Menuju konten utama

Kasus Bahar Smith Jadi Tantangan Polri dalam Tegakkan SKB UU ITE

Fahmi menilai kasus Bahar Smith harus diselesaikan dengan aturan yang berlaku, termasuk sesuai dengan SKB pedoman penanganan UU ITE.

Kasus Bahar Smith Jadi Tantangan Polri dalam Tegakkan SKB UU ITE
Tersangka kasus penganiayaan anak di bawah umur Bahar Bin Smith berjalan setelah pelimpahan tahap dua dari pihak kepolisian kepada pihak kejaksaan di Kejaksaan Negeri Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Senin (4/2/2019). Polres Bogor dan Polda Jawa Barat menyatakan berkas Bahar Bin Smith telah lengkap atau P21. ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/aww.

tirto.id - Bahar bin Smith kembali berurusan dengan masalah hukum. Kali ini, Polda Metro Jaya menerima dua laporan terkait ujaran kebencian dengan terlapor Bahar. Hal ini dikonfirmasi Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes E. Zulpan.

“Jadi ada 2 laporan. Yang pertama tanggal 7 Desember yang bersangkutan dilaporkan bersama dengan saudara Eggi Sudjana ya. Kemudian yang kedua tanggal 17 Desember yang bersangkutan juga dilaporkan,” kata Zulpan, Selasa (21/12/2012).

Namun Zulpan tidak merinci konten maupun pasal dari kedua laporan. Saat ini, penyelidik masih mendalami dugaan pidana atau tidak dalam kedua laporan tersebut. Zulpan memastikan kedua laporan berkaitan ujaran kebencian.

“Dua-duanya sama ya yaitu terkait dengan hal terkait dengan ucapan atau pun kalimat, kata-kata yang bersifat permusuhan, kebencian yang bersifat SARA," kata Zulpan.

Lantas bagaimana 2 kasus Bahar Smith ini menjadi sorotan dan berujung pelaporan? Semua berawal ketika Bahar Smith dan Eggi dilaporkan oleh Ketua Cyber Indonesia Husin Shihab. Husin mengacu pada pernyataan Bahar dan Eggi dalam video berjudul 'SEMAKIN P4NAS...EGGI SUDJANA: JENDRAL DUDUNG HARUS DI PID4NA & HABIB BAHAR TUNTASKAN KEB0D0HAN INI' yang diunggah oleh akun Youtube Revolusi Akhlak. Ia melapor karena ujaran Eggi memelintir omongan KSAD Jenderal Dudung Abdurrachman.

“Bahwa Eggi Sudjana dalam podcast akun Youtube Revolusi Akhlak berupaya memelintir bahasa Pak Dudung yang menyebut Tuhan bukan orang Arab seolah-olah Pak Dudung menyetarakan Allah SWT dengan manusia,” ujar Husin Shihab kepada wartawan, Senin (20/12/2021).

Bahar, dalam video tersebut juga memelintir pernyataan Dudung dengan menyebut Dudung menyamakan Tuhan dengan manusia. Padahal, kata Husin, Dudung tidak berniat menyamakan Allah dengan manusia atau tidak mau berdoa dengan bahasa Arab. Hal itu dalam pandangan Husin sudah termasuk delik pidana.

“Mereka berdua telah berbohong di hadapan publik yang mana hal ini menyesatkan. Mereka sudah berhasil menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan antar-individu dan/atau kelompok berdasarkan SARA," kata Husin.

Sementara itu, pelaporan kedua berkaitan dengan ujaran berita bohong dan SARA yang disampaikan oleh Bahar Smith. Husin mengutip soal klaim Bahar bin Smith bahwa habib dan ulama bikin maulid dipenjara.

“Laporan kedua mengenai SARA dan penyebaran berita bohong karena si Bahar bilang masa seorang habib, ulama bikin maulid penjara. Padahal habib-habib yang lain enggak dipenjara, habib-habib yang lain bikin maulid, kan, tapi gak dipenjara. Cuman Habib Rizieq doang. Gak ada sejarahnya mulai dari Nabi Adam. Itu kan berita bohong,” kata Husin dalam keterangan, Senin (20/12/2021).

Husin pun menyinggung klaim Bahar bahwa ada 16 anggota FPI dicopot kukunya, dibakar kemaluannya. Hal tersebut, kata Husin, disampaikan Bahar lewat sebuah video dan konten video tersebut dianggap konten SARA.

Pengacara Bahar Smith Harap Ada Tabayyun

Aziz Yanuar, tim kuasa hukum Bahar Smith meminta agar semua pihak tidak asal langsung lapor polisi. Ia menuturkan pihak kuasa hukum sudah mengetahui permasalahan yang dilaporkan. Kini, mereka tengah membahas upaya hukum dalam penyelesaian kasus yang menyeret Bahar ini.

Namun, kata dia, tim kuasa hukum ingin agar sikap tabbayun dan persatuan dikedepankan dalam pelaporan ke polisi. Ia ingin ada dialog.

“Jika sama separatis, pembunuh, pemerkosa dan perusuh kita bisa mengedepankan dialog dan semangat persaudaraan,maka seharusnya sesama anak bangsa yang cinta NKRI, masih di pulau yang sama bisa dialog dengan semangat persaudaraan pula,” kata Aziz kepada reporter Tirto, Selasa (21/12/2021).

Aziz menambahkan, “Sesama anak bangsa mengedepankan dialog dan tabayyun.”

Aziz pun menekankan permintaan keadilan dalam proses hukum yang mengarah kepada Bahar. Ia menilai masih ada ketidakadilan proses hukum karena banyak tokoh yang dilaporkan kelompok FPI dan Bahar seperti kasus Ade Armando, Arya Permadi hingga Denny Siregar tidak kunjung diproses polisi.

Aziz mengaku, pihak Bahar belum menerima surat permohonan klarifikasi atas permohonan tersebut. “Belum [surat permohonan panggilan klarifikasi dari kepolisian]” tutur Aziz.

Kasus Bahar Jadi Tantangan Polri dalam Tegakkan SKB UU ITE

Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai kasus Bahar Smith harus diselesaikan dengan aturan yang berlaku. Ia pun menilai polisi punya kewajiban untuk menerima setiap laporan dan memproses sesuai ketentuan perundangan, termasuk sesuai dengan SKB pedoman penanganan UU ITE.

“Artinya sesuaikan saja dengan aturan dan SKB yang sudah ada. Jangan nggak konsisten dan lagi pula ya urusan Bahar ini urusan orang cari panggung,” kata Fahmi kepada reporter Tirto, Selasa (21/12/2021).

Fahmi menilai Polri tidak boleh pilah-pilih laporan. Namun laporan yang diterima harus diverifikasi apakah laporan tersebut memenuhi syarat atau tidak untuk diproses. Apabila tidak, polisi harus berani tegas dengan menyatakan laporan tersebut tidak sesuai kriteria dan meminta pelapor memenuhi laporan.

Sebagai contoh, SKB mengatur bahwa pelapor pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE harusnya korban. Dengan kata lain, Dudung secara pribadi harus turun tangan dan melapor ke kepolisian jika memang pasal yang diduga dilanggar Bahar adalah pasal pencemaran nama baik.

“Jadi tugas polisi itu menegakkan hukum, kalau ada yang melanggar hukum harus diproses. Soal keadilan bukan urusan polisi, soal keadilan itu urusan pengadilan," tutur Fahmi.

Fahmi menambahkan, “Jadi memang sebaiknya polisi juga proporsional dan memperlakukan sama setiap laporan. Jangan sampai jadi viral dulu baru diproses.”

Oleh karena itu, Fahmi tidak memungkiri bahwa kasus Bahar akan menjadi tantangan baru bagi polisi untuk bertindak sesuai aturan setelah terbitnya SKB Menteri soal UU ITE.

“Ini ujian bagi polisi untuk menegakkan aturan main yang sudah disepakati, yang sudah ditetapkan,” kata Fahmi.

