tirto.id - Molière, dalam Dom Juan ou le Festin de Pierre, drama buatannya yang masyhur, membuka babak satu dengan puja-puji terhadap tembakau dan merokok. Baginya, merokok adalah ciri orang berbudaya. Semua gentlemen, kata Moliere, merokok. Dengan gaya komedi khasnya, dia tak urung meledek: kalau ada pria yang tak merokok, apa pula guna hidup mereka?
“Tak peduli apa yang dibilang Aristoteles dan para filsuf, tak ada yang bisa disandingkan dengan keluhuran tembakau,” tulis Moliere.
Mungkin di abad 21, Moliere akan garuk-garuk kepala melihat dunia berputar 180 derajat. Apa boleh buat: tembakau, nikotin, dan rokok tak lagi berada di posisi adiluhung seperti ketika pria Paris itu menulis Dom Juan pada 1665 dan menyebut bahwa rokok bisa “...bikin kepala ringan dan membuatmu jadi orang yang lebih baik.”
Setelah berbagai kampanye perang terhadap nikotin dan rokok yang gencar digaungkan oleh kelompok anti tembakau, para produsen rokok mencari cara agar produk mereka tetap bisa dinikmati berbagai kalangan. Mereka sadar bahwa di dunia yang semakin kritis terhadap isu kesehatan, yang bisa dilakukan adalah negosiasi, bukan lagi bertikai.
Pangsa pasar rokok memang masih gemuk. Secara global, nilai pasar rokok ada di angka 800 miliar dolar AS. Data dari Statista memperkirakan bahwa nilai pasar rokok masih akan tumbuh sekitar 2,46 persen tiap tahun. Pada 2029 diperkirakan akan ada sekitar 5,2 triliun batang rokok yang dibuat.
Namun produsen rokok juga mulai menaruh perhatian besar pada e-cigarette, alias rokok elektrik, atau banyak yang menyebutnya sebagai vape. Alih-alih membakar tembakau, vape menghasilkan uap dari cairan yang dipanaskan.
Tak hanya itu, produk yang disebut sebagai heated tobacco pun mulai beredar dan menuai sukses besar. Berbeda dengan vape yang masih mengeluarkan “asap” yang lebih tebal ketimbang asap rokok, produk heated tobacco ini minim asap. Beberapa produk bahkan nihil asap alias smoke-free.
Salah satu produk heated tobacco sonder asap paling populer saat ini adalah IQOS dari Philip Morris International (PMI), yang pertama kali diluncurkan pada 2014 di Jepang dan Italia. Dalam waktu kurang dari satu dekade, penjualan IQOS melesat, menyumbang pemasukan besar bagi PMI. Di situs resminya, PMI menyebut per 30 September 2024, 38 persen dari total pendapatan mereka berasal dari produk smoke-free ini.
“Pada 2030 nanti, ambisi kami adalah meningkatkan angka itu ke ⅔ dari total pendapatan, dengan tujuan utama adalah menggantikan rokok sepenuhnya,” tulis PMI.
Apakah ini artinya gergasi produsen rokok seperti PMI akan mengalihkan perhatiannya dari industri rokok tembakau konvensional?
Investasi Jumbo dan Paduan Ilmu Pengetahuan
Vice President International Communications and Engagement PMI, Tommaso Di Giovanni, menyebut bahwa produk kiwari mereka bersandar pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini bukan pepesan kosong, sebab ujarnya, PMI tiap tahun punya 1.500-an peneliti yang disuntik dana penelitian hingga 1,5 miliar dolar AS atau sekitar Rp24 triliun.
Tujuannya? Mencari alternatif rokok yang lebih sehat dan tanpa asap.
“Ilmu pengetahuan dan teknologi memegang setidaknya dua kunci penting. Pertama adalah mendorong perusahaan seperti kami untuk menemukan alternatif lebih baik ketimbang rokok, demi kesehatan konsumen,” ujar Tomasso dalam acara Technovation: Smoke-Free by PMI di Abu Dhabi, Rabu (11/12/2024).
Menemukan produk alternatif ini tak cukup. Mereka juga memastikan produknya lebih sehat dan juga disukai konsumen. Tak mudah, sebab PMI punya banyak produk ikonik dengan para konsumen loyal. Merek seperti Marlboro bahkan, dalam suatu masa, menjadi lambang gaya hidup keren. Dalam perjalanannya mencari produk alternatif ini, PMI mengakui produk mereka seringkali gagal di pasaran.
