Menuju konten utama

PPN Naik, Cukai Rokok Stagnan: Kesehatan Rakyat Bukan Prioritas?

Kenaikan cukai rokok dinilai lebih urgen ketimbang pemerintah menaikkan PPN menjadi 12 persen awal 2025. Mengapa?

PPN Naik, Cukai Rokok Stagnan: Kesehatan Rakyat Bukan Prioritas?
Pita cukai rokok. ANTARA / Akhmad Nazaruddin Lathif

tirto.id - Komitmen pemerintah pada sektor kesehatan masyarakat Indonesia semakin dipertanyakan usai memutuskan untuk tidak menaikkan cukai rokok pada 2025. Padahal, cukai hasil tembakau (CHT) telah dikaji dalam banyak kesempatan, merupakan instrumen utama dalam menekan konsumsi rokok di masyarakat. Meski harga jual eceran (HJE) rokok mengalami kenaikan tahun depan, angka yang tak signifikan dirasa tidak efektif mencapai pengendalian konsumsi tembakau.

Ketentuan cukai dan harga jual eceran rokok untuk tahun depan termaktub dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 96 Tahun 2024 tentang tarif cukai hasil tembakau berupa rokok elektronik dan hasil pengolahan tembakau lainnya. Diatur juga dalam PMK Nomor 97 Tahun 2024 tentang tarif cukai hasil tembakau berupa sigaret, cerutu, rokok, daun atau klobot, dan tembakau iris. Dalam keduanya disebut, cukai hasil tembakau tidak naik, tetapi harga jual eceran untuk rokok konvensional dan elektronik dinaikkan.

Senior Advisor dari Center of Human Economic Development (CHED) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta, Mukhaer Pakkanna, menilai kebijakan menaikkan HJE rokok adalah kebijakan yang setengah hati dalam menekan prevalensi perokok. Khususnya upaya intervensi prevalensi perokok di kalangan masyarakat miskin dan remaja.

Kebijakan PMK tahun depan tidak menyentuh Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang selama ini adalah instrumen strategis pengendalian konsumsi rokok. Lebih ironis, kata dia, penetapan HJE tidak memperlihatkan keberpihakan pada upaya pro-kesehatan masyarakat.

“Tarif dan harga rokok yang diproduksi massal melalui mesin tetap rendah dibandingkan dengan rokok manual, sehingga membuka peluang bagi beredarnya rokok murah yang terjangkau oleh masyarakat bawah,” kata Mukhaer dalam konferensi pers daring yang diikuti reporter Tirto, Jumat (20/12/2024).

Ia menilai pendekatan pemerintah yang setengah hati, akan sulit mencapai tujuan untuk menekan prevalensi perokok baru. Kebijakan ini lebih menguntungkan industri rokok besar ketimbang menjadi solusi bagi masalah kesehatan masyarakat. Jika pemerintah ingin serius, maka diperlukan kebijakan yang lebih komprehensif dan konsisten dalam melindungi masyarakat, terutama para generasi muda.

Dengan adanya PMK 97 tahun 2024, Mukhaer melihat tahun depan market share korporasi sigaret kretek mesin (SKM) akan semakin naik. Artinya, kata dia, harga rokok yang umum beredar bisa jauh lebih murah, meskipun kelihatannya PMK menaikkan harga jual eceran.

Mukhaer memandang potensi yang muncul akibat HJE yang setengah hati dan cukai rokok tidak naik, maka terjadi fenomena downtrading. Konsumen akan beralih ke rokok yang lebih murah. Sehingga produksi dari rokok yang lebih murah akan jauh meningkat di masyarakat.

“Akibat tidak adanya juga simplifikasi layer, kemungkinan downtrading. Harga-harga, istilah saya, pemodal kakap tadi, yang menguasai sigaret mesin, akan membanting harganya ke harga yang lebih murah, kita sebut predatory price,” ungkap Mukhaer.

Ia menilai, pengendalian produk tembakau yang ditargetkan pemerintah kemungkinan akan gagal. Hal ini disebabkan kenaikan harga jual eceran untuk SKM masih rendah. Kemudian, efek eksternalitas produk-produk tembakau akan semakin luas karena harga yang mudah.

Mukhaer menilai eksternalitas negatif rokok tidak cuma membebani sektor kesehatan publik. Namun meliputi aspek kesejahteraan buruh tembakau dan buruh industri rokok yang rentan dibayar murah.

Ia menilai, industri rokok dan tembakau selaiknya Drakula yang mengisap kesejahteraan ekonomi masyarakat. Ketika cukai tembakau dan turunannya tidak dinaikkan, maka dia semakin menjadi-jadi Drakula.

“Yang akan kaya tetap pemilik industri kakap, dan itu bertengger kemarin kekayaannya di tanah air sudah sampai Rp850 triliun, walaupun mungkin bukan bisnis tembakau lagi. Tetapi core bisnis dia tetap tembakau awal mulanya. Nah, itu yang disebut dengan Drakula,” kata dia.

Konsultan Vital Strategies Indonesia, Lily S. Sulistyowati, menekankan, urgensi pengendalian konsumsi rokok lewat kebijakan kenaikan harga rokok dengan penyesuaian cukai dan harga eceran mampu mengurangi daya beli dan konsumsi rokok.

Selain itu, kata Lily, dua regulasi tersebut penting untuk sektor kesehatan masyarakat. Kebijakan tersebut tak cuma bertujuan menurunkan prevalensi perokok, tetapi juga memperkuat perlindungan terhadap kalangan masyarakat prasejahtera dan kelompok rentan.

“Selain itu, kenaikan harga rokok dapat mendorong alokasi pengeluaran ke kebutuhan yang lebih mendukung kesehatan dan kesejahteraan, sekaligus mengurangi beban kesehatan masyarakat akibat penyakit terkait rokok,” kata Lily dalam kesempatan yang sama.

Lily menekankan, seharusnya pendapatan negara dari sektor cukai rokok bisa dimanfaatkan untuk mendanai program kesehatan publik. Seperti kampanye edukasi bahaya merokok, penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), pengendalian iklan rokok, hingga upaya prioritas lainnya.

Termasuk membiayai program percepatan penurunan stunting dan peningkatan vaksinasi dan imunisasi, serta peningkatan layanan kesehatan ibu dan anak.

“Melalui strategi cukai rokok dan HJE, kita dapat mempercepat penanganan penyakit terkait rokok, seperti kanker, TB, dan penyakit paru lainnya, serta meningkatkan kualitas fasilitas kesehatan di seluruh Indonesia,” sambung Lily.

Komitmen Tidak Jelas

Berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang dilakukan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), jumlah perokok aktif diperkirakan mencapai 70 juta orang, dengan 7,4 persen di antaranya perokok anak dan remaja berusia 10-18 tahun. Data SKI 2023 ini juga menunjukkan, kelompok usia 15-19 tahun merupakan kelompok perokok terbanyak (56,5%), diikuti dengan kelompok usia 10-14 tahun (18,4%).

Angka 7,4 persen perokok anak (SKI 2023) memang melewati target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional atau RPJMN periode 2020-2024. Untuk tahun terakhir, RPJMN menargetkan prevalensi perokok anak mencapi 8,7 persen. Kendati demikian, angka ini tak menutup fenomena pesatnya jumlah peningkatan prevalensi perokok anak.

Jika mengacu data Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) Kemenkes 2013, prevalensi perokok anak ada di angka 7,2 persen. Lantas naik pesat pada data Riskesdas 2019 menjadi 10,7 persen. Bahkan, bila prevalensi perokok anak di SKI 2023 (7,4%) dibandingkan dengan data perokok anak di Riskesdas 2013 (7,2%), justru yang terjadi adalah peningkatan 0,2 persen perokok anak dalam 10 tahun terakhir.

Ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI), Aryana Satrya, menilai, penerapan cukai hasil tembakau sebetulnya mampu ditujukan untuk menurunkan prevalensi perokok, terutama pada anak-anak. Di Indonesia, prevalensi perokok anak belum terkendali. Selain itu, kata Aryana, berbagai studi membuktikan harga rokok di Indonesia masih murah.

“Pengeluaran rumah tangga untuk rokok menempati posisi kedua setelah bahan makanan,” kata Aryana dalam keterangan tertulis, Jumat (20/12/2024).

Berdasarkan kedua PMK terbaru yang dikeluarkan pemerintah, HJE rokok (konvensional) naik rata-rata 10 persen (tanpa pembobotan) untuk tahun depan dan menjadi yang terendah sejak 2023. Sementara HJE rokok elektronik naik rata-rata 11 persen (tanpa pembobotan) yang mana lebih tinggi daripada kenaikan tahun 2024. HJE tertinggi untuk rokok dikenakan kepada sigaret putih mesin (SPM) I, jenis rokok yang dalam proses pembuatannya tidak menggunakan cengkeh dan menggunakan mesin, yakni sebesar Rp2.495.

Sedangkan HJE terendah dikenakan kepada sigaret kretek/putih tangan (SKT/SPT III), jenis rokok yang diproduksi secara manual dan memiliki tambahan aroma dan rasa, yaitu sebesar Rp860. Secara umum, kenaikan HJE tertinggi dikenakan pada SKT dibandingkan golongan lain, utamanya golongan SKT/SPT III yang naik sebesar 19 persen. Di sisi lain, kenaikan tersebut masih lebih rendah dari tahun 2023 dan 2024 yang naik 20 persen.

Artinya, kenaikan HJE yang disebut-sebut akan menekan keterjangkauan masyarakat pada harga rokok meski tidak ada kenaikan tarif cukai, ternyata belum dilakukan secara signifikan. Dengan kenaikan HJE yang diputuskan saat ini, semua jenis rokok masih tergolong sangat murah.

Di sisi koin yang lain, Aryana menilai, kenaikan cukai rokok lebih urgensi ketimbang wacana pemerintah yang akan menaikkan PPN menjadi 12 persen tahun depan. Menurut Aryana, pemasukan negara yang diraup dari cukai rokok bisa mendukung berbagai program prioritas pemerintah yang baru sekaligus untuk kampanye penurunan prevalensi perokok.

Founder dan CEO CISDI, Diah S. Saminarsih, menilai fenomena downtrading rokok atau peralihan konsumsi rokok ke jenis lebih murah yang menjadi alasan Kementerian Keuangan menolak menaikkan tarif cukai rokok kurang beralasan. Diah menilai, yang masyarakat sipil inginkan adalah simplifikasi struktur tarif cukai. Akan tetapi, layer rokok masih kompleks.

“Simplifikasi itu yang bisa menurunkan downtrading sehingga PMK ini bukan solusi. Jarak antargolongan tidak menyempit,” kata Diah kepada reporter Tirto, Jumat (20/12/2024).

Diah ikut menyoroti rendahnya PPN atas penyerahan hasil tembakau. PPN Hasil Tembakau atau PPN HT masih lebih kecil dibandingkan PPN barang lain. Sangat disayangkan, ungkap Diah, barang berbahaya tarif pajaknya lebih kecil dibandingkan kebutuhan pokok.

Tarif PPN atas penyerahan hasil tembakau sebesar 9,9 persen dan berpotensi naik hanya jadi 10,7 persen tahun depan, jika menyesuaikan PPN yang naik menjadi 12 persen. Tidak naiknya cukai rokok tahun depan, dianggap sebagai kemunduran, mengingat Kementerian Keuangan pada 2023 dan 2024 telah berhasil membuat kebijakan multi-tahun (multiyear) untuk menaikkan tarif CHT sebesar 10 persen.

Diah menyayangkan pemerintah memilih tak menaikkan cukai rokok dalam 100 hari pertama masa kerjanya. Padahal saat ini ekspektasi masyarakat terhadap kinerja kabinet baru masih sangat tinggi. Terlebih, kata Diah, terdapat empat dari tujuh program prioritas pemerintahan Prabowo-Gibran dalam Asta Cita terkait kesehatan.

“Kami berharap pemerintah bisa berubah pikiran dan menaikkan cukai rokok,” ujar Diah.

Baca juga artikel terkait CUKAI ROKOK atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz