Menuju konten utama

Rokok Polos, Tekan Angka Perokok atau Sigaret Ilegal Jadi Marak?

Rencana kemasan rokok polos menyulut pro dan kontra. Kekhawatiran kehilangan sejumlah cuan dan upaya menekan angka perokok menjadi bahan perdebatan.

Rokok Polos, Tekan Angka Perokok atau Sigaret Ilegal Jadi Marak?
Foto Dadan Mulya, model iklan PSA peringatan merokok di bungkus rokok. tirto.id/Bhaga

tirto.id - Rencana kebijakan kemasan rokok polos menjadi sorotan banyak pihak, utamanya komunitas perokok dan ekosistem industri rokok. Selain itu, rencana kebijakan yang bakal diatur dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang merupakan aturan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan tersebut juga mendapat penolakan dari berbagai kementerian yang membidangi perekonomian hingga DPR.

Kementerian Perdagangan, misalnya, menolak rencana kebijakan ini dengan alasan berpotensi menimbulkan sengketa di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) terutama terkait hak merek dan hambatan perdagangan. Lain itu, sampai saat ini Kemendag juga belum diundang secara resmi oleh Kementerian Kesehatan sebagai penggagas kebijakan untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses perumusan kebijakan.

“Kami berharap agar kami bisa dilibatkan secara resmi, sehingga Kementerian Perdagangan dapat memiliki posisi resmi dalam kebijakan ini,” kata Negosiator Perdagangan Ahli Madya, Kementerian Perdagangan, Angga Handian Putra, dalam keterangan resminya, dikutip Tirto Rabu (25/9/2024).

Selain itu, belajar dari gugatan yang pernah dilayangkan Indonesia kepada Badan Penyelesaian Sengketa WTO terhadap kebijakan kemasan rokok polos pada tahun 2013-2018, Kementerian Kesehatan menurut Angga perlu menyiapkan kajian ilmiah yang dapat mendukung penerapan rencana kebijakan ini. Dengan begitu, sengketa terhadap rencana kebijakan ini dapat dihindari.

“Saat bersengketa dengan Australia, mereka menyajikan kajian ilmiah yang mendukung bahwa kebijakan ini dapat menurunkan prevalensi merokok. Indonesia perlu memiliki kajian ilmiah serupa," ujar Angga.

Berbeda dengan Kemendag, Kementerian Perindustrian menyoroti dampak yang mungkin ditimbulkan oleh rencana kebijakan ini terhadap pasar tenaga nasional. Menurut Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Merijanti Punguan Pitaria, implementasi kebijakan kemasan rokok polos tanpa tanpa merek dapat memicu gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), khususnya di industri olahan hasil tembakau.

"Kebijakan ini juga bisa berpotensi menekan pasar dan berdampak pada sisi produksi. Kalau produksi tertekan, industri akan membuat kebijakan khusus untuk melakukan efisiensi operasionalnya. Efisiensi itu ya pada akhirnya juga akan melakukan efisiensi di tenaga kerja," ujar Merijanti dalam acara Coffee Morning dengan tema 'Badai Baru Ancam Industri Tembakau: Rencana Kemasan Polos Tanpa Merek', di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Pada akhirnya, baik Angga dan Merijanti sepakat rencana kebijakan kemasan rokok polos akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Selain ekonomi, rencana kemasan rokok polos juga dikhawatirkan membuat peredaran rokok ilegal di Indonesia semakin marak, karena tanpa kemasan yang khas, Direktorat Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan bakal kesulitan melakukan pengawasan terhadap produk-produk hasil tembakau. Padahal, selama ini pengawasan telah berjalan maksimal, terlihat dari jumlah rokok ilegal yang berhasil ditindak DJBC.

Sejak awal tahun sampai akhir Agustus 2024, misalnya, Bea Cukai berhasil menindak 157,5 juta batang rokok ilegal. Sementara di sepanjang 2023, Bea Cukai telah mengamankan 787 juta batang rokok ilegal dalam 22.837 kali penindakan. Perkiraan nilai barang sitaan tersebut mencapai Rp981,01 miliar.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Askolani, menilai dengan kemasan polos, jenis rokok yang terdapat di dalam kemasan tidak dapat dibedakan antara satu dan lainnya.

“Kemudian kalau rokok jadi polos, pandangan kami ada risiko dari pengawasan dan tak bisa membedakan jenis rokok yang menentukan golongannya, ini basis kita untuk pengawasan,” katanya dalam acara Konferensi Pers APBN Kita Agustus 2024, di Kantornya, Jakarta Pusat, Senin (23/9/2024).

Selain itu, tambah dia, pengawasan juga akan semakin sulit dilakukan jika kemasan disamakan. Padahal, kemasan menjadi langkah awal DJBC melakukan proteksi terhadap industri rokok dari gempuran rokok ilegal.

