Menuju konten utama
Periksa Data

Akankah Kenaikan Cukai Buat Orang Berhenti Merokok?

Survei Tirto mendapatkan 46 persen responden berencana mengurangi konsumsi rokok akibat kenaikan cukai CHT tahun 2023 mendatang.

Akankah Kenaikan Cukai Buat Orang Berhenti Merokok?
Pedagang menunjukkan cukai rokok yang di jual di Jakarta, Sabtu (5/11/2022). ]ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/YU

tirto.id - "Waktunya untuk berhenti," begitu ucapan Albert, pemuda 29 tahun asal Jakarta, menanggapi kenaikan cukai 10 persen yang akan berimbas ke kenaikan harga rokok mulai tahun depan.

Hitung-hitungannya, jika memang harga rokok naik sekitar 10 persen, maka dalam satu hari dia akan merogoh setidaknya Rp 40 ribu untuk satu bungkus rokok yang biasa dikonsumsi. Angka yang ia rasa bisa lebih bermanfaat untuk hal lainnya.

Harga rokok memang akan kembali naik tahun 2023 mendatang, dan bahkan terpantau kini sudah mulai naik tipis, menurut CNN Indonesia. Hal ini menyusul pengumuman kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani usai rapat dengan Presiden Joko Widodo bersama jajarannya di Istana Bogor, Jawa Barat, awal pekan lalu.

Besaran kenaikan tarif beragam untuk golongan sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek tangan (SKT).

“Rata-rata 10 persen, nanti akan ditunjukkan dengan SKM I dan II yang nanti rata-rata meningkat antara 11,5 hingga 11,75 persen, SPM I dan SPM II naik di 12 hingga 11 persen, sedangkan SKT I, II, dan III naik 5 persen,” ujar Menkeu Sri Mulyani dikutip dari keterangan resmi Kementerian Sekretariat Negara, 3 November 2022.

Dia juga menambahkan kalau kenaikan ini berlaku untuk tahun 2023 dan tahun 2024 dengan besaran yang sama. Selain itu cukai rokok elektrik juga disebut akan naik 15 persen setiap tahunnya setidaknya untuk lima tahun ke depan.

Terdapat tiga pertimbangan utama yang mendasari pertimbangan menaikkan cukai untuk beragam jenis rokok ini, seperti yang diungkap Sri Mulyani.

Pertama, adalah upaya untuk menekan prevalensi anak-anak usia 10-18 tahun merokok. Sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), targetnya paling besar 8,7 persen pada tahun 2024.

Kedua soal konsumsinya yang tinggi dalam kebutuhan rumah tangga. "Mengingat konsumsi rokok merupakan yang kedua terbesar dari rumah tangga miskin, mencapai 12,21 persen untuk masyarakat miskin perkotaan dan 11,63 persen untuk masyarakat pedesaan," terang Menkeu.

Dia menambahkan, menurut data, konsumsi rokok adalah yang kedua tertinggi setelah beras.

"Bahkan melebihi konsumsi protein seperti telur dan ayam serta tahu dan tempe yang merupakan makanan yang dibutuhkan oleh masyarakat," tambahnya.

Terakhir, rokok disebut sebagai salah satu penyebab peningkatan risiko stunting dan kematian. Oleh sebab itu instrumen cukai digunakan untuk mengendalikan produksi juga konsumsi rokok.

“Pada tahun-tahun sebelumnya, di mana kita menaikkan cukai rokok yang menyebabkan harga rokok meningkat, sehingga affordability atau keterjangkauan terhadap rokok juga akan makin menurun. Dengan demikian diharapkan konsumsinya akan menurun,” jelas Ibu Menteri Keuangan.

Di lain sisi, pemerintah juga mengatakan telah mempertimbangkan industri rokok beserta tenaga kerja serta petani tembakau. Dampak dan penangan rokok ilegal yang akan meningkat peredarannya juga disebut akan mendapat perhatian.

Namun, apakah kira-kira langkah ini akan berhasil menurunkan konsumsi rokok nasional?

Prevalensi Perokok di Indonesia

Menarik untuk menyoroti berbagai pertimbangan pemerintah dalam menaikkan cukai untuk berbagai varian produk rokok. Pertama, soal besaran persentase perokok terutama pada kelompok usia muda, sekitar 10-18 tahun.

Terdapat beberapa data yang menunjukkan persentase perokok terhadap kelompok usia muda ini. Pertama yang secara spesifik memetakan persentase perokok usia 10-18 tahun, dapat dilihat dari Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Tahun 2013 prevalensi konsumsi tembakau pada kelompok usia remaja ini sebesar 7,2 persen. Tahun 2018 angkanya menjadi 9,1 persen. Tidak hanya naik, tapi angka ini juga sangat jauh dari target RPJMN 2019 yang kala itu sebesar 5,4 persen.

Seperti yang diucapkan Sri Mulyani, untuk tahun 2024 targetnya 8,7 persen. Tidak seambisius tahun 2019. Adapun Riskesdas dilangsungkan setiap lima tahun sekali, sehingga prevelansi merokok di kelompok umur tersebut baru akan terlihat tahun 2023 mendatang.

Namun, sebenarnya terdapat data olahan Badan Pusat Statistik (BPS) yang didapat dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) setiap tahunnya. Persentase merokok pada usia di bawah 18 tahun dikategorikan lagi berdasarkan kelompok umur.

Dari data tersebut, terlihat kalau antara 2019-2021 prevelansi merokok pada kelompok usia 10-18 tahun di bawah 4 persen. Namun, prevalensinya sangat tinggi di usia 16-18 tahun, yang menjadi penyumbang terbesar. Persentase kelompok usia ini empat tahun terakhir melebihi angka 9,59 persen, bahkan sempat mencapai 21,57 persen di tahun 2018.

Sementara jika dilihat lebih luas, prevalensi konsumsi tembakau pada penduduk berusia 15 tahun ke atas selalu berada di kisaran 30 persen sejak tahun 2007. Angkanya naik turun sejak tahun 2007 hingga yang teranyar tahun 2018.

Data ini juga sejalan dengan temuan Global Adults Tobacco Survey (GATS) yang membandingkan jumlah perokok di Indonesia tahun 2011 dan 2021. Data mereka menunjukkan kalau pada 2011 prevalensi merokok di Indonesia sebesar 34,8 persen dan pada 2021 ada 33,5 persen. Penurunannya sangat tipis, seperti yang juga disebut di laporan tersebut.

Riskesdas dan GATS juga mendapat temuan serupa soal persentase perokok berdasar jenis kelamin. Laki-laki jauh lebih dominan dengan prevelansi merokok di atas 60 persen sementara perempuan masih di bawah 7 persen, antara 2 persen hingga 6 persen.

Berdasar Riskesdas 2018 misalnya, prevalensi merokok laki-laki sebesar 62,9 persen sementara perempuan 4,8 persen. Sementara data GATS 2021 menunjukkan prevalensi merokok laki-laki 64,7 persen dan perempuan 2,3 persen.

Laporan WHO menyebut prevalensi perokok laki-laki ini salah satu yang tertinggi di dunia.

Menurut data GATS juga, komposisi persentase prevalensi merokok di antara laki-laki dan perempuan di Indonesia antara 2011 dan 2021 ini tak banyak berubah. Di antara laki-laki, perbedaan angka prevalensi antara 2011 dan 2021 adalah 67 persen dan 64,7 persen. Sementara, di antara perempuan, perbedaannya lebih tipis lagi, 2,7 persen dan 2,3 persen. Perlu diingat bahwa jumlah penduduk pun telah meningkat pesat sejak 2011 dan 2021, sehingga jumlah orang dari prevalensi merokok ini tentu meningkat.

Jadi bisa dibilang bahwa dengan segala upaya yang telah dilakukan, terutama terkait kebijakan publik dan fiskal seperti kenaikan cukai, sejauh ini, prevalensi perokok masih belum berubah banyak.

Yang menarik juga dari data GATS adalah konsumsi rokok elektrik (e-cigarettes) yang lompat 10 kali lipat prevalensinya secara umum dari 0,3 persen tahun 2011 menjadi 3 persen pada 2021.

Ambil Bagian Besar dalam Persentase Konsumsi Rumah Tangga

Lanjut mengenai proporsi dalam konsumsi rumah tangga. BPS mencatat pengeluaran pengeluaran perkapita dalam seminggu untuk tiap-tiap komoditas makanan.

Dari kumpulan data ini dapat terlihat alokasi pengeluaran untuk tiap-tiap kelompok makanan yang juga didetailkan untuk tiap produknya. Melihat data secara umum saja, rata-rata perkapita konsumsi masyarakat untuk keseluruhan makanan pada tahun 2021 mencapai Rp 145.331/minggu. Dari jumlah ini kategori rokok dan tembakau ambil bagian Rp 17.689, atau sekitar 12,3 persen.

Kelompok rokok dan tembakau juga menjadi kelompok pengeluaran makanan terbesar kedua setelah makanan dan minuman jadi. Ini berarti masyarkat lebih banyak mengeluarkan uang untuk membeli rokok ketimbang bahan makanan lain, termasuk daging dan telur.

Sementara melihat data komoditas yang memberi sumbangan terhadap garis kemiskinan teranyar, rokok kretek filter menjadi komoditas makanan kedua terbesar. Dengan persentase sebesar 12,21 persen untuk wilayah perkotaan dan 11,63 persen untuk wilayah pedesaan, rokok kretek filter mengekor beras yang menjadi komoditas kontributor garis kemiskinan tertinggi.

Mengendalikan Produksi dan Konsumsi Rokok

Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization, WHO) menyebut setiap tahunnya sekitar 225.700 orang di Indonesia meninggal akibat rokok atau menderita penyakit yang berkaitan dengan tembakau.

Sementara Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) menyebutkan kalau tembakau dan kaitannya dengan kebiasaan merokok menjadi faktor risiko kedua terbesar penyebab kematian dan disabilitas di Indonesia.

Laporan Atlas Tembakau Indonesia 2020, yang diterbitkan Tobacco Control Support Center-Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) juga mengatakan angka kematian nasional akibat rokok adalah 88 orang per 10 ribu penduduk.

Berdasar data-data ini setidaknya bisa tergambar bahaya merokok bagi kesehatan. Oleh sebab mengendalikan konsumsi rokok masyarakat dan produksinya menjadi hal yang penting.

Pemerintah telah melaksanakan beberapa kebijakan untuk mengendalikan konsumsi rokok, di antaranya melalui instrumen cukai. Kenaikan tarif cukai hasil tembakau dalam beberapa tahun mengalami fluktuasi.

Berdasar rangkuman Data Indonesia, kenaikan tarif cukai rokok sejak tahun 2012 selalu di atas 8 persen, meski tidak ada kenaikan pada tahun 2014 dan 2019. Tahun 2020 peningkatan tarif cukai mencapai 23 persen, tertinggi selama satu dekade terakhir.

Selain mengendalikan produksi dan konsumsi rokok, cukai juga terbukti menyumbang penerimaan negara yang besar. Tahun 2020, realisasi penerimaan cukai hasil tembakau berkontribusi terhadap 10,4 persen pendapatan negara, tertinggi sejak 2015. Tahun 2021 kontribusinya kembali naik lagi mencapai 10,9 persen.

Tarif cukai di Indonesia juga telah sesuai dengan rekomendasi WHO. Temuan mereka menyebut, kenaikan tarif tembakau sebesar 10 persen akan menurunkan konsumsi produk tembakau sekitar 4 persen di negara berpenghasilan tinggi dan sekitar 5 persen di negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Menurut WHO kenaikan tarif cukai ini adalah cara paling hemat untuk menekan angka konsumsi tembakau dan biaya perawatan kesehatan terutama di kalangan pemuda dan masyarakat berpenghasilan rendah.

Perubahan Kebiasaan Merokok

Seperti yang diutarakan Menkeu Sri Mulyani, kenaikan CHT akan diikuti dengan kenaikan harga produk rokok itu sendiri yang akan berdampak ke keterjangkauannya bagi masyarakat.

Upaya tersebut setidaknya membuat para perokok mempertimbangkan untuk mengurangi konsumsi rokok. Hal ini juga ditemukan pada survei yang dilakukan Tirto bersama Jakpat, terkait rencana perubahan kebiasaan merokok setelah pengumuman kenaikan tarif cukai.

Jakpat adalah penyedia layanan survei daring yang memiliki lebih dari 1,1 juta responden. Survei ini dilakukan pada pada 20 September 2022 dan melibatkan 1.500 responden berusia 15 tahun sampai 41 tahun.

Survei dilangsungkan pada 9 November 2022 dengan melibatkan 1.500 responden. Mengingat populasi perokok di Indonesia yang dominan laki-laki, pada survei ini pun mayoritas (86,7 persen) adalah laki-laki dan sekitar 13 persen sisanya perempuan.

Responden datang dari berbagai kelompok usia, namun yang paling banyak, mereka yang berusia 20-25 taun (29,87 persen) diikuti 30-35 tahun (22,20 persen), 26-29 tahun (15,73 persen), dan 36-39 tahun (10,13 persen). Sisanya dari beragam kelompok usia dengan persentase di bawah 10 persen. Mayoritas responden juga tinggal di Pulau Jawa, terutama Jawa Barat (30,47 persen) dan DKI Jakarta (21,4 persen).

Dari total responden, didapatkan sekitar 52,4 persen adalah perokok aktif atau jumlahnya 786 orang. Dari jumlah tersebut kemudian diketahui kalau rokok filter menjadi jenis rokok yang paling banyak dipilih. Lebih dari 80 persen responden mengonsumsi rokok jenis ini. Diikuti rokok kretek yang dipilih 37,79 persen responden. Hanya sekitar 16 persen responden yang menggunakan rokok elektrik.

Dari keseluruhan responden yang merokok, kemudian diketahui kalau hampir setengahnya (46,18 persen), berencana mengurangi konsumsi rokok akibat kenaikan tarif CHT dan cukai rokok elektrik mulai tahun 2023 mendatang. Sekitar 6,87 persen responden bahkan berencana berhenti merokok sepenuhnya seiring kenaikan harga rokok.

Temuan ini senada dengan temuan survei GATS pada tahun 2021 yang mendapatkan 43,8 persen responden sebetulnya berusaha berhenti merokok, meski dalam riset tersebut tidak disebutkan sebabnya.

Namun, kenaikan harga rokok ternyata tidak berpengaruh bagi sebagian responden. Sebanyak 24,55 persen responden mengaku tidak akan merubah kebiasaan merokoknya meski harga rokok naik. Sementara terdapat 22,14 persen responden yang mengaku akan mengganti ke produk rokok yang lebih murah.

"Tetap akan merokok, tapi jangan terus dinaikin. Pikirkan perokok kelas bawah. Dengan adanya kenaikan ini dikhawatirkan akan banyak orang beralih ke rokok ilegal karena lebih murah," ujar salah seorang responden yang mengelaborasi jawabannya lebih jauh.

Dari survei ini juga didapat temuan bahwa rata-rata responden menghabiskan satu bungkus rokok dalam satu hari (41,12 persen). Diikuti dengan mereka yang merokok 6-11 batang (24,41 persen) dan 1-5 batang (24,15 persen).

Mereka yang mengkonsumsi lebih dari satu bungkus rokok, totalnya hanya sekitar 10 persen. Adapun jumlah responden dari pertanyaan ini tak termasuk mereka yang hanya mengonsumsi rokok elektrik.

Sejalan dengan rata-rata jumlah konsumsi, alokasi dana untuk membeli rokok dalam satu hari juga masih di bawah Rp 40 ribu. Bergantung dari merek rokok, kebanyakan responden menghabiskan Rp 13 ribu - Rp 20 ribu (36,26 persen) atau Rp 21 ribu - Rp 40 ribu (39,06 persen).

Persentase mereka yang membeli rokok ketengan juga tergolong kecil karena hanya ada 15,39 persen responden yang mengaku menghabiskan Rp 1.500 - Rp 12 ribu.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Alfons Yoshio Hartanto

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Alfons Yoshio Hartanto
Editor: Farida Susanty