tirto.id - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memutuskan menaikkan cukai rokok atau cukai hasil tembakau rata-rata naik 12 persen. Kebijakan tersebut dilakukan untuk menekan konsumsi rokok di dalam negeri.
Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2021, konsumsi rokok merupakan pengeluaran kedua tertinggi masyarakat miskin di perkotaan dan perdesaan setelah beras.
Dilihat dari total pengeluaran, konsumsi rokok mencapai 11,9 persen di perkotaan dan 11,24 persen di perdesaan. Sri Mulyani menilai konsumsi rokok yang tinggi di kalangan masyarakat bawah merupakan salah satu faktor yang membuat masyarakat Indonesia menjadi miskin.
“Sehingga rokok menjadikan masyarakat menjadi miskin,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers Senin (13/12/2021).
Rokok tentu bukan satu-satunya pemenyebab kemiskinan seperti yang disebut Sri Mulyani. Ada komponen lain yang menyebabkan kemiskinan seperti krisis ekonomi, kenaikan harga pangan sampai inflasi turut menjadi faktor lain yang membuat masyarakat menjadi miskin.
Namun, tak dapat dipungkiri bahwa konsumsi rokok cukup memberikan pengaruh pada perekonomian rumah tangga yang bisa memberi sumbangan besar pemicu kemiskinan.
BPS pernah membuat kajian yang mengulas kaitan antara rokok dan kemiskinan. Dalam kajiannya, BPS mengungkap bahwa rokok memiliki porsi terbesar kedua setelah beras dalam komponen pengeluaran keluarga.
Penghitungan kemiskinan BPS mengacu pada pendekatan kebutuhan dasar. Komponen kebutuhan dasar ini terdiri dari kebutuhan makanan dan bukan makanan yang disusun menurut daerah perkotaan dan perdesaan yang diambil dari hasil Susenas. Dengan pendekatan ini, kemiskinan merupakan ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran, yang kemudian batasan dari sisi pengeluaran inilah disebut sebagai Garis Kemiskinan.
Garis Kemiskinan (GK) terdiri dari garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan non makanan (GKMN). Dalam menentukan GKM, perlu ditentukan penduduk referensi. Penduduk referensi adalah 20% penduduk yang berada di atas garis kemiskinan sementara (GKS). GKS diperoleh dari GK periode sebelumnya dan di-inflate dengan inflasi tahun berjalan.
GKM adalah jumlah nilai pengeluaran dari 52 komoditi dasar makanan (termasuk di dalamnya beras, daging, telur, rokok) yang riil dikonsumsi penduduk referensi, kemudian disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita/hari.
Misalnya untuk memenuhi kebutuhan 52 komoditi tersebut perlu dikeluarkan Rp300.000, dan total kalori yang didapat dari 52 komoditi tersebut adalah 1500 kilokalori. Artinya, setiap memenuhi 1 kilokalori diperlukan uang sebesar Rp200 dan untuk memenuhi 2100 kilokalori berarti dibutuhkan uang senilai Rp420.000. Maka didapatlah GKM saat ini adalah Rp420.000.
Setelah menghitung GKM, kita juga perlu menghitung GKNM. GKNM merupakan penjumlahan nilai kebutuhan minimum dari komoditi non-makanan terpilih yaitu perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.
Penjumlahan GKM dan GKNM inilah yang kemudian menjadi GK. Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita/bulan dibawah GK dikategorikan sebagai penduduk miskin. Setelah diperoleh penduduk miskin, ini kemudian dilihat lagi pola konsumsinya dari modul konsumsi Susenas.
Pada tahap inilah dapat terlihat share masing-masing komoditi, baik makanan maupun non-makanan terhadap garis kemiskinan. Seperti kita ketahui, bahwa rokok memiliki share terbesar kedua setelah beras baik di pedesaan maupun perkotaan.
“Ketika seseorang yang dikatakan miskin ini mengkonsumsi rokok, ada kemungkinan ia menjadi tidak miskin apabila mengalihkan pengeluarannya untuk rokok menjadi pengeluaran untuk komoditi makanan yang memiliki kilokalori,” demikian analisa BPS seperti dikutip Tirto, Kamis (16/12/2021).