“Risiko bisa jadi nyata kalau ini kemasan disamakan. Kita nggak bisa kasat mata membedakan kemasannya, kemudian isinya. Padahal itu proteksi awal dari kita melalui [kemasan] itu,” imbuh Askolani.

Dari sisi industri, keberatan telah disampaikan oleh Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sutrisno Iwantono. Dia menilai, Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan yang bakal menjadi aturan turunan dari PP Kesehatan, termasuk kemasan rokok polos sebagai salah satu kebijakan yang diatur di dalamnya, cacat hukum dan berpotensi merugikan berbagai pihak. Hal itu karena kebijakan-kebijakan yang terdapat di dalam rancangan tersebut tidak didasari oleh kajian ilmiah.

“Peraturan (PP) ini begitu lahir, ada komplain di mana-mana. Langsung mendapat keluhan dari berbagai asosiasi, termasuk Kementerian Perindustrian yang tidak dilibatkan dalam proses perumusan,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (24/9/2024).

Sementara itu, dengan rencana kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek, akan membuat konsumen beralih ke produk yang lebih murah, bahkan beralih ke produk ilegal. Alih-alih dapat mencapai tujuan untuk menekan prevalensi jumlah perokok, rencana ini justru akan berujung sebaliknya.

“Kebijakan ini sejatinya bertentangan dengan Undang-Undang yang melindungi hak atas merek dan menabrak hukum, termasuk soal pencantuman pita cukai yang tidak akan terlihat jelas karena desain kemasan didominasi sama peringatan kesehatan,” imbuh Sutrisno.

MURAL KAMPANYE BAHAYA MEROKOK

Anggota komunitas mural Bogor membuat gambar tentang bahaya merokok di Taman Ekspresi, Kelurahan Sempur, Kota Bogor, Jawa Barat, Minggu (28/5). Kegiatan kampanye bahaya merokok melalui media mural tersebut diselenggarakan Dinas Kesehatan Kota Bogor dalam rangka Hari Tanpa Tembakau Sedunia dengan tujuan mengajak generasi muda untuk sadar, beraksi dan kreatif dalam pengendalian masalah tembakau. ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/aww/17.

Pada kesempatan lain, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, memperkirakan rencana kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek akan membuat negara berpotensi kehilangan pendapatan hingga Rp182,2 triliun. Tak hanya dari industri rokok, kerugian ekonomi ini juga merupakan nilai yang harus ditanggung industri kemasan untuk kertas pembungkus rokok, petani tembakau, cengkeh, dan lain sebagainya.

Fenomena downtrading dan peralihan konsumsi ke rokok ilegal, kata Tauhid, akan membuat penerimaan negara dari Cukai Hasil Tembakau (CHT) merosot sampai 42,09 persen. Akibatnya, penerimaan negara sekitar Rp95,9 triliun hilang.

“Bagi para konsumen dengan situasi ini, yang dilihat hanyalah soal price atau harga, sehingga implikasinya persaingan akan semakin ketat, yang terjadi ini juga memunculkan downtrading secara normal 2-5 persen. Di sisi rokok ilegal, juga bisa meningkat 2-3 kali lipat. Ya sangat mudah untuk ditiru begitu dengan gambar yang sama, model yang sama,” jelas dia dalam Diskusi Publik Indef yang bertajuk ‘Industri Tembakau Suram, Penerimaan Negara Muram’ secara virtual dalam streaming Youtube Indef, Jakarta, Senin (23/9/2024).

Dengan skenario penurunan permintaan produk legal, akan berpotensi merumahkan 1,22 juta pekerja di seluruh sektor.

“Bukanya hanya IHT (Industri Hasil Tembakau), tapi sektor-sektor lainnya juga terdampak,” imbuh Tauhid.

Di sisi lain, Juru Bicara Komunitas Kretek, Khoirul Atfifudin, menilai banyak aturan dalam PP 28/2024 dan RPMK yang dinilai mengadopsi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), termasuk soal kemasan rokok polos. Hal ini, menurutnya, tak sesuai dengan tujuan pemerintah untuk mendukung perkembangan industri tembakau, apalagi Indonesia juga tidak pernah meratifikasi FCTC.

Selain itu, keputusan ini dinilai tidak sejalan dengan pesan Presiden Joko Widodo untuk tidak merumuskan kebijakan ekstrem yang dapat menimbulkan gejolak di masa transisi pemerintahan. Dengan hadirnya rencana aturan ini, jelas yang dilakukan Kemenkes adalah sebaliknya.

