Menuju konten utama

Membongkar Klaim Kesehatan Rokok Elektronik

Klaim vape "95 persen lebih aman" dibanding rokok bakar hanya berdasarkan asumsi semata.

Membongkar Klaim Kesehatan Rokok Elektronik
Pengguna Vape di salah satu Vape Store Jakarta. TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - Produk-produk baru hasil olahan tembakau biasanya diklaim lebih aman dibandingkan pendahulunya, dari mulai rokok putih (mild)hingga rokok elektronik atau vape. Namun sebenarnya tak ada yang benar-benar sehat dari komoditas tersebut.

Di awal kemunculannya, industri rokok putih mengusung jargon “lebih rendah nikotin dan tar”. Mereka menyusup ke pasar rokok bakar dengan label kesehatan “lebih rendah risiko”, rasa “light”, dan citra feminin dengan membikin iklan-iklan dengan model perempuan. Slogan pemasaran yang disebut terakhir dimunculkan karena pasar keretek memang menyasar konsumen pria. Industri rokok putih melihat ada ceruk pasar di kelompok konsumen perempuan.

Kini industri vape seperti hendak mengulang sejarah dengan trik serupa. Mereka mencitrakan diri lebih sehat, modern, dan lebur gender.

Produsen electronic nicotine delivery systems (ENDS) dan heated tobacco products (HTP)–produknya seperti vape dan e-cigarettes, dengan merek macam IQOS dan Juul–menyebut barang jualan mereka sebagai produk tembakau alternatif yang diklaim 95 persen lebih aman dibandingkan rokok bakar. Kata mereka, toksisitas itu berasal dari tar, residu yang dihasilkan dari proses pembakaran tembakau. Sementara nikotin tak berbahaya karena terdapat juga dalam bahan-bahan makanan seperti terung atau tomat. Pemikiran deduktif kelompok provape meyakini asal tidak dibakar, tembakau aman dikonsumsi.

“Orang-orang merokok untuk nikotin tetapi mereka mati karena tar,” begitulah pembelaan populer kelompok ini, mengutip pernyataan Michael Russell, psikolog yang dijuluki sebagai bapak teori pengurangan bahaya tembakau dan pengembang permen nikotin.

Untuk membuktikan secara kasat mata bahwa paru-paru vapers (pengguna vape) lebih bersih daripada perokok, kelompok provape di Indonesia sempat membuat kampanye pamer rontgen dada serentak di Jakarta, Bekasi, Tangerang, Riau, Medan, dan kota-kota besar lain.

Mereka juga terus menggalang dukungan lewat petisi Gerakan Bebas Tar dan Asap Rokok (GEBRAK!). Per 10 Agustus 2021, petisi sudah ditandatangani oleh 27,8 ribu dari target 35 ribu.

Kalau dibaca sekilas, gerakan ini terlihat menentang rokok. Tapi saat didalami, petisinya meminta regulasi ENDS dibedakan dengan rokok konvensional. Dengan kata lain, berharap diistimewakan.

Upaya paling pamungkas untuk melegitimasi vape sebagai produk alternatif tembakau adalah membuat riset mandiri tentang keamanan ENDS.

Bias 95 Persen Lebih Aman

Sebagai awam, kampanye-kampanye kelompok provape di atas terlihat tepat dan meyakinkan. Namun sebenarnya semua itu hanya trik bisnis belaka.

Mari menguliti satu per satu klaim mereka, dimulai dari jargon “95 persen lebih aman dibandingkan rokok bakar”.

Pernyataan itu mencatut studi bertajuk “Estimating the Harms of Nicotine-Containing Products Using the MCDA Approach” (2014). Di sana redaksi memberikan catatan bahwa salah satu penulis, Karl-Olov Fagerström, memiliki potensi konflik kepentingan karena terafiliasi dengan Nicoventures, perusahaan yang dibuat oleh British American Tobacco (BAT) pada 2010. “Perusahaan ini memproduksi produk berhenti merokok, salah satunya rokok elektronik,” tulis editorial jurnal.

