Menuju konten utama

Alasan Pemerintah Naikkan Cukai Rokok hingga 12 Persen Pada 2022

Keputusan menaikkan cukai rokok ini bertujuan untuk mengendalikan konsumsi rokok, khususnya di kalangan anak dan remaja.

Alasan Pemerintah Naikkan Cukai Rokok hingga 12 Persen Pada 2022
Ilustrasi Rokok. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memutuskan untuk menaikkan cukai rokok atau cukai hasil tembakau sebesar 12 persen. Kebijakan tersebut sah dan secara resmi berlaku pada 1 Januari 2022.

Sri Mulyani menjelaskan, keputusan untuk menaikkan cukai rokok sudah dikaji secara mendalam.

Keputusan ini bertujuan untuk mengendalikan konsumsi rokok, khususnya di kalangan anak dan remaja. Kenaikan tersebut bukan hanya mempertimbangkan isu kesehatan, namun juga memperhatikan perlindungan petani buruh, dan industri rokok.

"Pak Presiden memberi arahan 10 persen hingga 12,5 persen. Kami tetapkan di 12 persen," jelas dia dalam konferensi pers, Senin (13/12/2021).

Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, 9 dari 100 anak di Indonesia masih merokok. Jumlah ini termasuk yang tertinggi di Kawasan Asia.

Berbagai riset dan kajian telah membuktikan berbagai kerugian yang timbul akibat tingginya konsumsi rokok.

Selain menjadi faktor risiko kematian terbesar kedua di Indonesia menurut Institute of Health Metrics and Evaluation (IHME) pada 2019, konsumsi rokok juga meningkatkan risiko stunting dan memperparah dampak kesehatan akibat Covid-19.

Selain mengancam kesehatan, rokok juga memperburuk taraf sosial-ekonomi keluarga Indonesia, khususnya keluarga miskin.

Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2021, konsumsi rokok merupakan pengeluaran kedua tertinggi masyarakat miskin di perkotaan dan perdesaan setelah konsumsi beras.

Dilihat dari total pengeluaran, konsumsi rokok mencapai 11,9 persen di perkotaan dan 11,24 persen di perdesaan.

"Sehingga rokok menjadikan masyarakat menjadi miskin," jelas dia.

Angka tersebut hanya lebih rendah dari konsumsi beras dan bahkan lebih tinggi dibandingkan pengeluaran untuk protein seperti daging, telur, tempe, serta ikan.

Menurut Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia, 1 persen peningkatan pengeluaran untuk rokok juga meningkatkan kemungkinan rumah tangga menjadi miskin sebesar 6 persen.

Kerugian akibat konsumsi rokok juga merambat ke perekonomian dan keuangan negara. Di samping menimbulkan kerugian jangka panjang bagi perekonomian, rokok juga berdampak langsung pada kenaikan biaya kesehatan.

Menurut kajian Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) pada 2021, biaya kesehatan akibat merokok tercatat sebesar Rp17,9 hingga Rp27,7 triliun setahun.

Dari total biaya ini, terdapat Rp10,5 – 15,6 triliun yang merupakan biaya perawatan yang dikeluarkan BPJS Kesehatan. Biaya tersebut setara dengan 20-30 persen dari besaran subsidi Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) per tahun sebesar Rp48,8 triliun yang dikeluarkan oleh APBN.

Pemerintah berkomitmen terus menekan konsumsi rokok, khususnya perokok anak-anak. Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah menargetkan prevalensi merokok anak Indonesia usia 10-18 tahun turun minimal menjadi 8,7 persen di tahun 2024.

Kebijakan Cukai Hasil Tembakau (CHT) adalah bagian dari upaya mencapai target ini, guna mendorong peningkatan kualitas kesehatan masyarakat sekaligus peningkatan produktivitas SDM ke depannya.

Hal ini mengingat bahwa konsumsi rokok terutama di kalangan anak sangat dipengaruhi oleh harga rokok. Kebijakan CHT selama ini telah efektif menekan konsumsi rokok, tercermin dari turunnya konsumsi rokok di tahun 2020 sebesar 9,7% dari tahun sebelumnya seiring dengan meningkatnya indeks kemahalan rokok sebesar 12,6 persen.

Baca juga artikel terkait CUKAI ROKOK NAIK atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Nur Hidayah Perwitasari