Jika merunut pada rilis kemiskinan yang dilansir BPS, dengan sumbangan rokok pada GKM sebesar 8,08% (perkotaan) dan 7,68% (pedesaan), maka memang jelas dapat dikatakan orang yang dikategorikan miskin ternyata banyak yang mengkonsumsi rokok. Bukan berarti orang yang tidak miskin tidak merokok, tetapi bagi mereka share pengeluaran rokok ini sangatlah kecil dibandingkan pengeluaran untuk barang-barang mewah lainnya.
Pada 2015 saja, dari hasil Susenas, dapat dilihat bahwa penduduk berusia 15 tahun ke atas yang mengkonsumsi rokok sebesar 22,57 persen di perkotaan dan 25,05 persen di pedesaan. Rata-rata jumlah batang rokok yang dihabiskan selama seminggu mencapai 76 batang di perkotaan dan 80 batang di pedesaan.
Kenaikan Cukai Tak akan Banyak Berpengaruh pada Komsumsi Rokok?
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, kebijakan pemerintah untuk menaikkan cukai rokok sampai rata-rata 12 persen tidak akan banyak berpengaruh pada tingkat konsumsi rokok di dalam negeri. Sebab, banyak orang memilih untuk menekan pengeluaran lain demi menutup kebutuhan untuk merokok.
“Sebetulnya penggunaan rokok itu tidak sensitif terhadap tarif cukai. Jadi artinya tarifnya rendah, tarifnya tinggi. Ternyata tetap penggunaannya itu tidak terlalu banyak berubah. Kalau tarifnya dinaikkan bukannya malah mengurangi konsumsi rokok, tapi malah mengurangi penggunaan atau pengeluaran yang lain. Jadi malah akan menyulitkan lagi yang lain,” kata dia kepada reporter Tirto, Jumat (17/12/2021).
Sementara Deputi Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto mengatakan, kebiasaan merokok untuk kalangan menengah ke bawah memang memicu kemiskinan. Kasus ini berbeda jika perokok adalah masyarakat kelas menengah ke atas.
“Kalau orang kelas menengah mengkonsumsi rokok itu, kan, dalam keranjang konsumsi, dia kan enggak masuk satu dua besar ya. Soalnya konsumsinya meskipun besar tetap lebih besar konsumsi yang lain. Kan dia makannya beras premium, udah lebih tinggi harganya. Kemudian juga penggunaan produk-produk yang lain, kesehatan. Jadi ketika di-counting dalam survey, itu dia [rokok] enggak masuk dalam 5 besar konsumsi utama,” kata dia saat dihubungi reporter Tirto.
Ia menjelaskan, kondisi ini cukup dipahami karena seluruh masyarakat miskin tetap ditunjang kesehatannya oleh pemerintah melalui BPJS Kesehatan. Adapun menurut kajian Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) pada 2021, biaya kesehatan akibat merokok tercatat sebesar Rp17,9-27,7 triliun setahun.
Dari total biaya ini, terdapat Rp10,5 – Rp15,6 triliun yang merupakan biaya perawatan yang dikeluarkan BPJS Kesehatan. Biaya tersebut setara dengan 20-30 persen dari besaran subsidi Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) per tahun sebesar Rp48,8 triliun yang dikeluarkan oleh APBN.
Pemerintah berkomitmen terus menekan konsumsi rokok, khususnya perokok anak-anak. Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah menargetkan prevalensi merokok anak Indonesia usia 10-18 tahun turun minimal menjadi 8,7 persen pada 2024.
Kebijakan kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) adalah bagian dari upaya mencapai target ini, guna mendorong peningkatan kualitas kesehatan masyarakat sekaligus peningkatan produktivitas SDM ke depannya.
Strategi untuk menaikkan harga rokok di 2020 juga pernah dilakukan. Hasilnya kebijakan CHT tersebut telah efektif menekan konsumsi rokok, tercermin dari turunnya konsumsi rokok di tahun 2020 sebesar 9,7% dari tahun sebelumnya seiring dengan meningkatnya indeks kemahalan rokok sebesar 12,6 persen.