Kami meminta Beladenta Amalia, peneliti doktoral dari Tobacco Control Unit, Bellvitge Biomedical Research Catalan Institute of Oncology University de Barcelona Spanyol, untuk mengulik kelemahan jurnal ini. Katanya, studi yang dilakukan pada 2013 tersebut punya validitas paling rendah dalam hierarki metode penelitian. “Metodenya berdasar opini panelis. Jadi peneliti meminta panelis mengurutkan peringkat resiko dari 12 produk tembakau sebatas pengetahuan mereka. Ini jelas ada potensi bias,” kata Bela kepada Tirto, Rabu (21/07/2021).

Diurutkan berdasarkan tingkat validitasnya, metode penelitian tersusun dari metaanalisis, uji acak terkontrol (randomized controlled trial), observasi, baru kemudian opini ahli. Opini ahli berada di urutan terendah karena memiliki bukti lemah, namun mudah dan cepat memberikan hasil.

Studi garapan David Nutt, dkk. itu mendefinisikan 14 kriteria bahaya dari beragam jenis produk tembakau. Tujuh kriteria mewakili bahaya bagi pengguna, dan sisanya merepresentasikan bahaya bagi orang lain. Hasilnya, rokok bakar berada di urutan produk paling berbahaya, dan ENDS urutan kedelapan.

Masalahnya, peneliti melakukan studi ketika ENDS tergolong masih barang anyar. Jarak waktu penelitian dengan pertama kali rokok elektrik diluncurkan (2007) hanya lima tahun saja. Walhasil, produk ENDS saat itu belum mendapat banyak sorotan.

“Jadi hasil ENDS ‘95 persen lebih aman’ dari studi ini bukan berdasar eksperimen, tapi kesepakatan mereka,” ungkap Bela. “Subjektif sekali karena hasilnya bergantung pada kecenderungan panelis.”

Russel Didanai Industri Rokok Raksasa

Mari beralih ke klaim berikutnya dari Michael Russell, si bapak teori pengurangan bahaya tembakau. Russell cenderung menyalahkan tar atas bahaya buruk rokok, sementara tidak untuk nikotin.

Kelompok provape selalu mencatut klaim ini dalam setiap argumen, misalnya diungkapkan Amaliya, peneliti dari Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik Indonesia (YPKP). “Nikotin murni tak bermasalah. Yang masalah zat sampah, yakni tar, yang muncul setelah ia dibakar,” katanya kepada Tirto pada 2017 lalu. Singkatnya, mereka berargumen selama tembakau tidak dibakar maka ia tidak berbahaya.

Masalahnya, penelitian ini didanai British American Tobacco (BAT) dan Russell menerima menerima 55 ribu pound sterling untuk menguji nikotin pada rokok rendah tar (1979). Hal ini tak pernah disingkap kelompok provape. Logika sederhana saja, bagaimana mungkin studi ini jadi landasan keamanan nikotin sementara raksasa industri rokok kelas dunia yang membiayainya?

Pun setelahnya banyak studi memberikan antitesis. Riset-riset menemukan bahwa nikotin sangat adiktif, meningkatkan risiko gangguan kardiovaskular, pernapasan, pencernaan, reproduksi dan perinatal, menekan respons imun, bersifat karsinogen, oksidatif, apoptosis, membikin DNA bermutasi, memicu tumor, serta metastasis.

Orang memang cenderung mendengar apa yang mau mereka dengar dan melihat apa yang mereka mau lihat. Lebih mudah menukil opini yang selaras dengan kehendak dan tujuan kita dibanding mencari studi valid di belantara jurnal pertembakauan dunia.

Lubang Besar Penelitian YPKP

Jika dua klaim tadi mencatut sitasi dari luar, maka YPKP bisa dibilang progresif–jika tak mau disebut ngoyo–karena membikin studi mandiri terkait klaim kesehatan ENDS.

Achmad Syawqie, periset YPKP sekaligus guru besar Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjajaran (Unpad), memaparkan hasil studi tersebut dalam Asia Harm Reduction Forum (AHRF), pungkasan Juni 2021 lalu. Riset bertajuk “The Genotoxic Potential of Electronic Cigarettes on Micronucleus Count: A Preliminary Studyyang terbit di International Journal of Clinical Dentistry (2021) ini melibatkan 15 responden mantan perokok yang beralih ke rokok elektrik minimal satu tahun, 20 responden perokok, dan 20 responden nonperokok. Tujuan penelitian adalah membandingkan potensi genotoksik pada mukosa bukal di rongga mulut. Sederhananya, melihat risiko perkembangan sel kanker mulut.

Hasil penelitian menunjukkan jumlah inti sel kecil pada pengguna rokok elektrik dengan nonperokok dua kali lebih rendah dibanding perokok aktif. “Sehingga potensi karsinogenik pada perkembangan jaringan epitel di rongga mulut juga lebih rendah,” papar Syawqie dalam presentasi virtualnya.

Kami kembali meminta Beladenta berkomentar. Menurutnya penelitian tersebut memiliki beberapa kelemahan, terutama soal kriteria responden dan sampel. Tak ada penjelasan soal umur responden, berapa lama mereka menggunakan sampel produk, jumlah konsumsi harian, dan jenis/merek produk tembakau yang digunakan.

Bela juga mengatakan klaim penelitian tersebut hiperbolis. Tak ada klaim keterbatasan dan kekuatan penelitian yang idealnya terdapat pada hasil studi. Subjek (responden) penelitian juga tergolong kecil sehingga variabilitasnya besar. Relasi variabilitas berbanding terbalik dengan hasil, semakin kecil variabilitas maka semakin bagus kualitas hasil penelitian.

Kemudian, “peringkat jurnal ini di Scopus ada di urutan 104 dari 111.” “Memang lebih mudah publish di jurnal yang belum terlalu terkenal,” katanya.

“Kesimpulan studi tersebut juga mengatakan bahwa keamanan produk harus dilihat dari dampak jangka panjang,” katanya. Artinya, menurut penelitian itu sendiri, untuk saat ini belum ada jaminan keamanan dari produk ENDS.

Infografik Klaim Kesehatan Vape

Infografik Klaim Kesehatan Vape. tirto.id/Fuad

Ketua Umum Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) Sri Hananto Seno ikut mengomentari penelitian ini. Menurutnya, risiko penggunaan produk tembakau tidak bisa dilihat secara tunggal pada mukosa mulut saja karena kompleksitas tubuh manusia, apalagi konsentrasi asap rokok elektrik berbeda dengan rokok bakar. Bisa jadi risiko besar terdapat di lidah, gusi, tenggorokan, paru, atau organ lain. Baginya sebuah penelitian baru bisa dibilang apple to apple jika konsentrasi produknya setara.

“Tidak ada bedanya [bahaya] antara rokok bakar dengan vape,” terang Seno saat dihubungi Tirto, Rabu (21/07/2021).

Atas dasar itu pula Seno memastikan PDGI “tidak merekomendasikan keduanya.” Sementara soal posisi Syawqie yang nampak kontradiktif karena merupakan profesional di pendidikan kedokteran gigi tapi mendukung vape, dia berujar, “biarkan, usaha mereka itu hanya mau membenarkan diri sendiri saja.”

PDGI sebelumnya pernah diklaim menjadi anggota Koalisi Indonesia Bebas Tar (KABAR) secara sepihak, kelompok yang dibentuk dari beberapa organisasi pendukung ENDS. Namun kemudian nama PDGI dihapus dari situs KABAR. Saat ini koalisi hanya terdiri dari dua anggota: YPKP dan Perhimpunan Dokter Kedokteran Komunitas dan Kesehatan Masyarakat Indonesia (PDK3MI).

Badan Kesehatan dunia (WHO) juga masih menyangsikan kemampuan produk tersebut sebagai produk peralihan berhenti merokok.

Ringkasnya, tidak ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa ENDS dan HTP kurang berbahaya dibanding rokok konvensional. Karena itu pula memercayai risiko kesehatan vape atau produk ENDS/HTP lain lebih rendah dibanding rokok konvensional adalah sesat pikir yang nyata.

Baca juga artikel terkait VAPE atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Rio Apinino