“Ini akan menjadi beban bagi pemerintahan baru, mengingat pendapatan negara masih bergantung dari cukai rokok. Bahkan, 2023 lalu target cukai hasil tembakau tidak tercapai. Belum lagi pemerintahan baru juga akan menghadapi maraknya rokok ilegal yang makin marak. Ini PR besar,” kata Khoirul, dalam keterangannya kepada Tirto, Selasa (24/9/2024).

Upaya Menekan Jumlah Perokok di Indonesia

Sementara itu, Manajer Program Komnas Pengendalian Tembakau (PT), Nina Samidi, melihat rencana kebijakan kemasan rokok polos sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk menekan prevalensi perokok di Indonesia.

Pasalnya, kata dia, kemasan polos membuat orang tidak terlalu tertarik merokok karena mengurangi daya tarik produk tembakau, membuat peringatan kesehatan bergambar alias PHW (Pictorial Health Warning) jadi lebih efektif dan menghapus informasi yang menyesatkan pada kemasan.

“Untuk kasus Indonesia kan kemasan rokok begitu menarik, warna-warni, grafis mencolok, bahkan ada yang pakai gambar-gambar ilustrasi. Tanpa mengetahui isinya pun, kemasan rokok di Indonesia bisa sangat menarik perhatian, terutama bagi perokok pemula. Karena kemasannya yang cakep-cakep ini, PHW dan pelabelan/informasi di kemasan jadi tampak tidak penting,” jelas Nina kepada Tirto, Rabu (25/9/2024).

Tidak hanya dapat menurunkan minat perokok pemula untuk merokok, menurutnya, jika kemasan polos benar-benar diterapkan, Indonesia akan sejajar dengan negara-negara di Eropa, Australia, bahkan Singapura dan Myanmar. Setelah menerapkan kebijakan kemasan rokok polos, prevalensi perokok negara-negara itu terus menurun.

“WHO sendiri merekomendasikan agar kemasan polos digunakan sebagai bagian dari pendekatan komprehensif terhadap pengendalian tembakau, yang mencakup larangan komprehensif terhadap iklan, promosi, dan sponsorship tembakau serta pengemasan dan pelabelan tembakau lainnya,” imbuh Nina.

Meski dikatakan sebagai kemasan polos, namun pada dasarnya kemasan yang diatur dalam RPMK tidak benar-benar polos. Dalam hal ini Kemenkes masih melonggarkan kemasan yang distandarkan dan membolehkan logo merek rokok dicantumkan di kemasan.

Berdasarkan RPMK tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik, Kemenkes menetapkan standar kemasan pada produk tembakau berbentuk kotak persegi panjang dengan 6 sisi untuk produk rokok konvensional, dan kemasan berbentuk silinder khusus untuk produk tembakau berupa kantung nikotin.

Kemudian, warna kemasan produk tembakau ditetapkan harus berwarna Pantone 448 C dan bahan kemasan produk tembakau harus terbuat dari kertas yang dapat terurai.

“Penulisan merek dan varian produk tembakau menggunakan bahasa Indonesia, dengan font Arial yang tingginya 8 mm, berwarna hitam, dan diletakkan di bagian tengah permukaan depan dan belakang kemasan; penulisan identitas produsen menggunakan bahasa Indonesia, dengan font Arial yang tingginya 4 mm, berwarna hitam,dan diletakkan di bagian sisi kiri kemasan,” bunyi Pasal 5 ayat (1) RPMK.

KAMPANYE STOP ROKOK ILEGAL

Pekerja beraktivitas di dekat spanduk kampanye stop rokok ilegal di Bekasi, Jawa Barat, Rabu (6/10/2021). ANTARA FOTO/Suwandy/rwa.

Soal kekhawatiran Kemendag atas gugatan yang sebelumnya dilayangkan Indonesia kepada Australia, Nina menilai, seharusnya pemerintah sadar bahwa Indonesia adalah pihak yang kalah. Dalam gugatan itu WTO memenangkan Australia dengan alasan kemasan netral untuk meningkatkan kesehatan publik.

Plain packaging tidak membatasi perdagangan, melainkan untuk melindungi kesehatan masyarakat. Maka plain packaging tidak melanggar Perjanjian WTO dalam TBT, juga tidak melanggar perlindungan kekayaan intelektual berdasarkan Perjanjian WTO dalam TRIPs Agreement,” ungkapnya.

Nina mengatakan, untuk melihat efektivitas rencana kebijakan kemasan rokok polos terhadap penurunan jumlah perokok di Indonesia, membutuhkan kajian lebih lanjut. Namun yang pasti, berkaca dari negara-negara yang telah menerapkan kebijakan ini, kemasan polos membantu menekan prevalensi perokok.

“Namun tentu dengan catatan, dia tidak bisa berdiri sendiri. Berdasarkan rekomendasi WHO, kebijakan ini harus didukung kebijakan komprehensif lainnya seperti larangan iklan, promosi, dan sponsor (IPS) serta perluasan PHW. Untuk kasus Indonesia, kita sulit melarang IPS, maka elemen lain perlu diperkuat, termasuk pengaturan kemasan yang distandarkan,” imbuh Nina.

Dihubungi terpisah, Project Lead for Tobacco Control CISDI, Beladenta Amalia, menilai penerimaan negara tidak akan serta merta turun imbas kebijakan kemasan rokok polos. Pun, dengan pengawasan oleh DJBC. Apalagi, katanya, pengawasan rokok pada dasarnya dilihat dari golongan rokok yang tercantum jelas dalam pita cukai.

Alih-alih melarang kemasan rokok polos, Baladenta menilai seharusnya pemerintah dapat menyederhanakan golongan rokok.

“Karena dengan beraneka jenis rokok, cukainya jadi beraneka ragam. Dan ini bisa diakali oleh industri yang harusnya, misalnya SKM (sigaret kretek mesin) jadi mengaku pita cukainya beli cukai SKT (sigaret kretek tangan). SKT itu kan dihargai lebih kecil,” ungkapnya kepada Tirto, Rabu (25/9/2024).

Padahal, hal itu juga bisa dikatakan sebagai tindakan ilegal yang dilakukan oleh industri rokok.

“Ilegal atau tidak, itu kan yang penting kalau standarnya Bea Cukai ya, itu bayar cukai apa enggak. Dan memenuhi aturan yang ditetapkan, kayak misalnya peringatan kesehatan, harus masang dong peringatan kesehatan. Kalau enggak, iya artinya itu ilegal,” sambungnya.

Pada gilirannya, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, menegaskan yang sedang dibahas dalam RPMK bukan kemasan rokok polos, melainkan standarisasi kemasan. Dengan ini, kemasan produk-produk hasil tembakau bakal diseragamkan, mulai dari pesan kesehatan, informasi dan warna, serta font penulisan.

“Iya, sesuai dengan Pasal 435 PP No 28/2024,” tegasnya, melalui aplikasi perpesanan kepada Tirto, Rabu (25/9/2024).

Dengan standarisasi ini, kata dia, Kemenkes bukannya ingin melarang konsumsi rokok oleh masyarakat. Sebaliknya, pengaturan ini dimaksudkan untuk menurunkan jumlah perokok baru pada remaja dan anak.

Sementara itu, dalam pembahasan RPMK ini, Nadia juga memastikan pihaknya telah menggelar rapat dengar pendapat umum (public hearing) dari berbagai stakeholder, mulai dari pemerintah, industri, hingga masyarakat.

“Sudah dilibatkan bahkan sejak UU dan pembahasan PP, dan kita juga melakukan public hearing kemarin mengundang berbagai pihak. Nanti saat harmonisasi dengan kementerian/lembaga, kementerian akan diminta hadir. Secepatnya karena masih proses cukup panjang,” imbuhnya.

Ia menambahkan, dalam pembahasan rencana kebijakan ini, Kemenkes juga mendasarkannya kepada beberapa studi. Salah satunya adalah yang dirilis WHO. Menurut organisasi itu, standarisasi kemasan produk tembakau sangat efektif dalam mengurangi inisiasi penggunaan produk tembakau.

Alasannya, karena kemasan standar meningkatkan efektivitas peringatan kesehatan karena menjadi lebih mudah terlihat, serta mencegah desain kemasan produk tembakau yang menarik perhatian dan akhirnya mengalihkan peringatan kesehatan pada kemasan.

“Di Australia kemasan standar telah mengurangi prevalensi merokok di melebihi tren penurunan yang sudah ada sebelumnya. Sejak tahun 2016, tingkat perokok harian di Australia terus mengalami tren penurunan, dari 12,2 persen pada tahun 2016 menjadi 11 persen pada tahun 2019,” jelas Nadia.

Di Indonesia, melalui penelitian yang dilakukan oleh Dhani et al pada 2021 lalu, menunjukkan bahwa 63-84 persen masyarakat memahami tujuan PHW (peringatan kesehatan bergambar), yaitu untuk mengingatkan risiko kesehatan dan mendorong berhenti merokok.

Sementara penelitian Maipana et al pada 2021 untuk mengetahui efektivitas peringatan merokok bergambar terhadap keinginan berhenti merokok, dengan responden perokok dan non perokok merokok sebanyak 463 orang menunjukkan bahwa responden merasa takut setelah melihat gambar peringatan kesehatan pada bungkus rokok.

Baca juga artikel terkait ROKOK POLOS atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Irfan Teguh Pribadi