“Konsumsi terbesar setelah beras itu rokok itu benar, sehingga bagi sebagian besar secara umum katakanlah mungkin ada dampak-dampak kesehatannya. Sehingga, sudah miskin kok malah menghabiskan uangnya sama rokok. Sementara buat menjaga kesehatannya dia kan bantalannya banyak. Itu mungkin kenapa pernyataan rokok bikin miskin itu muncul,” kata Eko.
Eko menjelaskan, di sisi lain alasan pemerintah untuk menaikkan cukai rokok bukan soal kesehatan saja. Namun juga ingin meningkatkan pendapatan negara melalui cukai rokok. Adapun target penerimaan cukai rokok pada 2021 sebesar Rp 173,78 triliun. Angka ini naik 5,35% dari target 2020 sebesar Rp 164,94 triliun.
Kemudian dengan adanya kebijakan ini, kata dia, pemerintah menargetkan penerimaan cukai rokok pada 2022 bisa mencapai Rp193 triliun. Angka tersebut sekitar 10 persen total penerimaan negara.
“Di sisi lain dia punya peran. Industri tembakau sampai saat ini menjadi salah satu bantalan juga, itu enggak bisa dipungkiri ya terlepas dari kontroversi bahwa ini memang mengganggu Kesehatan, tapi di sisi tenaga kerja yaitu dampaknya juga besar. Sebetulnya memang alasan paling riil, ya memang karena pendapatan kita lagi turun ya,” kata Eko.
Pengusaha Rokok Kretek Wanti-Wanti Naiknya Sebaran Rokok Ilegal
Para pengusaha rokok kretek yang tergabung dalam Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) memprotes kebijakan pemerintah menaikkan tarif cukai pada 2022. Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wahyudi sebut, ada yang perlu dikhawatirkan ketika pemerintah menaikkan tarif cukai rokok tahun depan. Saat kondisi ekonomi belum pulih dan kebutuhan masyarakat akan rokok harus dterpenuhi. Ancaman maraknya rokok ilegal di pasar akan semakin terasa.
“Dengan kondisi begini di tengah daya beli masyarakat lemah munculah pengalihan produk dari yang legal ke rokok yang ilegal apalagi sanksi bagi kegiatan rokok ilegal kan relatif hanya perdata, ya denda,” kata Benyy kepada reporter Tirto, Kamis (16/12/2021).
Ia menambahkan, “Jelas kami rugi pasti produksi rokok turun. Khususnya produksi rokok putih kan tarifnya lebih tinggi, artinya berapa ya naik sekitar 15 persen. Jadi jelas produksinya turun, jadi tahun lalu saja juga sudah turun dibandingkan tahun sebelumnya. Kemudian rokok ilegal marak, ya sudah,” kata Benyy.
Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) juga memprotes kebijakan pemerintah menaikan tarif cukai pada 2022. Koordinasi KNPK Azami Mohammad menilai keputusan pemerintah menjadi pukulan berat bagi pelaku usaha industri hasil tembakau (IHT) dari hulu hingga hilir. Ia mengatakan pemerintah seharusnya menghitung dampak pelemahan ekonomi akibat pandemi COVID-19.
“Pengendalian konsumsi menjadi alasan pemerintah dalam menaikkan tarif cukai, ini artinya industri ditekan melalui kebijakan tarif cukai yang tinggi sehingga tidak dapat tumbuh dan pelan-pelan mati," kata Azami dalam keterangan tertulis, Selasa (14/12/2021).
Menurut Azami, kebijakan tarif cukai 2022 akan berdampak pada pengurangan tenaga kerja dengan penurunan produksi hingga 3 persen. Ia menilai ini bertentangan dengan program pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang dicanangkan oleh pemerintah.
“Ada 990 orang yang bekerja di sektor IHT terkena imbas dari kenaikan tarif cukai rokok, bahkan bisa lebih banyak lagi, dikarenakan produksi menurun serta konsumsi menurun. Konsekuensinya adalah menekan harga bahan baku serta mengurangi tenaga kerja,” kata dia.
Di sisi lain, cukai rokok masih dibutuhkan oleh pemerintah dalam penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Cukai rokok menyumbang hingga 11 persen dari total penerimaan APBN.
“Pemerintah tidak punya nurani di tengah kondisi krisis seperti ini, malah justru menambah beban masyarakat. Daripada seperti ini terus, sekalian saja ilegalkan tembakau beserta produk turunannya,” kata Azami.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz