Menuju konten utama

Buramnya Kebijakan Cukai Rokok, Masa Depan Anak Dipertaruhkan

Kenaikan cukai rokok seharusnya dilakukan setiap tahun karena cukai adalah mekanisme fiskal untuk pengendalian konsumsi produk berbahaya.

Buramnya Kebijakan Cukai Rokok, Masa Depan Anak Dipertaruhkan
Ilustrasi dilarang merokok. FOTO/Istockkphoto

tirto.id - Aldi masih ingat betul ketika diam-diam menyalakan rokok pertama dalam hidupnya. Saat itu ia masih duduk di bangku kelas 5 SD. Ia mengambil rokok kretek milik ayahnya diam-diam. Kini Aldi sudah duduk di bangku kelas 2 SMA, dan biasa merokok minimal 3 batang sehari.

Remaja asal Kota Bogor ini memang sudah terpapar rokok sejak kecil. Aldi mengaku sering diminta Ayah dan abangnya membeli rokok ketengan di warung dekat rumahnya sejak kelas 3 SD. Lama-lama Aldi penasaran akan rasa rokok, hingga berakhir menjadi pengisap aktif.

“Dari kelas 2 SMP-an gitu mulai beli kayak setengah bungkus bareng teman nongkrong, dari situ sih ya sehari ada aja pasti beli rokok,” kata Aldi saat ditemui Tirto, Jumat (27/9/2024).

Kisah hampir sama dituturkan juga oleh Frans, kawan sebaya Aldi. Frans dan Aldi memang sedang kongko di warung kopi (warkop) ditemani siswa lain. Mereka sedang bercengkrama sambil ngudud dengan seragam putih abu masih melekat di tubuh ketika ditemui oleh Tirto.

Adapun Frans, mengaku sudah mulai merokok saat kelas 3 SMP. Saat itu, dia memutuskan mencoba rokok yang ditawarkan kawan mainnya yang sudah kuliah. Frans tak enak untuk menolak sebab saat itu mereka tengah menonton sebuah pertunjukan musik.

Sejak SMA, Frans mulai membeli rokok dari uang sakunya. Dia biasa beli rokok ketengan di warung dekat sekolah. Jika ia tengah punya uang lebih, Frans tak ragu-ragu untuk beli rokok sebungkus penuh di toko retail modern yang banyak di pinggir jalan.

“Lagian sekarang yang kretek murah aja banyak di situ, sebungkus cuma Rp15 ribu-an. Nggak mungkin ditanya juga kan KTP [buat menunjukkan usia],” kata Frans sambil tertawa.

Frans dan Aldi – nama keduanya sengaja disamarkan untuk melindungi privasi – merupakan gambaran kecil dari jutaan anak dan remaja Indonesia yang aktif merokok. Tak berlebihan jika Indonesia disebut-sebut ‘surga perokok anak’. Akui saja, sangat mudah menjumpai anak atau remaja dengan atau tanpa seragam sekolah, merokok di tengah-tengah masyarakat.

Di tengah upaya menekan tingginya angka perokok anak, pemerintah seolah bersikap gamang. Pasalnya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan menyatakan bahwa rencana kenaikan cukai rokok belum akan dilakukan untuk tahun depan. Hal ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Askolani.

“Sampai dengan penutupan pembahasan RAPBN 2025 yang Minggu lalu ditetapkan DPR, posisi pemerintah untuk kebijakan CHT di 2025 belum akan dilaksanakan,” kata dia saat Konferensi Pers APBN Kita Agustus 2024, di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Senin (23/9/2024) lalu.

Askolani menjelaskan, kebijakan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok, sangat mempertimbangkan fenomena downtrading rokok atau peralihan konsumsi rokok ke jenis yang lebih murah. Dengan maraknya fenomena ini, penerimaan cukai rokok pun akan sulit tumbuh.

Padahal, Badan Akuntabilitas Keuangan Negara Dewan Perwakilan Rakyat (BAKN DPR) RI sudah mengusulkan kepada pemerintah untuk mendongkrak tarif CHT minimal 5 persen di tahun depan, baik untuk jenis Sigaret Putih Mesin (SPM) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM).

Tarif ini diusulkan agar diterapkan dua tahun berturut, mulai tahun depan sampai 2026. Usul ini juga lebih kecil dari kenaikan CHT di dua tahun sebelumnya, yang mencapai 10 persen.

ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI TEMBAKAU DI JABAR

Warga duduk di taman kawasan tanpa rokok di Bandung, Jawa Barat, Jumat (28/10/2022). ANTARA FOTO/Novrian Arbi/aww.

Manajer Program Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT), Nina Samidi, menyayangkan sikap pemerintah yang tidak menaikkan cukai rokok di tahun depan. Menurut Nina, kenaikan cukai rokok seharusnya dilakukan setiap tahun karena cukai adalah mekanisme fiskal untuk pengendalian konsumsi produk berbahaya.

Adanya cukai, kata dia, diharapkan membuat harga rokok naik, keterjangkauan bisa ditekan dan konsumsi menurun. Tentu di sisi lain juga akan menyumbang penerimaan bagi negara.

“Perhitungan paling dasar dalam menentukan cukai seharusnya adalah: berapa target penurunan prevalensi perokok yang diharapkan? Dari target itu baru ditentukan berapa cukainya naik,” kata Nina kepada reporter Tirto, Jumat.

Bila tahun depan cukai rokok tidak naik, Nina berkesimpulan bahwa pemerintah tidak berharap untuk menurunkan prevalensi perokok. Apalagi angka perokok anak di Indonesia masih begitu tinggi. Kenaikan cukai seharusnya diharapkan bisa menekan jumlah perokok anak dan remaja.

“Maka, gagal lah fungsi utama cukai di atas,” sambung dia.

Batalnya kenaikan cukai rokok dinilai Nina akan berpotensi melonggarkan keterjangkauan masyarakat, terutama anak-anak dan keluarga miskin untuk mengakses rokok. Buruknya, potensi angka prevalensi perokok aktif dan perokok anak akan kembali naik.

Pada 2019, Nina mencontohkan, tidak terjadi kenaikan cukai rokok tersebab situasi politik. Imbasnya, produksi meningkat tajam hingga mencapai 356,54 miliar batang rokok.

Peningkatan produksi tentu bakal diiringi peningkatan pemasaran agar rokok terjual habis. Maka konsumsi rokok juga akan berpotensi bertambah karena cukai tidak dinaikkan.

“Dengan ketiadaan kenaikan cukai, maka rokok akan lebih terjangkau, terlebih jika inflasi lebih tinggi. Maka kelompok rentan seperti anak-anak dan keluarga miskin yang semestinya dilindungi dari konsumsi produk zat adiktif, malah semakin mudah mengaksesnya,” jelas Nina.

Berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang dilakukan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), jumlah perokok aktif diperkirakan mencapai 70 juta orang, dengan 7,4 persen di antaranya perokok anak dan remaja berusia 10-18 tahun. Data SKI 2023 ini juga menunjukkan, kelompok usia 15-19 tahun merupakan kelompok perokok terbanyak (56,5%), diikuti dengan kelompok usia 10-14 tahun (18,4%).

Angka 7,4 persen perokok anak (SKI 2023) memang melewati target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional atau RPJMN periode 2020-2024. Untuk tahun terakhir, RPJMN menargetkan prevalensi perokok anak mencapi 8,7 persen. Kendati demikian, angka ini tak menutup fenomena pesatnya jumlah peningkatan prevalensi perokok anak.

Jika mengacu data Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) Kemenkes 2013, prevalensi perokok anak ada di angka 7,2 persen. Lantas naik pesat pada data Riskesdas 2019 menjadi 10,7 persen. Bahkan, bila prevalensi perokok anak di SKI 2023 (7,4%) dibandingkan dengan data perokok anak di Riskesdas 2013 (7,2%), justru yang terjadi adalah peningkatan 0,2 persen perokok anak dalam 10 tahun terakhir.

Di sisi lain, data dari survei Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2019 justru menyatakan prevalensi perokok anak (13-15 tahun) di Indonesia mencapai 19,2 persen. Angka ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan prevalensi konsumsi tembakau global pada kelompok umur yang sama versi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dengan angka 6 persen.

Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2019 juga mendapati bahwa empat dari 10 siswa usia 13-15 tahun pernah merokok, satu dari lima siswa merupakan perokok aktif. Berdasarkan survei GYTS 2019 terhadap 9.992 responden pelajar kelas 7-12 usia mayoritas 13-15 tahun, sebesar 40,6 persen pelajar Indonesia pernah merokok atau menggunakan tembakau.

Tingginya angka prevalensi perokok anak di Indonesia bukan hal yang membanggakan. Ini terjadi karena rokok masih begitu mudah, marak, dan murah bagi anak-anak. Apalagi jika ingin menggapai mimpi Indonesia Emas 2045 yang sering kali digaungkan pemimpin negeri.

Cukai rokok

Pita cukai rokok. ANTARA / Akhmad Nazaruddin Lathif

Jalan Mundur Indonesia Emas 2045

Project Lead for Tobacco Control dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Beladenta Amalia, menilai langkah pemerintah menghentikan kenaikan cukai rokok tahun depan amat mengecewakan. CISDI memandang kenaikan cukai rokok yang progresif adalah langkah tepat untuk menurunkan prevalensi perokok, terutama pada kalangan anak-anak.

“Pemerintah nampak gamang karena adanya kekhawatiran berlanjutnya penurunan pendapatan dari cukai hasil tembakau karena fenomena downtrading. Padahal downtrading bisa diatasi,” kata Beladenta kepada reporter Tirto, Jumat.

Beladenta mengatakan, fenomena downtranding dapat diatasi dengan simplifikasi struktur cukai, bukan malah membatalkan kenaikan cukai hasil tembakau. Ia khawatir batalnya kenaikan cukai rokok akan membuat angka prevalensi perokok anak kembali meningkat.

Pasalnya, hingga saat ini rokok masih terjangkau oleh uang saku anak-anak sekolah. Dari data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, rata-rata anak sekolah hanya mengeluarkan Rp19.000 hingga Rp20.000 untuk membeli satu bungkus rokok.

Bahkan, hasil riset CISDI tahun lalu menunjukkan bahwa siswa SMA dapat membeli satu batang rokok seharga Rp1.000-2.000. Tidak jauh berbeda dari riset CISDI, survei harga rokok pada 2023 menunjukkan golongan kretek adalah jenis rokok yang paling banyak dibeli, dengan harga rata-rata Rp30.000 per bungkus, dan per batang hanya Rp2.000.

Riset CISDI yang berjudul Loose Cigarette Purchase and Adolescent Smoking in Indonesia: A Mixed-methods Study dengan menggunakan data GYTS 2019, menunjukkan lebih dari setengah perokok aktif berusia di bawah 18 tahun memilih membeli rokok batangan daripada rokok dalam bentuk lain, seperti bungkusan, karton, atau linting. Tak heran, tren pembelian rokok batangan di kalangan pelajar meningkat dari 11 persen pada 2014 menjadi 13 persen pada 2019.

“Berangkat dari fakta di lapangan seperti ini, pemerintah semestinya masih perlu terus memahalkan harga rokok dengan cara menaikkan cukai hasil tembakau,” lanjut Beladenta.

Gamangnya mendongkrak cukai rokok dikhawatirkan membuat mimpi pemerintah mencapai Indonesia Emas 2045 menjadi terjal. Apalagi saat ini angka perokok anak masih tinggi. SKI 2023 memperkirakan masih ada sekitar 5 juta perokok anak di Indonesia.

Beladenta menjelaskan, aktivitas merokok sejak dini akan menghasilkan ketagihan. Selain itu, merokok merupakan salah satu faktor pemicu penyakit tidak menular (PTM) di masa depan. Apabila pemerintah memang ingin mewujudkan generasi Indonesia Emas pada 2045 yang berfokus pada produktivitas masyarakat, sudah sepantasnya peredaran rokok diatur dengan lebih ketat.

“Kami menilai instrumen fiskal, seperti cukai, adalah cara yang paling efektif untuk menekan konsumsi rokok sekaligus memberikan pengaruh positif terhadap perekonomian,” jelas dia.

Merokok memang mengancam masa depan anak. Kemenkes mencatat, merokok dapat menyebabkan berbagai masalah pernapasan seperti bronkitis kronis, emfisema, dan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Paparan asap rokok secara terus-menerus juga merusak jaringan paru-paru dan mengganggu kemampuan paru-paru berfungsi dengan baik.

Belum lagi, konsumsi rokok yang tidak terkendali berpotensi mengganggu program prioritas pemerintahan selanjutnya, seperti target penurunan prevalensi stunting dan TBC. Riset Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) juga menyebut, pertumbuhan anak dari keluarga perokok lebih lambat dibanding anak yang bukan dari keluarga perokok.

Di sisi lain, pemerintah sendiri berencana menawarkan alternatif untuk pengendalian rokok meski harga cukai rokok tidak naik tahun depan. Kementerian Keuangan tengah mengkaji alternatif kebijakan menaikkan Harga Jual Eceran (HJE) produk hasil tembakau di 2025.

Penyesuaian HJE ini berfungsi untuk mengendalikan konsumsi hasil tembakau di tengah tidak adanya kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada tahun depan. Namun, rencana tersebut masih samar hingga saat ini.

“HJE-nya juga sedang kita kaji. Harga jual eceran harusnya mendekati dengan fakta. Dengan faktanya berapa? Ini yang sedang kita kaji ini gap nya berapa,” kata Direktur Penerimaan dan Perencanaan Strategis DJBC Kementerian Keuangan, M Alfath Farobi, dalam Media Gathering di Anyer, Kabupaten Serang, Banten, Kamis (26/9/2024).

Sementara itu, Kemenkes yakin adanya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan juga dapat memberikan sumbangsih besar terhadap upaya pemerintah mengendalikan konsumsi hasil tembakau. Hal ini disampaikan oleh Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi.

“Sesuai amanat PP 28/2024 upaya pengendalian ini dapat didukung semua pihak baik dari kementerian maupun pihak industri sehingga upaya pengendalian rokok terutama mencegah perokok muda dan remaja dapat tercapai,” kata Nadia kepada reporter Tirto, Jumat.

Pemerintah, kata Nadia, mematok target menurunkan 30 persen untuk angka prevalensi perokok. Adapun PP Nomor 28/2024 salah satunya mengatur soal pengendalian zat adiktif produk tembakau: meliputi aturan mengenai penjualan rokok eceran di sekolah atau tempat bermain anak, pembatasan iklan rokok, hingga peringatan kesehatan pada kemasan rokok.

“Pemerintah berkomitmen untuk melindungi anak dan remaja dari bahaya merokok dan ini merupakan komitmen juga pemerintah ke depannya,” sambung Nadia.

Siti Nadia Tarmizi

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI Siti Nadia Tarmizi saat menyampaikan keterangan kepada wartawan di Gedung Kemenkes RI Jakarta, Kamis (8/12/2022). (ANTARA/Andi Firdaus).

Wasekjen Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) sekaligus Dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Narila Mutia Nasir, memandang upaya yang dilakukan pemerintah – terutama lewat PP Nomor 28/2024 – akan sangat bergantung pada pengawasan dan penegakan implementasinya di lapangan.

Pasalnya, mengontrol penjualan rokok eceran sama artinya dengan mengawasi warung berskala kecil.

“Itu susah banget, dan itu banyak di sekitar sekolahan gitu, di sekitar anak-anak baik yang sekolah maupun yang tidak sekolah ya kita bicaranya itu semuanya terpapar,” kata Narila kepada reporter Tirto, Jumat.

Menurutnya, batalnya kenaikan cukai rokok tentu berpotensi membuka peluang peningkatan prevalensi perokok anak. Apalagi jika regulasi saat ini dan alternatif yang disediakan tidak diiringi dengan pengawasan.

“Pengawasan menjadi amat sangat penting karena kemudian bagaimana si anak-anak ini tidak memiliki akses yang mudah untuk merokok,” sambung dia.

Senada dengan Narila, Project Lead for Tobacco Control dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Beladenta Amalia, menilai wacana menaikkan harga jual rokok industri masih dibahas oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan sehingga penerapan di lapangan masih belum jelas. CISDI justru khawatir alternatif yang sedang digodok ini tidak cukup efektif untuk membuat harga rokok semakin sulit dijangkau masyarakat.

“Langkah paling efektif mencegah perokok anak adalah dengan memanfaatkan seluruh instrumen kebijakan, mulai dari menaikkan tarif cukai secara signifikan, menyederhanakan struktur tarif cukai, melarang penjualan rokok batangan, memberi sanksi terhadap mereka yang menjual rokok pada seseorang berusia di bawah 21 tahun,” pungkas Beladenta.

Baca juga artikel terkait CUKAI ROKOK atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fahreza Rizky