Menuju konten utama

Pemerintah Diminta Perhatikan Ini Sebelum Naikkan Cukai Tembakau

Candra merekomendasikan agar pemerintah mempertimbangkan berbagai sisi yang terlibat dalam kebijakan kenaikan tarif cukai dan harga rokok di Indonesia.

Pemerintah Diminta Perhatikan Ini Sebelum Naikkan Cukai Tembakau
Sejumlah pekerja menyelesaikan pembuatan Rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) di Kudus, Jawa Tengah, Jumat (11/11). Pemerintah melalui Menteri Keuangan menaikan cukai hasil tembakau 2017 sebesar 13,46 persen Sigaret Putih Mesin (SPM) dan terendah adalah sebesar 0 persen untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT) golongan IIIB dengan kenaikan rata-rata tertimbang sebesar 10,54 persen serta menaikan Harga Jual Eceran (HJE) dengan rata-rata sebesar 12.26 persen. ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/foc/16.

tirto.id - Rencana kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) pada 2023 mendatang mendapat penolakan dari berbagai pihak. Merujuk dokumen Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023, pemerintah akan menaikan cukai sebesar Rp245,4 triliun.

Direktur Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Braijaya (PPKE FEB-UB), Candra Fajri Ananda mengatakan, berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Kebijakan Ekonomi (PPKE FEB UB) 2022, merekomendasikan agar pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai sisi yang terlibat dalam kebijakan kenaikan tarif cukai dan harga rokok di Indonesia.

Diantaranya adalah pemerintah perlu memperhatikan sisi tenaga kerja, penerimaan CHT, kesehatan, rokok ilegal, industri, hingga pertanian.

Candra mengatakan, hasil kajian yang berjudul 'Analisa Keseimbangan Kebijakan IHT di Indonesia' tersebut merinci bahwa keberlangsungan industri hasil tembakau (IHT) legal menjadi bagian penting dalam pertimbangan kebijakan cukai di Indonesia, untuk menjaga keberlangsungan IHT demi mendorong terbukanya lapangan pekerjaan dan menurunkan angka pengangguran di Indonesia.

Hal itu perlu dilakukan mengingat indikator angka prevalensi merokok usia dini telah tercapai di RPJMN yang menargetkan penurunan sebesar 8,7 persen. Pada perkembangannya, presentase penduduk merokok usia dini (10-18 tahun) telah melebihi capaian target pemerintah dari 7,2 persen (2013) menjadi 3,8 persen (2020).

"Hasil kajian itu menunjukkan bahwa kenaikan harga yang terlalu tinggi akan mengancam kesinambungan IHT yang terbukti mengalami penurunan jumlah pabrikan rokok terutama golongan 1. Pasalnya, golongan 1 memiliki tingkat sensitivitas terbesar apabila terjadi perubahan harga. Kenaikan harga rokok pada golongan 2 dan 3 memberikan kontribusi besar terhadap kenaikan peredaran rokok ilegal," kata Candra dalam keterangan di Jakarta, Rabu (12/11/2022).

Candra mengatakan, secara umum kenaikan harga rokok akan berdampak negatif terhadap keberlangsungan IHT dan pertumbuhan penerimaan CHT. Kenaikan harga berpengaruh secara langsung terhadap kenaikan jumlah permintaan rokok ilegal.

"Kenaikan harga rokok yang dilakukan secara terus menerus akan berdampak terhadap peningkatan peredaran rokok ilegal dan keberlangsungan IHT yang selanjutnya juga dapat meningkatkan dampak negatif bagi kesehatan konsumen rokok dan berpotensi menurunkan penerimaan negara," terangnya.

Oleh sebab itu, kenaikan harga rokok bukan langkah efektif untuk mengendalikan konsumsi rokok. Sebab, dampak kenaikan harga rokok terhadap peningkatan peredaran rokok ilegal dan penurunan pabrik rokok lebih besar dibandingkan dengan penurunan angka prevalensi merokok.

"Saat ini, pemerintah perlu menahan kenaikan harga rokok untuk menjaga keseimbangan pilar lain yang terlibat dalam IHT," ujar Prof. Candra.

Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar (Mintegar) Kementerian Perindustrian, Edy Sutopo mengusulkan agar tidak ada kenaikan cukai hasil tembakau 2023. Kalaupun dinaikan, pihaknya mengusulkan angkanya setinggi inflasi. Karena kenaikan cukai ini tidak bisa diikuti secara otomatis oleh kenaikan harga.

"Kalau tidak ada waktu jeda, maka ini akan mengikis margin atau barangkali akan berdampak buruk terhadap kelangsungan IHT," katanya.

Menurut Edy Sutopo, dalam 3 tahun terakhir, CHT terus digeber naik. Tahun 2020 naik sebesar 23 persen, 2021 naik sebesar 12 persen, dan 2022 sebesar 12 persen. Karena itu, berbagai kebijakan terhadap cukai perlu kehati-hatian, salah satu dampaknya akan mendorong meningkatnya rokok ilegal.

"IHT merupakan salah satu bantalan perekonomian nasional, di samping industri kecil menengah dan industri makanan minuman. IHT juga sudah terbukti menghadapi berbagai krisis ekonomi, termasuk di masa pandemi COVID-19 yang belum berlalu ini," terangnya.

Dia menambahkan, Indonesia saat ini masih membutuhkan sumbangsih IHT. Artinya, diperlukan sikap kehati-hatian dalam pengambilan kebijakan. Kebijakan yang ketat terhadap IHT berpotensi akan mematikan kelangsungan IHT. Di lain pihak, dengan pengetatan kebijakan ini, perokok tidak akan berhenti. Artinya jika tidak mengisi kebutuhan rokok di dalam negeri, maka akan diisi oleh produk impor dan produk ilegal.

“Kebijakan yang seimbang yang memerhatikan segala aspek kebijakan yang berkeadilan terhadap IHT sangat diperlukan. Kami sangat support terhadap penyusuan roadmap IHT yang dikomandoi Pak Atong Soekirman (Kemenko Perekonomian). Roadmap ini dapat memberikan payung hukum bagi kepastian usaha ke depan,” terangnya.

Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun mendorong pemerintah perlu segera menambah alternatif barang kena cukai (BKC) sebagai upaya mendorong peningkatan penerimaan negara, mengingat kenaikan tarif cukai rokok telah mencapai titik optimum dalam mendorong penerimaan. Menurutnya, penerimaan cukai di Indonesia selama ini hanya mengandalkan 3 obyek BKC, yakni CHT, MEA, MMEA.

"Kami mendorong multi stakeholders untuk mengonsolidasikan kekuatan bersama untuk kepentingan negara yang sangat fundamental yaitu penerimaan negara yang sangat besar," tegas dia.

Politisi partai Golkar ini mengingatkan para pengambil kebijakan negara jangan sampai terkooptasoi oleh agenda-agenda global yang ingin menginfiltrasi kelangsungan eksosistem tembakau yang punya peran strategis bagi negara, seperti dorongan aksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), penyederhanaan (simplifikasi) tarif cukai, dan masih banyak lagi.

“Proses membajak kebijakan negara yang seperti itu harus diluruskan,” tegasnya.

Baca juga artikel terkait CUKAI TEMBAKAU atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang