tirto.id - Sekitar 1.200 orang Rohingya mendatangi Indonesia selama bulan November 2023. Angka ini termasuk yang paling tinggi sejak 2015.
Mereka rata-rata berasal dari kamp pengungsian di Cox's Bazar, Bangladesh. Dengan menaiki kapal atau perahu kayu, para pengungsi akhirnya terdampar di pantai-pantai Indonesia.
Mereka menuju ke kawasan Aceh yang terletak di ujung barat Indonesia. Perairan Aceh menjadi yang paling dekat dengan wilayah Bangladesh maupun Myanmar.
Bangladesh sebenarnya menjadi lokasi pelarian pertama karena tempatnya berbatasan langsung dengan Myanmar. Akan tetapi, situasi di pengungsian Cox's Bazar disebut penuh sesak dan kekurangan makanan, pendidikan, kesempatan kerja, hingga masalah keamanan.
Alhasil, Indonesia menjadi tujuan berikutnya, setelah para pengungsi menempuh perjalanan jauh melewati lautan dengan jarak ribuan kilometer.
Bahasa Warga Rohingya Myanmar
Rohingya termasuk etnis yang berasal dari Rakhine atau dahulu dikenal sebagai wilayah Arakan, salah satu negara bagian di Myanmar.
Secara mayoritas, mereka memeluk agama Islam. Al-Jazeera pada 2018 silam melaporkan jumlah warga Rohingya di Asia Tenggara mencapai 1,1 juta penduduk.
Sebelum melarikan diri ke berbagai negara, pemerintah Myanmar bersama pihak junta militer melakukan aksi keji yang menewaskan ribuan orang Rohingya disertai penghancuran desa-desa.
Mereka juga tidak dimasukkan dalam 135 etnis resmi yang diakui negara. Sejak tahun 1982, Rohingya tidak dianggap sebagai warga Myanmar. Kondisi tersebut membuat Rohingya berstatus tanpa kewarganegaraan.
Pada dasarnya, orang Rohingya berbicara dengan menggunakan bahasa Rohingya atau Ruaingga. Dialek ini sangat berbeda dengan dialek lain yang dipakai di Myanmar.
Rohingya (Ruaingga) lebih mirip bahasa Chittagonia yang biasa digunakan di kawasan Chittagong, Bangladesh.
Menurut The Guardian, orang Rohingya berbicara dengan dialek Bengali dan bisa dipahami di wilayah tenggara Chittagong. Di lain sisi, dialek tersebut tentunya menjadi terasa asing bagi penduduk Myanmar yang mayoritas beragama Budha.
Dalam segi penulisan, mereka tidak memiliki aksara asli hingga kerap menggunakan beberapa bentuk aksara lain untuk sistem penulisan, seperti alfabet Arab, Urdu, Inggris, hingga Rohingyalish yang diperkenalkan Mohammad Hanif, seorang Rohingya yang hidup dalam pengungsian.
"Jika suatu masyarakat tidak memiliki bahasa tertulis sendiri, lebih mudah untuk mengatakan bahwa sebagai kelompok etnis Anda tidak ada," tutur Hanif.
Versi lain, tulisan Rohingya ditemukan paling awal pada 350 tahun yang lalu dan masih menggunakan aksara Arab. Tulisan itu hilang selama masa penjajahan Inggris pada tahun 1826-1946.
Sejak saat itu, komunikasi tertulis kerap menggunakan bahasa Inggris, Urdu, atau Farsi, sebelum muncul aksara Hanifi (perpaduan aksara Arab, Burma dan Romawi).
Kendati demikian, aksara Hanifi dinilai gagal karena sulit digunakan lewat komputer. Alhasil, masyarakat Rohingya lebih menyukai huruf Romawi karena mudah diucapkan sebagai bahasa lisan maupun tulisan.
Berdasarkan sejumlah keterangan di atas, ada kemungkinan warga Rohingya juga bisa berbahasa Inggris, meskipun hal ini tidak bisa dipastikan bahwa seluruh dari mereka mampu memahami bahasa Inggris.
Lewat video yang beredar di media sosial TikTok, Delawasha, seorang Rohingya yang memakai jersey klub Al-Nassr, tampak cakap berbicara bahasa Inggris.
Bahkan, ia bersama keluarganya berharap ingin menetap 100 persen di Indonesia karena dinilai sebagai negara dengan penduduk yang sangat baik.