tirto.id - Prevalensi penghisap rokok tembakau di Indonesia relatif meningkat kurun satu dekade terakhir. Di negara ini, sekitar 70,2 juta orang atau setara 34,5% dari total populasi orang dewasa mengonsumsi produk tembakau, terdiri atas 65,5% pria dan 3,3% wanita. Jumlahnya tergolong paling banyak di Asia Tenggara.
Bukan hanya orang dewasa, rokok juga seolah-olah telah menjadi barang konsumsi yang wajar di kalangan remaja Indonesia. Tak sedikit yang bahkan masih tergolong anak-anak. Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), prevalensi mereka ikut meningkat dalam 10 tahun terakhir.
Berdasarkan hasil Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021, rokok kretek merupakan produk tembakau yang paling banyak dibeli oleh konsumen. Jumlah penghisapnya mencapai 58,8 juta orang atau sekitar 28,6%. Disusul produk tembakau tanpa asap sebanyak 1,0%, lalu heated tobacco product sekitar 0,1% dan rokok elektronik 3,0%.
Selain perokok aktif, prevalensi perokok pasif juga terbilang tinggi di negara kita. Masih berdasarkan hasil survei di atas, sebanyak 20,3 juta orang terpapar asap tembakau di tempat kerja. Lalu sekitar 121,6 juta atau 59,3% lagi terpapar di rumah dan sekitar 74,2% menghirupnya saat mengunjungi restoran atau tempat-tempat umum.
Kebijakan CHT
Kondisi ini membuat rokok menjadi masalah tersendiri bagi Indonesia. Ia kerap dikaitkan dengan faktor kesehatan hingga perekonomian. Tak sekadar menerapkan batasan usia, meningkatkan tarif cukai tembakau adalah strategi andalan Pemerintah RI untuk menekan prevalensi pengguna rokok.
Teranyar, pemerintah menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) setinggi 10% untuk dua tahun sekaligus, yaitu pada 2023 dan pada 2024. Keputusan ini diumumkan tahun lalu yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191 Tahun 2022 dan berlaku untuk golongan Sigaret Kretek Mesin, Sigaret Putih Mesin serta Sigaret Kretek Pangan.
Menurut Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati, pemerintah mempertimbangkan bermacam hal untuk menghitung kenaikan CHT. Di antaranya aspek tenaga kerja, pertanian dan industri tembakau. Kenaikan harga diharap mampu mengendalikan konsumsi maupun produksi rokok, sehingga menjadi barang yang sulit dijangkau semua orang.
Tujuan utama kenaikan harga rokok adalah menekan prevalensi penghisap berusia 10-18 tahun menjadi 8,7% pada 2024 mendatang sekaligus mengurangi peredarannya di kalangan rumah tangga miskin. Selama ini, rokok menjadi barang konsumsi terbanyak kedua bagi mereka setelah beras. Porsinya mencapai 12,2%.
“Ini adalah kedua tertinggi setelah beras, bahkan melebihi konsumsi protein seperti telur dan ayam, serta tahu, tempe yang merupakan makanan-makanan yang dibutuhkan oleh masyarakat,” ujar Sri Mulyani dikutip dari Antara.
Sebenarnya, Indonesia tidak sendiri. Dilansir dari Tobacconomics, ada beberapa negara lainnya yang juga menempuh kebijakan serupa. Tren kenaikan pajak rokok telah meliputi Asia, Eropa hingga Amerika. Pertimbangannya bermacam-macam. Mulai dari faktor perekonomian seperti inflasi hingga darurat kesehatan.
Di Asia, Pakistan meningkatkan cukai rokok dari Rs33 menjadi Rs41 untuk golongan harga rendah. Sedangkan untuk harga tinggi, cukai yang awalnya Rs104 naik menjadi Rs130. Peningkatannya rata-rata 24,5%. Peningkatan tarif cukai juga diterapkan Kazakhstan untuk semua bentuk produk tembakau. Begitu pula dengan Turkmenistan.
Sementara itu di Eropa, tren kenaikan pajak tembakau umumnya merupakan bagian dari rencana jangka menengah pemerintah untuk menekan prevalensi perokok, seperti yang terjadi di Jerman, Polandia, Ukraina, Belarus hingga Moroko. Sedangkan di Amerika, ada beberapa negara seperti Nikaragua yang menaikkan harga menjadi 392 córdoba per 1.000 batang, lalu Meksiko naik jadi 0,5911 peso per batang dan Uruguay naik 6,8% secara umum.
Meski sama-sama memakai skema pajak, ada yang membuat strategi penanganan rokok di Indonesia agak berbeda dengan negara-negara lain. Pemerintah RI berniat menyejajarkan tembakau dan produk turunannya dengan narkotika dan zat psikotropika lewat Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan Omnibus Law.
Rencana ini sontak menuai kontroversi dan penolakan dari berbagai kalangan. Penolakan bahkan tidak hanya datang dari pihak eksternal seperti produsen, serikat pekerja dan komunitas rokok. Namun juga muncul dari kalangan internal pemerintahan sendiri seperti anggota legislatif bahkan Menteri.
“Kami keberatan itu (draft RUU Kesehatan soal tembakau setara narkoba), kami sudah kirim surat,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dikutip dari Kompas.
Polemik Kebijakan Hasil Tembakau
Terlepas dari pro dan kontra penyetaraan rokok dengan zat narkotika, ada konsekuensi yang patut diperhatikan dalam penentuan skema tarif CHT. Sebab industri ini tergolong sektor padat karya, penyerap jutaan tenaga kerja. Jika keliru, ia bakal menimbulkan masalah baru yang tak kalah genting dibanding risiko kesehatan akibat rokok.
Bila harga rokok melambung tinggi, otomatis hanya pemilik dompet tebal yang mampu membelinya, sehingga berakibat menurunkan jumlah konsumen. Alhasil, pendapatan perusahaan anjlok. Demi menghindari kebangkrutan, memangkas biaya produksi biasa dilakukan. Misalnya lewat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap karyawan.
Skenario di atas mengingatkan betapa penting perlindungan terhadap para buruh industri tembakau. Pemerintah wajib menyiapkan alternatif yang mampu menyerap banyak tenaga kerja. Menurut Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun, butuh anggaran dan advokasi program khusus guna menghindari bencana sosial.
"Minim sekali pembelaan terhadap mereka (pekerja). Tidak ada anggaran dan advokasi program yang memadai untuk mereka, padahal industri banyak menyerap tenaga kerja dan memberikan sumbangsih yang besar kepada negara," ujar pernyataan resmi Misbakhun dikutip pada Rabu (24/5/2023).
Tak dipungkiri bahwa tembakau merupakan komoditas pertanian penting bagi Indonesia. Kontribusi rokok terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sempat mengalami tren peningkatan sebelum mandek akibat lonjakan tarif CHT sejak 2020. Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), sumbangsihnya pernah mencapai Rp140,97 triliun pada 2019 lalu. (https://www.bps.go.id/publication/2023/02/28/18018f9896f09f03580a614b/statistik-indonesia-2023.html)
Selama ini, industri rokok beragumen jika pertanian tembakau menjamin kemakmuran. Argumen yang sama dipakai untuk merongrong upaya pengendalian seperti kenaikan tarif CHT. Namun, penelitian berjudul The Economics of Tobacco Farming in Indonesia: Results from Two Waves of a Farm-Level Survey (2021) justru menghasilkan fakta berbeda.
Melalui penelitian tersebut, Gumilang Aryo Sahadewo dkk menyimpulkan bahwa kondisi perekonomian petani cenderung lebih baik saat menanam tumbuhan non-tembakau atau setelah beralih ke mata pencaharian lainnya. Fakta ini secara tak langsung membuktikan bahwa narasi yang digaungkan oleh pelaku industri tembakau selama ini keliru.
Ternyata, mantan petani mampu mengumpulkan aset jauh lebih banyak ketimbang petani tembakau. Aset menjadi indikator yang mencerminkan pendapatan dan kesejahteraan mereka. Misalnya kendaraan, telepon seluler dan hewan ternak. Khusus alat transportasi, median yang dimiliki mantan petani tembakau tercatat lebih dari dua kali lipat.
Data membuktikan bahwa penghasilan mantan petani tembakau lebih konsisten sepanjang periode berkat menanam tanaman lain. Melalui kajian ini, peneliti memberi beberapa rekomendasi strategi yang dapat dikembangkan oleh pembuat kebijakan. Di antaranya dengan mengidentifikasi tanaman alternatif yang layak.
Lebih lanjut, dalam studi terpisah berjudul A Policy Perspective on Tobacco Farming and Public Health in Indonesia (2020), Pingkan Audrine menjelaskan bahwa terdapat 15 provinsi penghasil tembakau di Indonesia. Terluas ada di Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Jawa Tengah. Pada 2015, gabungan ketiganya menghasilkan 174.600 ton atau 90% dari total produksi nasional. Tahun kemarin (2022), BPS mencatat total produksi tembakau sekitar 225.000 ton.
Meskipun terlihat cukup besar, produksi industri tembakau Tanah Air memiliki produktivitas yang rendah dibandingkan negara produsen tembakau lain. Terlebih lagi, jumlah impor produk rokok dan tembakau terus mencatatkan kenaikan setiap tahunnya. Bahkan kuantitasnya hampir setara dengan produksi nasional, dimana pada tahun 2022 jumlah impor mencapai hampir 165 ribu ton.
Lebih lanjut, Pingkan juga menyebutkan bahwa para petani tembakau mengalami penurunan pemasukan dalam beberapa tahun terakhir. Alhasil, sejatinya jika para petani ditawarkan alternatif tanaman yang lebih menguntungkan, mereka akan menerima dengan tangan terbuka.
Peralihan tersebut salah satunya dapat didukung dengan mempertimbangkan alokasi dana Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT).
DBHCHT adalah bagian dari Transfer ke Daerah yang dibagikan kepada setiap provinsi yang menjadi penghasil cukai dan atau penghasil tembakau. Tujuannya untuk mewujudkan prinsip keadilan dan keseimbangan dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Lebih lanjut, selain untuk mendukung transisi para petani tembakau, DBCHT juga dapat dimanfaatkan untuk keberlanjutan industri tembakau melalui peningkatan teknologi on-farm. Peningkatan teknologi bisa membantu petani meningkatkan produktivitas dan kualitas daun yang dipanen.
Besaran DBHCHT selalu diperbarui sesuai kontribusi. Pada 2022 lalu, ketentuannya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 2/PMK.07/2022. Kala itu, ia ditetapkan senilai Rp3,8 triliun untuk 25 provinsi. Kegunaannya 40% untuk kesehatan, lalu 50% untuk kesejahteraan dan 10% untuk penegakan hukum.
Sesuai Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022, alokasi DBHCHT meningkat dari 2% menjadi 3% pada 2023. Tahun ini, ketentuannya tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 3/PMK.07/2023. Berdasarkan peraturan tersebut, total DBHCHT ditetapkan senilai Rp5,4 triliun atau bertambah sekitar Rp1,6 trilun dari tahun lalu.
Terdapat perbedaan dalam rincian alokasi kesejahteraan. Tahun lalu, pemerintah menetapkan 30% dari alokasi untuk peningkatan kualitas bahan baku, keterampilan dan pembinaan. Sisa 20% diperuntukkan sebagai bantuan. Tahun ini, porsinya berganti. Yakni 20% untuk peningkatan kualitas bahan baku sedangkan 30% untuk bantuan.
Berdasarkan temuan di atas, strategi pemerintah untuk menekan prevalensi perokok di Tanah Air dengan menerapkan CHT sejatinya sudah sesuai. Bahkan kenaikan cukai yang ditetapkan dapat lebih besar. Namun, beleid tersebut harus diiringi dengan strategi alokasi DBHCHT yang menjamin kesejahteraan para petani tembakau.
Editor: Dwi Ayuningtyas