tirto.id - Siang itu, pada Jumat (26/7/2024), di pameran otomotif Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2024, pengunjung mengerumuni sejumlah mobil listrik yang dipamerkan, termasuk Hyundai Ioniq 5 N. Bahkan, Volkswagen ID Buzz alias VW combi listrik, membuat pengunjung mengantri hanya sekedar untuk berfoto.
Pemandangan yang sama terlihat pada bagian pameran yang menampilkan mobil listrik lain, seperti Honda e:N1 dan Toyota Mirai FCEV yang memamerkan teknologi fuel cell-nya.
Pameran yang berlangsung sekitar 11 hari, antara 18-28 Juli 2024, di Indonesia Convention Exhibition Center (ICE), Tangerang, Banten, tersebut, menjadi saksi peluncuran setidaknya 10 produk mobil listrik baru. Model seperti Hyundai Ioniq 5 N, VW ID Buzz, dan BYD M6, pertama kali melantai di ajang GIIAS 2024. BYD M6, yang debut di Indonesia pada hari pertama pameran, bahkan mendapat gelar "Most Driven Car" atau mobil paling sering dicoba dalam sesi test drive.
Tak heran, dari sebanyak 30 merek kendaraan roda empat yang memamerkan mobil-mobil andalannya, hampir semua memajang mobil listrik.
Berdasar pantauan Tirto, tidak kurang dari 50 jenis mobil listrik yang ditawarkan untuk pasar Indonesia dari merek-merek mobil yang tampil di GIIAS 2024.
Lantas, apa artinya ini? Apakah pasar mobil listrik saat ini memang sedang menggeliat? Bagaimana respon pengguna muda terkait pendatang baru di kancah otomotif Indonesia ini?
Penjualan Mobil Listrik di Indonesia Terus Meroket
Perlu diketahui, dalam lima tahun terakhir, penjualan mobil setrum di Indonesia mengalami kenaikan signifikan, seiring mulai masuknya beragam pilihan.
Datawholesales Gaikindo menunjukkan penjualan mobil listrik berbasis baterai (battery electric vehicle, BEV) saja, tanpa menghitung mobil hybrid, dari yang hanya ratusan unit sepanjang tahun 2020, melonjak belasan kali lipat hingga mencapai lebih dari 17 ribu unit pada tahun 2023.
Sementara di tahun 2024, hingga Juni saja, penjualan BEV sudah mencapai angka sekitar 11 ribu unit. Jika dibandingkan dengan periode Januari-Juni 2023, kenaikannya sekitar dua kali lipat, ketika jumlah BEV yang terjual mencapai 5.846 unit.
Adapun data wholesales Gaikindo merujuk ke data penjualan dari pabrikan/produsen mobil ke diler-diler resmi mereka. Data ini berbeda dengan retail sales yang menggambarkan penjualan mobil yang sampai ke pengguna akhir.
Menariknya, kenaikan penjualan mobil listrik secara tahunan pada paruh pertama tahun 2024 terjadi saat penjualan mobil secara umum sedang mengalami penurunan. Dalam enam bulan pertama tahun ini, penjualan mobil dalam negeri secara keseluruhan baru sekitar 408 ribu unit. Angka tersebut lebih kecil dibanding penjualan mobil pada periode yang sama tahun 2023 (506.427 unit) dan tahun 2022 (475.030 unit).
Pada dua periode tersebut penjualan mobil dalam negeri juga baru kembali ke angka 1 juta-an, setelah dihantam pandemi Covid-19, yang membuat industri otomotif lesu.
Melihat proporsinya, mobil listrik jenis BEV sudah mengambil sekitar 2,89 persen dari penjualan mobil baru di Indonesia, selama Januari-Juni 2024.
Bermunculannya ragam pilihan mobil listrik, yang harganya semakin terjangkau, juga menjadi faktor penting. Merujuk data Gaikindo, pada tahun 2020 hanya ada beberapa model saja, seperti Hyundai Ioniq, Hyundai Kona, dan Lexus UX300e, yang dipasarkan di Indonesia.
Tiga mobil tersebut juga bisa dikategorikan kelas atas, mengingat harganya yang di atas Rp600 juta kala itu.
Tahun 2024, masih berdasar data Gaikindo, tidak kurang dari 30 model mobil listrik berbasis baterai dipasarkan untuk pasar dalam negeri. Jumlah tersebut masih belum termasuk model-model mobil listrik yang baru debut di GIIAS 2024.
Pilihan yang banyak, diikuti juga dengan ragam harga mobil listrik. Pemantauan Tirto, mobil listrik paling ekonomis sudah masuk di rentang harga Rp100 juta-an. Terdapat Seres E-1 B-Type (Rp189 juta) dan Wuling Air EV Lite (Rp190 juta) sebagai mobil listrik termurah di Indonesia saat ini. Untuk rentang harga setara mobil konvensional pun, mobil listrik mulai hadir.
Selain BEV, mobil listrik dengan teknologi hybrid juga makin populer dan laris di pasaran. Mobil yang memadukan mesin konvensional (pembakaran bensin/solar) dan motor listrik juga menunjukkan perkembangan dalam jumlah penjualan di Indonesia.
Berdasar data wholesales Gaikindo pada paruh pertama 2024, sudah lebih dari 25 ribu unit mobil berteknologi hybrid terjual di Indonesia hingga bulan Juni. Angka ini sudah melampaui penjualan mobil hybrid sepanjang tahun 2023, sekitar 16,5 ribu unit.
Beberapa model mobil populer seperti Toyota Kijang Innova Zenix, Toyota Corolla Altis, Suzuki Ertiga, dan Honda CR-V mulai ditawarkan dengan opsi pilihan mesin hybrid.
Tirto juga sempat mendata wholesales jenis Plug-in Hybrid Electric Vehicle (PHEV). Namun, perkembangannya cenderung stagnan dan sangat kecil jumlahnya dibanding kedua jenis mobil listrik lain.
Pada periode 2020-2023, hanya ada 107 unit yang dipasarkan di Indonesia. Pada semester I tahun 2024, hanya ada tiga unit mobil PHEV yang terjual. "Jagoan" dari PHEV di Indonesia, Mitsubishi Outlander PHEV, juga sudah tidak terlihat namanya di daftar wholesales Gaikindo 2024.
Masih Perlu Didorong
Meski pertumbuhannya menunjukkan tren positif, nampaknya masih perlu upaya ekstra untuk memasarkan mobil listrik di Indonesia. Sebab, pemerintah, lewat Kementerian ESDM, sempat mengungkapkan target 2 juta unit mobil listrik mengaspal di Indonesia pada tahun 2030.
"Pemerintah Indonesia telah menetapkan target yang ambisius untuk penerapan kendaraan listrik, yang bertujuan untuk memiliki 2 juta unit mobil listrik dan 13 juta unit kendaraan listrik roda dua di jalan pada tahun 2030," tutur Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dadan Kusdiana, Mei 2024 lalu, dikutip dari siaran pers ESDM.
Jika menjumlah seluruh BEV yang terjual sejak tahun 2020, jumlahnya baru 39.960 unit. Jika dijumlahkan dengan mobil hybrid (85.855 unit), jumlahnya baru sekitar 125 ribu unit. Masih ada "pekerjaan rumah" untuk memasarkan 1,8 juta unit mobil listrik lagi dalam lima tahun mendatang.
Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Jongkie Sugiarto mengatakan, terkait target tersebut perlu adanya upaya dari produsen mobil listrik untuk menghadirkan produk yang terjangkau bagi masyarakat Indonesia.
“Yang penting, BEV dapat diproduksi semurah mungkin. Sehingga harganya terjangkau bagi masyarakat luas,” tuturnya kepada Tirto, Rabu (31/7/2024).
Gen Z Minat Besar Beli Mobil Listrik Tapi Khawatir soal Infrastruktur?
Kabar baiknya, mobil listrik akan punya pasar potensial yang besar di masa depan. Anak muda di Indonesia punya ketertarikan untuk memiliki mobil listrik. Hal itu tercermin dari surveiTirto bersama Jakpat pada Januari 2023 lalu.
Survei tersebut menyasar ke 1.500 orang responden dengan beragam kelompok umur, yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia. Namun, setelah melakukan pemilahan, terlihat mayoritas responden berada di kelompok usia 15-26 tahun (Gen Z) dan usia 27-42 tahun (Milenial).
Kami menemukan bahwa sekitar 83,61 persen dari 537 Gen Z (lahir antara 1997-2012) mengaku tertarik membeli mobil listrik, baik dalam waktu dekat atau pun di masa mendatang.
Bahkan, ada 124 responden usia Gen Z, atau sebanyak 18,76 persen dari total 661 responden Gen Z, yang bilang telah memiliki mobil listrik–yang mana bisa saja merujuk pada mobil milik orang yang tinggal serumah, misal mobil milik orang tua.
Tingginya animo itu tak hanya dijumpai di kalangan Gen Z. Dari survei Tirto bersama Jakpat, terlihat kalau Milenial (lahir tahun 1981 - 1996) juga berminat punya mobil listrik.Ppersentasenya sebesar 82,67 persen dari total 629 responden Milenial yang mengaku belum memiliki mobil listrik.
Ketika ditanya terkait alasan menginginkan mobil listrik, atau telah memiliki mobil listrik, para Gen Z menjawab faktor utamanya yakni mengurangi ketergantungan terhadap Bahan Bakar Minyak atau BBM (69,11 persen) dan dianggap lebih ramah lingkungan (67,02 persen).
Jawaban serupa juga datang dari kelompok Milenial. Sebanyak 71,5 persen responden menyebut alasan ingin membeli mobil listrik adalah lebih ramah lingkungan, dan 72,9 persen ingin mengurangi ketergantungan terhadap BBM.
Temuan itu selaras dengan hasil riset Paramita dkk yang dimuat di Jurnal Young Consumers (2024). Menariknya, selain kepedulian terhadap lingkungan. motivasi Gen Z dan Milenial dalam membeli mobil listrik juga dilatarbelakangi oleh keinginan untuk meningkatkan penerimaan sosial.
Hal itu termasuk sekadar untuk membangun afiliasi atau jejaring, maupun mencari atau mempertahankan pasangan hidup.
Lebih lanjut, survei Tirto bersama Jakpat juga mendapatkan alasan populer lain terkait keinginan memiliki mobil listrik, yakni anggapan bahwa teknologi dan modelnya futuristik. Terdapat 43,63 persen responden Gen Z menjawab opsi tersebut.
Selain itu, alasan terkait biaya operasional lebih murah ketimbang mobil konvensional juga banyak menjadi pilihan (54,98 persen) oleh Milenial.
Ilo (23 tahun), pemuda yang bekerja di Cikarang, menceritakan ketertarikannya terhadap kendaraan listrik. “Karena gue melihat, mobil listrik ini, kalau dihitung-hitung, bisa dibilang cukup hemat. Tapi kita harus lihat perkembangannya juga, karena kan baru belakangan juga banyak mobil listrik banyak masuk dari Tiongkok, dari Eropa, dari Jepang,” tuturnya ketika berbicara dengan Tirto, Rabu (31/7/2024).
Menurut pengalaman dari teman-temannya, benefit secara finansial dengan menggunakan mobil listrik cukup besar. Mulai dari pajak yang banyak mendapat insentif dari pemerintah, sampai dengan pengeluaran untuk bahan bakar, juga lebih ramah kantong.
“Beberapa teman itu sudah pakai mobil listrik. Mereka bisa menekan pengeluaran (untuk bensin) bisa setengah, bahkan lebih. Jadi pengeluaran untuk bensin, misal Rp400 ribu, itu bisa kurang dari Rp200 ribu, kalau pakai mobil listrik,” ceritanya.
Sementara itu, Yoga (26 tahun) yang berdomisili di Lamongan, Jawa Timur, pun mengamini hal tersebut. Mobil listrik segmen crossover-sport utility vehicle (SUV), spesifiknya Ioniq 5 milik Hyundai, bahkan berhasil memikat perhatiannya, dari sebelumnya yang tak terpikir untuk membeli mobil.
“Sebenarnya ada satu fitur keren yang aku kayak kagum sekali dengan Ioniq 5. Mereka itu klaim kalau mereka bisa dijadikan genset buat rumah. Terus sama mereka itu punya, mereka klaim punya mode camping gitu. Jadi orang bisa tidur di dalam mobil itu dalam posisi mesin menyala dan mereka aman. Menurutku keren banget sih,” bebernya ketika berbincang lewat Zoom, Rabu (31/7/2024).
Jika dibandingkan dengan mobil BBM, Yoga pun berpendapat bahwa biaya isi baterai mobil listrik terhitung lebih murah. Pengisian penuh hingga 100 persen disebut bisa didapat dengan merogoh kantong sebanyak Rp250 ribu, berdasar informasi yang ia kumpulkan dari di media sosial.
Tapi, mobil listrik bukan berarti tanpa kekurangan. Sebagai orang yang tinggal di Lamongan, Yoga menyoroti soal infrastruktur, di mana ia merasa Stasiun Pengisian Listrik Umum (SPKLU) di daerah kediamannya masih nihil.
“Jadi mau gak mau harus di rumah, kalau di rumah itu harus naikin daya juga. Menurut aku sih kayaknya itu minusnya, atau kalau misalnya aku ke tempat yang lebih pelosok, itu makin gak ada charging station-nya, belum merata lah,” tuturnya.
Kekhawatiran terkait masih minimnya infrastruktur SPKLU alias charging station, ini juga yang diutarakan oleh Ahmad (20 tahun), dan Surya (23 tahun). Dua pemuda yang ditemui Tirto ketika sedang melihat0lihat dan mencoba duduk dalam kemudi salah satu mobil listrik di GIIAS 2024, Jumat (26/7/2024) lalu.
Mereka mengaku sangat tertarik dengan teknologi mobil listrik, namun khawatir dengan kemungkinan kehabisan baterai di jalan saat sedang bepergian jauh.
“Mungkin kalau sekarang masih lebih pilih mobil seperti (Toyota) Avanza, karena selain tidak perlu memikirkan soal charging station, harganya juga masuk akal untuk mobil 7-seater,” ujar Ahmad.
Sementara Surya, yang mengaku sudah menggunakan mobil Suzuki Ertiga Hybrid, yang merupakan mobil milik keluarganya, merasa ingin mencoba teknologi BEV.
“Tapi harus sudah banyak dulu tempat pengisian dayanya, biar nggak takut buat pergi jauh,” tuturnya.
Dia juga berharap adanya lebih banyak opsi mobil listrik model multi purpose vehicle (MPV). Bagi beberapa anak muda, nyatanya mobil MPV dengan kapasitas tujuh penumpang masih cukup penting.
Seperti yang diungkap sejumlah Gen Z, temuan Tirto pun memperlihatkan isu infrastruktur sebagai kekurangan yang digarisbawahi oleh mayoritas responden Gen Z. Dari jajak pendapat Tirto yang sama, sebanyak 59,46 persen Gen Z terlihat memilih opsi itu. Masih terkait, soal ketakutan baterai habis saat pemakaian (57,64 persen) juga masih menjadi poin minus soal dari mobil listrik.
Mengekor di belakangnya ketakutan baterai habis saat digunakan, harganya yang masih mahal, tidak aman alias takut meledak atau konslet, dan masih terbatasnya layanan purna jual untuk mobil listrik.
Terkait dengan problem kekhawatiran masyarakat, secara khusus anak muda terhadap ketersediaan infrastruktur kendaraan listrik, Jongkie dari Gaikindo pun sependapat.
Menurut dia ada baiknya pertumbuhan infrastruktur seperti SPKLU dilakukan secara berkolaborasi. “Mungkin dengan melibatkan pihak swasta juga (untuk mendorong pertumbuhan SPKLU di luar jabodetabek),” tuturnya kepada Tirto.
Dia menambahkan, tren mobil listrik yang mulai dilirik anak muda juga menjadi hal yang wajar. Sebab, menurut Jongkie, mereka lebih mau mencari tahu, sehingga lebih teredukasi soal teknologi kendaraan listrik.
Pemerintah Perlu Kampanye Lebih Masif Terkait Manfaat Mobil Listrik
Akademisi sekaligus Pengamat Otomotif Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Martinus Pasaribu, juga melihat pendekatan mobil listrik yang dibuat serba canggih dan terintegrasi dengan perangkat digital, kian dekat dan menarik atensi anak muda.
“Hal inilah yang membuat EV mampu menawarkan UX (pengalaman penggun) berkendara yang berbeda dan modern, dengan akselerasi halus, kabin yang senyap, dan fitur-fitur hiburan dan navigasi yang canggih. Pengalaman ini sesuai dengan ekspektasi Gen Z yang mencari kenyamanan dan fitur futuristik,” terangnya lewat pesan singkat kepada Tirto, Selasa (30/7/2024).
Namun, dia berpendapat kalau masih ada pekerjaan rumah dari lembaga pemerintahan untuk lebih banyak mengkampanyekan keuntungan menggunakan kendaran listrik. Selain itu penting juga terkait pemerataan infrastruktur seperti SPKLU di luar wilayah perkotaan seperti Jabodetabek.
Sebab, jika infrastruktur belum siap, Yannes sangsi target pemerintah sebanyak 2 juta unit mobil listrik beroperasi di Tanah Air pada 2030 mendatang bisa tercapai. Sejauh ini, Yannes mengungkap, pemerintah belum memiliki langkah konkrit dalam mendorong masyarakat dalam menggunakan mobil listrik.
“Setidaknya mereka harus ingat bahwa ini adalah program top down dari pemerintah pusat, bukanlah market pull, sehingga seharusnya, pemerintah lah yang memulai berhenti membeli kendaraan ICE dan menjadi panutan di masyarakat dalam penggunaan kendaraan listrik, seperti yang dilakukan oleh pemerintah China,” ujarnya.
Yannes menyebut Tiongkok berhasil mengembangkan industri kendaraan listriknya dengan sukses setelah pemerintahnya menggunakan kendaraan listrik terlebih dahulu. Hal ini dilakukan untuk membangun ekosistem yang kompetitif dan mengedukasi masyarakat tentang teknologi baru kendaraan listrik.
Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dadan Kusdiana, mengungkap pihaknya terus mempercepat pembangunan infrastruktur pendukungnya sehingga terbentuk ekosistem kendaraan listrik.
Saat ini, Dadan mengakui masih terdapat kesenjangan harga yang tinggi antara kendaraan listrik dengan kendaraan konvensional. Untuk menutup disparitas tersebut, pemerintah berupaya memberikan insentif pajak dan subsidi untuk mobil listrik, mobil hibrida, dan sepeda motor listrik.
"Indonesia menyiapkan dana 455 juta dolar AS untuk mensubsidi penjualan sepeda motor listrik. Subsidi tersebut mencakup penjualan 800 ribu sepeda motor listrik baru dan konversi 200 ribu sepeda motor bermesin pembakaran," ujar Dadan.
Sementara untuk mendukung terbentuknya ekosistem kendaraan listrik, pemerintah mengaku terus memperbanyak pembangunan SPKLU, yang diperkirakan pada 2030 mendatang dibutuhkan sebanyak 32.000 unit, untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat.
==
Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Decode, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.
Editor: Farida Susanty