Peran penting kedua adalah: ilmu pengetahuan adalah “senjata” untuk pembuktian terhadap masyarakat, komunitas, konsumen, dan tentu saja pada para pemangku kebijakan dan pembuat peraturan, bahwa produk tanpa asap ini telah diuji dan hasilnya lebih baik ketimbang rokok konvensional.
Tomasso menyebut Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat, harus menyigi ratusan ribu halaman penelitian ilmiah yang dilakukan oleh PMI terkait produk tanpa asap mereka.
“Setelah mereka menguji hasil penelitian kami, mereka memberi lampu hijau pada kami untuk bilang: produk tanpa asap ini lebih baik ketimbang rokok,” kata Tomasso.
Hal senada juga diungkapkan oleh CEO PMI, Jacek Olczak. Menurutnya, PMI sudah berinvestasi hingga 12,5 miliar dolar AS untuk produk tanpa asap rokok ini. Mereka gembira melihat hasilnya. Mereka menyebut IQOS adalah produk bagi mereka yang ingin berhenti merokok konvensional, tapi masih ingin merasakan kegembiraan karena nikotin.
Jacek menyebut tingkat konversi yang disebabkan IQOS ini mencapai angka 70 persen. Ini artinya, dari 10 orang perokok konvensional yang mencoba IQOS, tujuh di antaranya akan berhenti merokok dan menggunakan IQOS.
“Penelitian ilmiah kami mengonfirmasi bahwa orang-orang yang berpindah ke produk tanpa asap ini akan mengurangi paparan kandungan buruk dalam rokok konvensional, dan pada akhirnya akan mengurangi penyakit dan angka kematian,” ujar Jacek.
Indonesia sendiri merupakan pasar besar potensial bagi PMI. Menyadari potensi itu, PMI juga mengucurkan dana besar-besaran untuk berbagai jenis investasi di Indonesia.
Mulai dari membeli Sampoerna yang merupakan salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia pada 2005 silam, hingga membangun aneka fasilitas untuk mendukung pembuatan produk tanpa asap rokok. Tomasso menyebut PMI telah menanamkan investasi sekitar 6,4 miliar dolar AS, atau sekitar Rp102 triliun di Indonesia.
“Sekitar ¾ populasi lelaki Indonesia ini merokok. Jadi jelas, berinvestasi di negara ini adalah langkah yang masuk akal,” kata pria yang dulu amat menggemari rokok kretek ini.
Menurut Tomasso, potensinya adalah memberitahu para perokok ini bahwa ada produk pengganti yang diklaim lebih baik ketimbang rokok konvensional. Jika berhasil mengonversi para perokok ini, ujarnya, seiring waktu angka penyakit dan angka kematian yang disebabkan oleh rokok bisa menurun.
Terlepas dari pangsa pasar perokok di Indonesia yang angkanya masif, investasi PMI dan HM Sampoerna memang punya trickle down effect ke ekonomi Indonesia. Saat ini, PMI dan HM Sampoerna mempekerjakan –baik langsung maupun tidak langsung– lebih dari 90.000 orang.
Selain itu, ada sekitar 1.700 perusahaan skala kecil dan menengah yang bekerja sama dengan PMI. Belum lagi jika bicara program seperti Sampoerna Retail Community (SRC) yang per 2024 sudah mencapai lebih dari 250.000 toko.
Tentu saja popularitas IQOS dan aneka produk tembakau tanpa asap ini bukan tanpa hambatan. Di Indonesia, produk ini masih harus bersaing dengan berbagai merek rokok konvensional yang harganya jauh lebih murah. Selain itu, belum tegaknya aturan tentang dilarang merokok, masih akan menjadi musuh besar bagi produk tanpa asap ini.
Jacek sendiri memilih untuk optimis terhadap masa depan produk tembakau tanpa asap ini. Menurutnya, setiap negara pasti punya dinamika dalam menghadapi kebijakan dilarang merokok dan inovasi produk tembakau tanpa asap.
“Saya melihat di Indonesia kami bisa mencapai progress-nya, tapi tanpa perlu membuat konsekuensi yang bisa bikin gonjang-ganjing. Ini normal, kok. Jadi kami memang harus optimis,” pungkasnya. []
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis