tirto.id - Roy Suryo, eks Menteri Pemuda dan Olahraga resmi berstatus tersangka dalam kasus unggahan meme stupa Candi Borobudur mirip Presiden Joko Widodo. Hal ini dikonfirmasi Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes E. Zulpan.
“Hari ini Roy Suryo diperiksa sebagai tersangka,” ucap Zulpan saat dihubungi pada Jumat (22/7/2022).
Kasus yang menyeret Roy Suryo ini berawal dari unggahan konten foto stupa Candi Borobudur dengan muka Presiden Jokowi pada 10 Juni 2022. Roy mengunggah tiga foto dengan penjelasan sentilan saat berbicara soal rencana kenaikan harga tiket Candi Borobudur.
Unggahan Roy Suryo lantas menuai polemik. Usai memantik kegaduhan, Roy langsung menghapus konten tersebut. Ia pun mengklarifikasi lewat beberapa cuitan di akun Twitternya @KRMTRoySuryo2. Ia menjelaskan bahwa unggahan foto Jokowi adalah meme dari orang lain. Ia juga sudah mengajukan permintaan maaf kepada publik.
Namun, permintaan maaf Roy Suryo tak membuat persoalan selesai. Sebab, dua orang telah melaporkan Roy Suryo ke kepolisian. Pelapor pertama adalah Kurniawan Santoso. Pengaduan terdaftar dengan nomor LP/B/3042/VI/2022/SPKT/Polda Metro Jaya tanggal 20 Juni 2022. Pelaporan kedua dilakukan oleh Kevin Wu ke Bareskrim Polri dan terdaftar dengan nomor LP/B/0293/VI/2022/SPKT/BARESKRIM tanggal 20 Juni 2022.
Roy Suryo diduga melanggar Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45A UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan/atau Pasal 156A KUHP akibat tindakan tersebut.
Pasal yang disangkakan kepada Roy Suryo merupakan pasal yang kerap disebut sebagai “pasal karet,” baik pasal yang tertara dalam UU ITE maupun pasal penodaan agama di KUHP.
Berdasarkan data yang dikutip dari laman semuabisakena.id, salah satu laman yang menyoroti jumlah korban pasal UU ITE, angka tembus di atas seratus per tahun. Pada 2020 saja, total kasus mencapai 517 kasus. Khusus Pasal 28 ayat 2 yang pernah masuk penjara antara lain: Ratna Sarumpaet hingga mahasiswa Yogyakarta Florence Sihombing yang sempat viral pada 2014.
Kasus dengan penggunaan pasal penodaan agama pun tidak sedikit. Pasal ini sempat digunakan untuk memidanakan eks Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok hingga masuk bui. Rizieq Shihab juga pernah ditetapkan sebagai tersangka dalam pasal ini. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bahkan mencatat kasus dengan menggunakan pasal penodaan agama tembus 38 kasus selama periode Januari-Mei 2020.
Peneliti The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati menyayangkan bertambah lagi 'korban' dari penerapan UU ITE. Menurut Maidina, pemerintah seharusnya menggunakan metode pelaksanaan UU ITE karena berkaitan pasal yang bermasalah.
“Itu harusnya pakai pedoman implementasi, nggak bisa dalam konteks bukan kelompok rentan yang perlu dilindungi," kata Maidina, Jumat (22/7/2022).
Maidina juga menilai ujaran Roy Suryo tidak ada niat untuk menyulut permusuhan kelompok rentan atau umat beragama sehingga seharusnya penanganan dilakukan secara jelas.
Sementara itu, peneliti ELSAM, Parasurama Pamungkas memandang, politik hukum perumusan ujaran kebencian di Indonesia baik UU ITE maupun KUHP masih mempunyai persoalan. Hal tersebut tidak terlepas dari pengaturan asas hukum lex creta yang belum memenuhi sehingga tidak proporsional.
“Rumusan ujaran kebencian di Pasal 28 ayat (2) UU ITE saat ini belum memperhatikan standar Pasal 20 ICCPR mengenai hasutan kebencian yang di dalamnya terdapat beberapa pembatasan. Selain itu definisi antargolongan di pasal ini masih multitafsir sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum," kata Parasurama saat dihubungi reporter Tirto.
Parasurama menambahkan, "Seharusnya ujaran kebencian diatur untuk memitigasi perlakuan diskriminatif serta kekerasan terhadap kelompok masyarakat tertentu. Maka suatu konten harus dilihat niatnya, publik yang dituju, serta dampaknya apakah menyebabkan kekerasan dan diskriminasi. Sayangnya usulan revisi UU ITE dari pemerintah akhir 2021 lalu belum menunjukkan political will tersebut.”
Parasurama sebut, kondisi masalah UU ITE sama seperti penerapan Pasal 156 dan 157 KUHP. Ia menilai, rumusan pasal penodaan agama dalam KUHP tidak proporsional dan merugikan kelompok minoritas. Ia beralasan, rumusan pasal tidak jelas dan tidak ditujukan untuk melindungi kelompok diskriminasi dan kekerasan.
“Mestinya dari pengalaman pasal ini, RKUHP tidak mengulangi kesalahan tersebut dengan merumuskan pasal ujaran kebencian secara proporsional," kata Parasurama.
Parasurama juga menilai, masalah ITE tersebut berkaitan dengan RKUHP. Ia menilai pemerintah masih belum melihat dan mengevaluasi keberadaan pasal-pasal ujaran kebencian di UU ITE. Ia mencontohkan Pasal 302 RKUHP belum fokus pada perbuatan menghasut untuk melakukan diskriminasi, permusuhan, kekerasan sebagaimana Pasal 20 ICCPR.
“Konstruksi Pasal 302 RKUHP masih merumuskan perbuatan menyatakan kebencian atau permusuhan yang mana tidak jelas batasannya," tutur Parasurama.
Parasurama sebut, pengaturan perbuatan ujaran kebencian di ranah siber pada Pasal 303 RKUHP juga belum menunjukkan harmonisasi dengan UU ITE. “Pilihannya bisa saja RKUHP ini digunakan untuk mencabut pasal ujaran kebencian UU ITE yang sangat karet itu, dengan syarat bahwa pemerintah mau memfokuskan rumusan ujaran kebencian RKUHP untuk melindungi kelompok masyarakat tertentu dari diskriminasi dan kekerasan,” tutur Parasurama.
SKB Tidak Menjadi Solusi
Ahli hukum pidana Universtas Brawijaya, Fachrizal Affandi menilai, kedua pasal tersebut masih bermasalah. Ia pun menilai SKB tidak menjadi solusi untuk mencegah upaya kriminalisasi dalam penerapan UU ITE.
“Pasti bermasalah. Dari awal banyak, kan, perkara ada SKB tidak menjamin penerapannya jadi lebih strict karena memang desain rumusan karet," kata Fachrizal saat dihubungi reporter Tirto.
Fachrizal mengatakan, penerapan Pasal 28 ayat 2 menjadi persoalan karena unsur kebencian yang dibangun harus menciptakan keonaran. Keonaran pun harus dimaknai dengan adanya gangguan keamanan karena pasal tersebut konstruksinya lebih pada tindak pidana keamanan.
“Keamanan harus di dunia nyata, gangguannya itu kalau gangguan di dunia maya, enggak masalah. Trending (di media sosial) enggak masalah," kata Fachrizal.
Fachrizal juga menilai keberadaan Pasal 156a tentang penodaan agama juga bermasalah. Pasal ini sempat diuji ke Mahkamah Konstitusi, tetapi ditolak. Padahal, pasal tersebut sudah menjerat puluhan orang. Ia menilai, penerapan penghinaan kepada Buddha juga harus jelas dalam gambar stupa yang memuat muka Jokowi.
Oleh karena itu, Fachrizal menyarankan agar penyelesaian perkara bukan dengan menggunakan pendekatan pidana. Ia menyarankan penyelesaian hukum dilakukan dengan metode perdata seperti kasus Johnny Depp dan Amber Heard dengan pendekatan perdata dan biarkan kasus diselesaikan antara kedua belah pihak yang bersengketa.
“Serahkan pengaturan sengketa dengan warga itu sendiri," saran Fachrizal.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz