tirto.id - Pengamat pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menuturkan bahwa kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) tidak mampu mendorong pertumbuhan penerimaan negara. Menurutnya, kinerja penerimaan pajak sudah jauh berbeda dari persentase kenaikan tarif.
“Contohnya pada 2018, tarifnya naik 10,8 persen tapi penerimaan cukai hasil tembakau naiknya hanya 3,52 persen. Kenaikan tarif lebih tinggi dari kenaikan penerimaan cukai. Artinya, kemampuan tarif sudah tidak mampu mendorong kinerja penerimaan cukai,” kata Fajry kepada Tirto, Rabu (27/12/2023).
Fajry menjelaskan, hal tersebut juga terjadi pada 2016 sampai 2021. Sedangkan kinerja pada 2022, saat penerimaan cukai mengalami kenaikan, menurutnya hanya sebagai anomali.
“Mengingat penerimaan cukai pada 2023 [sampai bulan November] tumbuh negatif,” kata dia.
Melalui data tersebut, dia menilai sulit bagi pemerintah untuk mencapai target penerimaan CHT tahun 2024. Target penerimaan tersebut pada APBN 2024 sebesar Rp230,41 triliun. Jumlah itu setara dengan 9,97 persen dari total target Rp2.309,86 triliun.
“Perkiraan kasar saya ada gap sekitar 5-6 persen dari target penerimaan tahun 2024,” ucap Fajry.
Namun, ungkapnya, penerimaan pajak tersebut perlu memperhitungkan dampak dari kebijakan, seperti tidak ada forestalling pada 2023 yang kemungkinan akan mendorong penerimaan cukai pada 2024. Juga upaya pemerintah dalam menanggulangi rokok ilegal, dan dampak faktor makro seperti kenaikan pendapatan per kapita.
Sementara itu, potensi penerimaan dari cukai Minuman Bergula Dalam Kemasan (MBDK) yang juga akan mengalami kenaikan tarif jika dilihat dari Perpes 76 Tahun 2023, diproyeksikan akan mengalami kenaikan penerimaan sebesar Rp4,34 triliun atau 1,74 persen dari target penerimaan cukai tahun 2024.
Sedangkan cukai plastik kurang dari 1 persen dari target penerimaan cukai.
“Jadi, kecil sekali. Semua masih bergantung pada penerimaan cukai hasil tembakau,” kata Fajry.
Sebagai informasi, target penerimaan cukai pada 2024 sudah memperhitungkan potensi penerimaan cukai MBDK dan cukai plastik.
“Sepertinya untuk tahun 2024, pemerintah masih akan kesulitan untuk mencapai target penerimaan cukai tahun 2024,” ucap dia.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI), Prianto Budi Saptono mengatakan, kenaikan tarif cukai tidak hanya difokuskan untuk mendongkrak penerimaan negara, tapi juga untuk mengatasi dampak negatif dari objek cukai atau earmarking.
“Pengenaan cukai tidak hanya untuk penerimaan negara. Cukai juga untuk mengendalikan konsumsi objek cukai. Penerimaan cukai tersebut digunakan untuk mengatasi dampak negatif dari objek cukai tersebut,” kata Budi kepada Tirto, Rabu (27/12/2023).
Menurutnya, kebijakan pajak apa pun dapat memunculkan dampak yang ambivalen atau saling bertentangan. Sebagai contoh dapat dilihat pada penerapan CHT. Kenaikan cukai rokok bisa menekan konsumsi rokok legal karena harganya akan naik.
“Akan tetapi, konsumsi rokok ilegal juga dapat meningkat ketika masyarakat mencari substitusi rokok legal berupa rokok ilegal,” ungkapnya.
Kenaikan tarif CHT dapat meningkatkan penerimaan pajak ketika konsumsi rokok tidak berubah. Namun, karena sifat pajak--termasuk cukai--bersifat distortif, masyarakat akan berpikir ulang untuk mengonsumsi rokok legal yang harganya meningkat.
“Pilihan mereka adalah mengurangi konsumsi rokok atau bahkan mencari rokok ilegal yang tentunya lebih murah,” tutup Budi.
Penulis: Faesal Mubarok
Editor: Irfan Teguh Pribadi