KUHP. Ini enggak ada safeguarding-nya, jadi siapa pun termasuk jurnalis dan media risiko terkena,” kata Damar.

Damar mengaitkan regulasi yang keluar mestinya sejalan dengan kebutuhan saat ini sebagaimana yang disampaikan dalam forum APAC Expert Meeting on Disinformation Law and Free Flow of Information di Malaysia. Bila mengaca dari dasar tersebut, Damar khawatir masih belum memenuhi.

“Sudahkah UU ITE 2024 memenuhi prasyarat-prasyaratnya? Saya khawatir belum,” kata Damar.

Respons Kominfo soal Pasal Bermasalah

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Budi Arie Setiadi, menjawab alasan pasal bermasalah masih diatur dalam revisi UU ITE. Ia mengatakan, pemerintah masih mendengar dan akan mencari solusi karena pemerintah ingin membangun ruang yang baik.

“Nanti, ini kan sudah diberlakukan, diketok, diundangkan dan kita lihat respons masyarakat, kita sharing discussion yang pasti, kan, pemerintah ingin menjaga ruang digital kita lebih kondusif dan lebih berbudaya,” kata Budi Arie di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Jumat (5/1/2024).

Budi Arie mengatakan, pemerintah akan mendiskusikan kritik tentang revisi UU ITE yang baru diteken presiden. Akan tetapi, ia memastikan UU ITE tidak akan digunakan untuk kepentingan kriminalisasi.

“Ya, enggak lah, karena itu ada berbagai isu yang harus kita ini, kita harus dialog, diskusikan, spirit kita, kan, negara demokrasi gitu loh,” kata dia.

Budi Arie menegaskan pemerintah tidak memiliki kekuasaan yang luas lewat UU ITE. Tudingan pemerintah punya kekuasaan lebih luas hanya pendapat, tetapi pemerintah menekankan akan membangun ruang digital sehat di masa depan.

“Ya nanti kita pelajari berikutnya, tetapi sejauh ini belum ada. Ini ketakutan sama bayangan sendiri, kalau kalian baik-baik, enggak usah takut, kan. Ya kalau produksi hoaks masa kita tolerir,” kata Budi Arie.

Ia memastikan bahwa pemerintah akan menanggapi kritik terhadap revisi UU ITE ini dan akan selalu mendengarkan kritik publik maupun masyarakat sipil.

“Ya pasti dong, kan, ada case-nya apa. Kita enggak mau semena-mena, kan. Ini negara demokrasi, kita perjuangin susah payah loh, masa demokrasi kita jadi caci maki dan sumpah serapah,” kata Budi Arie.

Baca juga artikel terkait UU ITE atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz