tirto.id - Cukai Hasil Tembakau (CHT) akan kembali naik mulai 1 Januari 2024. Kenaikan tersebut merupakan keberlanjutan dari tahun ini, sejalan dengan implikasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191 Tahun 2022, dan PMK Nomor 192 Tahun 2022.
CHT untuk rokok ditetapkan naik rata-rata sebesar 10 persen untuk tahun ini dan meningkat kembali 10 persen di 2024. Sedangkan untuk CHT rokok elektronik rata-rata sebesar 15 persen dan hasil pengolahan tembakau lainnya rata-rata sebesar 6 persen.
"Ya insyaallah akan berjalan di Januari 2024 sesuai ketentuan yang telah ditetapkan. Dan sudah disiapkan pita cukai yang baru sesuai dengan pesanan industri rokok,” kata Direktur Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Askolani, saat dikonfirmasi Tirto, Kamis (21/12/2023).
Dalam konferensi pers APBN Kita akhir pekan lalu, Askolani mengatakan kenaikan tersebut bertujuan untuk menjaga prevalensi perokok yang tinggi. Prevalensi penghisap rokok tembakau di Indonesia sendiri sudah memprihatikan, relatif meningkat kurun satu dekade terakhir.
Di negara ini, sekitar 70,2 juta orang atau setara 34,5 persen dari total populasi orang dewasa mengonsumsi produk tembakau, terdiri atas 65,5 persen pria dan 3,3 persen wanita. Jumlahnya tergolong paling banyak di Asia Tenggara.
Bukan hanya orang dewasa, rokok juga seolah-olah telah menjadi barang konsumsi yang wajar di kalangan remaja Indonesia. Tak sedikit yang bahkan masih tergolong anak-anak. Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO, prevalensi mereka ikut meningkat dalam 10 tahun terakhir.
Tapi tidak sekedar menurunkan prevalensi perokok, tujuan lain pemerintah menaikan CHT tersebut juga untuk mempertimbangkan petani cengkeh dan tembakau. Serta bentuk pengawasan yang konsisten dilakukan terhadap produk rokok.
“Pengawasan konsisten kita lakukan dan kita juga mendapatkan penerimaan dari kebijakan CHT tersebut,” ujar Askolani saat konferensi pers APBN Kita, di Jakarta, Jumat (15/12/2023).
Untuk tahun depan, Kemenkeu sendiri memang hanya menyiapkan 17 juta pita cukai rokok baru untuk kebutuhan mulai Januari mendatang. Pita cukai rokok tersebut akan dicetak di Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri), yang ditargetkan selesai sebelum 2024.
Askolani menuturkan, pengaturan ketersediaan pita cukai rokok tersebut menjadi bentuk konsistensi untuk melakukan pengawasan yang semakin ketat. Karena berdasarkan catatan terakhir, tindakan daripada pengawasan pita cukai palsu sudah mencapai 641 juta batang rokok.
Di sisi lain, sebuah studi universitas menunjukkan penindakan pita cukai ilegal membantu meningkatkan produksi rokok sekitar 5,3 persen. Juga berkontribusi untuk peningkatkan penerimaan negara 0,3 persen.
“Tentunya tindakan legal sangat dibutuhkan jangan sampai kemudian rokok-rokok legal dikalahkan dengan rokok yang ilegal dengan peredaran pita cukai yang tidak pas,” ujar dia.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, melihat bahwa umumnya kenaikan cukai rokok untuk tahun depan sudah disetujui oleh semua pihak pada dua tahun lalu. Terlebih kenaikan ini sudah ditetapkan dari dua tahun lalu melalui PMK 191/PMK.010/2022 yang menetapkan tarif cukai rokok untuk 2023 dan 2024.
“Jadi, semua pihak harusnya menghargai keputusan kenaikan tarif pada 2024,” kata dia kepada Tirto, Kamis (21/12/2023).
Jika kemudian masih ditolak, kata Fajry, ini akan menjadi preseden buruk ketika pemerintah ingin membuat rancangan kebijakan tarif untuk jangka menengah-panjang atau sebuah roadmap. Karena industri tembakau sendiri butuh kepastian dalam kebijakan tarif cukai rokok dan roadmap dalam jangka menegah-panjang.
Kenaikan Cukai Tak Optimal Turunkan Konsumsi Rokok?
Sementara itu, Ketua Riset dan Kebijakan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Olivia Herlinda, justru menyoroti besaran kenaikan cukai sebesar 10 persen diterapka Indonesia. Menurut dia, kenaikan tersebut sangat kecil untuk bisa melihat efektivitas dari kebijakan ini dalam menurunkan konsumsi.
Sebab, jika naik rerata 10 persen, itu kurang lebih sekitar Rp1000-an kenaikan dari setiap produk rokok. Sementara rekomendasi WHO sendiri, kata dia, minimal sebesar 75 persen.
“Kenaikan cukai di Indonesia tidak pernah cukup optimal untuk menurunkan konsumsi tembakau," kata dia kepada Tirto, Kamis (21/12/2023).
Olivia mengungkapkan studi di berbagai negara menunjukkan kenaikan cukai yang optimal menjadi instrumen yang cost effective untuk menurunkan konsumsi. Di samping juga harus diiringi dengan kebijakan pengendalian lainnya.
Laporan Statista Consumer Insights memprediksi, beberapa negara diperkirakan akan mengalami penurunan antara dua hingga empat juta perokok antara 2021 dan 2030. Cina misalnya yang merupakan negara dengan jumlah perokok terbanyak diproyeksikan bakal turun dari 293 juta orang pada 2021 menjadi 290 juta orang pada 2023.
Sama halnya dengan India, jumlah perokoknya juga diprediksi turun dari 147 juta orang menjadi 145 juta orang pada periode yang sama. Sejumlah negara lain seperti Rusia, Jepang, Jerman, dan Inggris juga diprediksi mengalami penurunan jumlah perokok dalam satu dekade ke depan.
Berbeda dengan negara lainnya, menurut Statista, tren jumlah perokok di Indonesia justru meningkat pada periode yang sama. Statista mencatat, ada 112 juta perokok di Indonesia pada 2021. Jumlahnya diproyeksikan akan bertambah menjadi 123 juta perokok pada 2030.
Fajry Akbar mengamini, kenaikan cukai rokok ini memang tidak bisa secara langsung menurunkan jumlah prevelensi rokok di Indonesia. Karena semua akan bergantung pada kemampuan pemerintah dalam menekan rokok ilegal atau alternatif produk hasil tembakau yang lebih murah lainnya.
Namun, jika dilihat dari produksi rokok trennya sudah turun. Berdasarkan catatannya dari 2019 ke 2021, produksi rokok sudah turun -10,21 persen. Sementara dari rilis terakhir pemerintah, produksi dari 2022 ke 2023 turun -1,8 persen secara year-on-year.
“Seharusnya, prevalensi perokok turun sejalan dengan penurunan produksi rokok beberapa belakangan terakhir. Kalaupun turun, harusnya besarannya proporsional dengan penurunan produksi rokok," kata dia.
Jika melihat arah tahu depan, secara historis produksi maupun konsumsi rokok diprakirakan akan turun. Tapi besaran penurunan produksi tidak sebanding dengan penurunan prevalensi. Sehingga produksi rokok legalnya akan turun lebih besar daripada penurunan prevalensi perokoknya.
“Tapi, balik lagi, itu semua akan bergantung pada kesiapan pemerintah dalam mengatasi peredaran rokok ilegal pada tahun depan,” kata dia.
Ruang Peredaran Rokok Ilegal Semakin Masif
Fajry melihat justru ke depan ada indikasi shifting konsumsi dari rokok legal ke rokok ilegal atau alternatif produk hasil tembakau yang murah. Kondisi ini akan membuat capaian penerimaan negara justru tidak tercapai di tahun depan.
“Ini yang kita paling takutkan, kalau pindah ke rokok ilegal, baik pengendalian konsumsi dan penerimaan negara tidak akan optimal," kata dia.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI), Prianto Budi Saptono, menambahkan jika dilihat dari tujuan UU Cukai, pengenaan cukai tidak hanya untuk penerimaan negara. Tapi juga untuk mengendalikan konsumsi objek cukai. Penerimaan cukai, digunakan untuk mengatasi dampak negatif dari objek cukai tersebut.
"Kebijakan pajak dapat memunculkan dampak yang ambivalen (saling bertentangan). Contohnya dapat dilihat di penerapan CHT," kata dia kepada Tirto, Kamis (21/11/2023)
Prianto tak mengelak, kenaikan cukai rokok CHT bisa menekan konsumsi rokok legal karena harganya akan naik. Akan tetapi, konsumsi rokok ilegal juga dapat meningkat ketika masyarakat mencari substitusi dari rokok legal ke rokok ilegal.
Kenaikan tarif CHT, lanjut dia, dapat meningkatkan penerimaan pajak ketika konsumsi rokok tidak berubah. Akan tetapi, karena sifat pajak (termasuk cukai) itu distortif, masyarakat akan berpikir ulang untuk mengonsumsi rokok legal yang harganya meningkat.
“Pilihan mereka adalah mengurangi konsumsi rokok atau bahkan mencari rokok ilegal yang tentunya lebih murah,” kata dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz