tirto.id - Per 12 September 2019, pemerintah Thailand akan mewajibkan kemasan rokok polos untuk menekan konsumsi rokok di dalam negeri. Melalui kebijakan ini, kemasan dibuat standar tanpa menampilkan warna merek dan logo. Ditambah lagi, porsi peringatan kesehatan akan memakan 85 persen dari bungkus rokok.
Dikutip dari Bangkok Post, Thailand akan menjadi negara pertama di Asia yang menerapkan aturan kemasan polos bersama ke-16 negara lain yang sudah lebih dulu memberlakukannya. Langkah ini bakal diikuti Singapura yang akan memberlakukannya per 1 Juli 2020.
"Singapura dan Thailand telah membuka jalan bahwa negara tetangga di ASEAN sebaiknya mengikuti jejak ini," kata Direktur Eksekutif Aliansi Pengendalian Tembakau ASEAN atau the Southeast Asia Tobacco Control Alliance Ulysses Dorotheo dikutip dari Bangkok Post.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memuji langkah yang diambil Thailand sebagai langkah berani.
"Langkah berani Thailand melawan tembakau--satu-satunya penyebab paling penting dari kematian yang dapat dicegah di seluruh dunia--patut dipuji dan mencerminkan upaya tulus negara untuk mempromosikan kesehatan dan kesejahteraan rakyatnya," kata Poonam Khetrapal Singh, Direktur Regional WHO Asia Tenggara.
Kebijakan Thailand soal kemasan rokok ini tertuang dalam Undang-Undang Pengendalian Tembakau 2017 atau 2017 Tobacco Control Act. Kebijakan itu mengamanatkan pembeli tembakau harus berusia 20 tahun, melarang penjualan tunggal, melarang iklan, promosi, dan sponsor rokok.
Kemasan polos produk tembakau membatasi penggunaan logo, warna, gambar merek atau informasi promosi pada kemasan selain nama merek dan produk yang ditampilkan dalam warna dan gaya font standar.
Ditentang Pelaku Usaha
Terkait kebijakan Thailand itu, Ketua Bidang Media Center Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Hananto Wibisono menilai kebijakan itu salah sasaran lantaran dinilai tidak akan berhasil menurunkan angka konsumsi rokok.
Ia mencontohkan Australia yang telah memberlakukan ini sejak 2012. Menurutnya, dampak dari kebijakan kemasan polos tidak membuat konsumsi rokok menurun, sebaliknya bikin prevelansi rokok meningkat sejak 2014.
"Aturan kemasan polos pada kemasan produk tembakau adalah kebijakan yang sangat eksesif dan tidak terbukti efektif dalam menekan tingkat perokok," ucap Hananto saat dihubungi reporter Tirto, Senin (2/9/2019).
Hananto meminta Indonesia tidak mengikuti langkah Thailand. Ia beralasan, kebijakan kemasan polos bisa memukul omzet perusahaan hingga toko kelontong. Dagangan mereka akan menjadi sulit terjual dan justru memperbanyak beredarnya rokok ilegal.
Pendapat senada dikatakan Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moefti. Ia menilai kebijakan itu memberatkan pengusaha rokok, sehingga Indonesia tak perlu menerapkan kebijakan serupa meski Kemenkes ingin menerapkan kewajiban agar 90 persen bungkus rokok ditutupi peringatan kesehatan.
"Jangan dulu, ya. Kita masih 40 persen [porsi peringatan kesehatannya]," ucap Moefti kepada reporter Tirto.
Moefti punya dua alasan. Pertama penerapan kebijakan itu belum tentu berhasil menekan konsumsi rokok seperti yang terjadi di Australia. Menurutnya langkah yang perlu diambil adalah memberikan edukasi ketimbang hanya memaksa melalui bungkus rokok.
"Kalau kita lihat exercise di Australia yang sudah dilaksanakan 2014 itu enggak ada penurunan volume konsumsi," ucap Moefti.
Alasan kedua, kata Moefti, kemasan rokok polos dinilai berpotensi memunculkan masalah baru yakni kemunculan rokok ilegal. Ini karena preferensi konsumen masih suka rokok dengan kemasan bergambar. Saat rokok dengan kemasan bergambar tak lagi dijual resmi, ia khawatir sejumlah orang memanfaatkan kondisi itu dengan menjualnya dari sumber lain.
"Malahan yang bisa menimbulkan rokok-rokok ilegal atau palsu yang masuk," ucap Moefti.
Sikap Pemerintah
Namun sejauh ini, pelaku usaha tembakau tampaknya bisa bernafas lega. Ini lantaran pemerintah Indonesia juga belum berminat menerapkan kebijakan kemasan polos seperti di Thailand.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan Cut Putri Ariani menilai kebijakan kemasan polos bukan ranah lembaganya. Menurutnya, Kemenkes hanya mengurusi dampak konsumsi rokok dan penyakit yang ditimbulkan rokok.
"Kalau soal packaging rokok itu bukan urusan Kemenkes. Jadi apa pun terkait konsumsi tembakau sudah jelas, setop! Memang kemasan keluar dari mana? Tolong ditanyakan sama yang buat kemasannya,” ucap Putri saat dihubungi reporter Tirto.
Namun, Menteri Kesehatan Nila Moeloek sebelumnya pernah turun tangan menekan konsumsi rokok lewat pembenahan dan penghapusan iklan bergambar rokok di internet. Waktu itu, demi menyalamatkan generasi muda, Nila menyurati Kemenkominfo untuk memblokir iklan-iklan itu.
Kementerian Perindustrian juga ikut menentang kebijakan kemasan polos terhadap kemasan rokok. Menurut mereka, kemasan polos belum tentu dapat menurunkan konsumsi rokok, dan justru membuat ekspor tembakau Indonesia terganggu.
Dirjen Industri Agro Kemenperin Abdul Rochim mengatakan ekspor produk Industri Hasil Tembakau (IHT) Indonesia bisa terganggu. Alasannya, kemasan polos itu akan membuat produk Indonesia sulit terjual di Thailand.
Menurut Rochim, ekspor produk IHT Indonesia ke Thailand saat ini menyumbang 39,48 juta dolar AS dan Thailand menjadi negara tujuan ekspor terbesar ke lima untuk produk IHT. Penurunan penjualan ini jelas menggerus ekspor Indonesia.
"Penerapan kemasan polos berpotensi mengganggu kinerja ekspor rokok Indonesia ke Thailand," ucap Rochim kepada Tirto.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Indrasari Wisnu Wardhana memilih untuk tidak berkomentar perihak kebijakan kemasan rokok polos itu.
Indonesia memang termasuk pihak yang getol menolak penerapan kemasan rokok polos. Melalui Kementerian Perdagangan, Indonesia pernah menggugat Australia ke WTO terkait penerapan kemasan polos ini, bersama dengan Honduras dan Republik Dominika. Namun, Indonesia kalah sehingga harus mematuhi aturan di Negeri Kanguru itu.
Pada 12 Desember 2011, Australia mengesahkan peraturan kemasan rokok bernama Tobacco Plan Packaging Act. Ia menjadi negara pertama yang mewajibkan produk tembakau dijual dalam kemasan yang datar dan sudah dibakukan. Beleid yang mengatur kemasan rokok di Australia ini kemudian dikeluarkan juga oleh negara-negara lain.
Pemerintah masih menangguk pemasukan yang cukup besar dari cukai rokok. Hingga semester I 2019, realisasi penerimaan cukai hasil tembakau atau rokok sudah mencapai 48,9 persen dari target Rp158,9 triliun per Agustus 2019. Artinya, sudah ada sekitar Rp77,7 triliun cukai rokok yang masuk ke kantong pemerintah.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti & Ringkang Gumiwang