Direktur Eksekutif ELSAM Wahyudi Djafar mengingatkan bahwa penjeratan pidana UU ITE harus melihat konteks di ruang digital. Sebagai contoh, penjeratan Pasal 27 ayat 3 UU ITE karena ada aksi individu yang mencemarkan nama baik seseorang.

Kemudian apabila ada muatan ancaman dalam konten digital dapat dijerat Pasal 27 ayat 4 UU ITE. Jika konten yang disampaikan terkait dengan ujaran kebencian yang berlatar SARA, maka acuannya ke 28 ayat 2 karena 28 ayat 1 itu terbatas hanya terkait dengan transaksi elektronik.

Wahyudi mengaku belum melihat detail objek yang dipersoalkan dalam kasus Bahar. Akan tetapi, penerapan pasal yang dilakukan aparat kepada Bahar harus sesuai dengan unsur pasal dan dapat dibuktikan dengan jelas.

“Ini harus clear dilihat karena memang membuktikan unsur-unsur yang ada di dalam ketentuan UU ITE itu kan elemennya harus melihat kepada ketentuan yang ada di KUHP. Misalnya begini, wah ini masuk pidana ujaran kebencian misalnya. Ya harus kita lihat apakah betul unsur-unsurnya terpenuhi,” kata Wahyudi kepada reporter Tirto.

Wahyudi pun menegaskan, unsur-unsur yang sudah terpenuhi bukan berarti aparat langsung memidanakan Bahar Smith. Polri harus melihat secara spesifik apakah ujaran Bahar adalah sebagai ekspresi pribadi atau memang mengarah pada hate speech atau pidana lain dalam UU ITE.

Sebagai contoh polisi meyakini ujaran Bahar melanggar Pasal 156 atau 157 KUHP atau Pasal 28 ayat 3 UU ITE. Aparat harus melihat tingkat keparahan ujaran kebencian Bahar misalnya pengaruh para pengikut dalam mengikuti pernyataan Bahar, gaya bahasa Bahar, konteks bahasa Bahar kepada pengikutnya, hingga niat ujaran Bahar kepada pengikutnya, kata dia.

“Jadi penegak hukum sudah bisa memperkirakan kalau si tokoh ini yang berbicara konteksnya seperti ini, niatnya seperti ini dan kemudian ujarannya seperti itu, kira-kira dampak yang akan terjadi pada kelompok atau golongan tertentu biasanya minoritas berdasarkan SARA seperti apa," kata Wahyudi.

Bagi Wahyudi, penyelesaian kasus Bahar akan menjadi tantangan bagi kepolisian. Ia beralasan, penentuan kasus Bahar harus mengikuti ketentuan SKB penerapan UU ITE mengingat medium pernyataan kontroversial Bahar di dunia digital.

“Apakah ini akan menjadi ujian? Ya tentu bagaimana kemudian kepolisian bisa memilah secara baik, secara detail apakah betul dia kasus ini memenuhi unsur-unsur apakah sebagai pencemaran nama baik, apakah sebagai ujaran kebencian atau tidak, itu dengan mengacu kepada kalau sekarang tadi acuannya ada SKB," kata Wahyudi.

Namun Wahyudi meminta polisi tidak menyelesaikan kasus Bahar dengan mengedepankan pemidanaan. Ia mengingatkan pemidanaan bersifat ultimatum remidium atau upaya terakhir sehingga upaya mediasi harus dikedepankan dalam kasus Bahar.

“Lepas dari apa pun nanti hasil akhirnya apakah dianggap memenuhi kualifikasi pencemaran nama baik atau ujaran kebencian, kalau misalnya masih dimungkinkan untuk proses-proses di luar pemidanaan misalnya melakukan klarifikasi dan permintaan maaf, ya itu sudah cukup meskipun juga karena dia penceramah publik itu kan juga harus dilihat track record-nya tadi juga menentukan tindakan dia sifatnya terus menerus atau tidak," kata Wahyudi.

Baca juga artikel terkait KASUS BAHAR SMITH atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz