tirto.id - Ratusan mahasiswa melakukan pengusiran terhadap pengungsi Rohingya Aceh di Balai Meuseuraya Aceh (BMA) menuju ke kantor Kemenkumham Aceh pada Rabu (27/12/2023). Peristiwa pengusiran pengungsi Rohingya oleh mahasiswa ini menimbulkan pro dan kontra.
Beberapa pihak mencurigai tindakan pengusiran ini terjadi karena beredarnya berita bohong di media sosial terkait pengungsi Rohingya Aceh. Lantas, benarkah mahasiswa Aceh mengusir pengungsi Rohingya karena hoaks?
Peristiwa pengusiran pengungsi Rohingya di Aceh itu bermula dari ratusan mahasiswa yang berasal dari berbagai kampus melakukan demonstrasi di kantor DPR Aceh. Usai dari kantor DPR Aceh, sekumpulan mahasiswa tersebut menuju ke tempat penampungan pengungsi Rohingya Aceh dan merangsek masuk ke BMA.
Dari unggahan video @Herricahyadi di X (Twitter), para mahasiswa terlihat melakukan beberapa tindakan kekerasan. Ada yang melempari pengungsi Rohingya Aceh dengan botol air mineral, menarik paksa, hingga menendang barang-barang yang berada di sekitar.
Saat dikepung oleh ratusan mahasiswa, para pengungsi Rohingya hanya terdiam sekaligus ketakutan. Suara teriakan, suara tangis perempuan dan anak-anak pecah menjadi satu. Di sisi lain, aparat gabungan dari kepolisian dan Satpol PP tidak berhasil mengendalikan kerumunan.
Alasan Kenapa Mahasiswa Usir Rohingya
Para mahasiswa Aceh mengusir pengungsi Rohingya sebagai respons terhadap lambannya Pemerintah Aceh dalam menangani masalah pengungsi tersebut.
Faktanya, sejak beberapa bulan terakhir, imigran Rohingya banyak terdampar di pesisir laut Aceh. Namun, permasalahan tersebut terus berlanjut tanpa langkah tegas dari pemerintah setempat.
Gesekan antara pengungsi dan masyarakat setempat terus meningkat, sehingga menciptakan kondisi yang semakin rumit.
Mahasiswa Aceh sebelumnya telah menyampaikan aspirasi mereka untuk mendorong pemerintah mengambil tindakan konkret dalam menangani pengungsi Rohingya. Aksi-aksi demonstrasi pun telah dilakukan sebelumnya untuk menyoroti isu ini.
Pada Jumat (22/12/2023), mahasiswa Aceh menggelar demonstrasi yang diprakarsai oleh BEM Universitas Syiah Kuala (USK). Dalam aksi ini, mahasiswa kembali mengekspresikan aspirasi mereka agar Pemerintah Aceh tidak hanya memberikan janji manis, tetapi juga mengambil langkah nyata dalam menangani isu pengungsi Rohingya.
Mahasiswa juga berharap agar Pj Gubernur Aceh, Achmad Marzuki, memberikan respons terkait lambatnya penanganan masalah pengungsi tersebut.
Meskipun Pj Gubernur tidak dapat memberikan penjelasan saat itu karena sedang memiliki agenda dinas, mahasiswa tetap menekankan pentingnya respons yang detail terkait langkah-langkah yang telah diambil oleh pemerintah.
Salah satu poin penting yang ditekankan oleh mahasiswa adalah kurangnya tindakan dari instansi seperti Imigrasi atau Kemenkumham yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menangani pengungsi Rohingya di Aceh.
Ketidakresponsifan pemerintah terhadap isu ini menjadi fokus utama mahasiswa, yang mendesak agar pemerintah pusat segera menemukan solusi untuk masalah ini. Mereka juga menyoroti penolakan masyarakat setempat terhadap keberadaan pengungsi Rohingya di beberapa lokasi, seperti Pelabuhan CT-1 Sabang.
Dengan demikian, pengusiran yang dilakukan oleh mahasiswa Aceh terhadap pengungsi Rohingya merupakan respons terhadap lambannya pemerintah setempat dalam menangani isu pengungsi Rohingya, yang menciptakan ketegangan antara pengungsi, masyarakat, dan pemerintah.
Benarkah Mahasiswa Usir Rohingya Karena Hoaks?
United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) mencurigai adanya disinformasi dan hoaks yang memantik serangan massa oleh mahasiswa kepada pengungsi Rohingya beberapa waktu lalu.
Juru bicara UNHCR Indonesia, Mitra Salima Suryono, menegaskan bahwa serangan tersebut bukanlah tindakan terisolasi. Menurutnya tindakan tersebut merupakan hasil dari kampanye online terorganisir yang merusak upaya Indonesia dalam menyelamatkan nyawa para pengungsi.
"Serangan massa terhadap pengungsi bukanlah sebuah tindakan yang terisolasi, namun hasil dari kampanye online terkoordinasi yang berisi misinformasi, disinformasi dan ujaran kebencian terhadap pengungsi," katanya seperti yang dikutip dari Antara.
UNHCR sangat prihatin terhadap serangan tersebut, khususnya karena mayoritas pengungsi yang menjadi korban adalah anak-anak. Aksi tersebut menyebabkan pengungsi mengalami ketegangan dan trauma.
Selain itu, UNHCR memberikan peringatan terhadap mengenai dampak kampanye online yang terkoordinasi dan baik dikoreografikan di platform media sosial.
Hal ini dibuktikan lewat beredarnya unggahan-unggahan gambar dari kecerdasan buatan atau AI hingga ujaran kebencian yang dibuat oleh akun bot. Mereka mengimbau masyarakat untuk waspada terhadap hoaks atau informasi yang tidak benar dan tidak sesuai fakta.
"UNHCR mengimbau publik di Indonesia memeriksa ulang semua informasi yang tersedia secara online, yang banyak diantaranya salah atau diputarbalikkan, dengan gambar yang dibuat oleh AI, dan ujaran kebencian yang disebarkan melalui akun bot,"
Ia juga meminta masyarakat berhati-hati terhadap informasi yang dapat merugikan banyak pihak dan dapat menghasut kebencian serta membahayakan nyawa.
Penulis: Umi Zuhriyah
Editor: Iswara N Raditya & Yonada Nancy