Menuju konten utama

Pemerintah Naikkan PPN Rakyat, tapi Lalai Kejar Pajak Perusahaan

Pemerintah menaikkan PPN menjadi 12 persen 2025, di sisi lain perusahaan banyak yang luput dari pembayaran pajak. Kok bisa?

Pemerintah Naikkan PPN Rakyat, tapi Lalai Kejar Pajak Perusahaan
Ilustrasi informasi pajak. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A.

tirto.id - Bank Dunia (World Bank) dalam laporan berjudul Pendanaan Visi Indonesia 2045 (Funding Indonesia’s Vision 2045 yang merupakan bagian dari Prospek Ekonomi Indonesia (Indonesia Economic Prospect) edisi Desember 2024, menyebut bahwa satu dari empat perusahaan Indonesia melakukan penghindaran pajak pada 2023. Penghindaran pajak ini diakui oleh 26 persen responden wajib pajak (WP) badan.

Wajib pajak badan yang lebih sering melakukan penghindaran pajak di antaranya adalah perusahaan non-eksportir, perusahaan yang menganggap administrasi pajak sebagai beban besar dan perusahaan yang menghadapi persaingan informal kuat. Secara rinci, 1 dari 3 wajib pajak badan yang disurvei memandang tarif pajak dan administrasi pajak adalah hambatan dalam kegiatan usaha mereka. Sedangkan 55,6 persen wajib pajak badan mengaku bersaing dengan pelaku usaha informal dan 95 persen menilai pajak menjadi alasan utama mengapa tak memformalisasi kegiatan usaha mereka.

“Sekitar setengah dari perusahaan melaporkan bahwa mudah untuk menghindari pembayaran PPh Badan atau PPN (Pajak Pertambahan Nilai). Sementara banyak yang menganggap kepatuhan terlalu rumit, terutama di kalangan usaha kecil,” tulis laporan tersebut, dikutip Kamis (19/12/2024).

Sebesar 52 persen dari total responden mengatakan dapat dengan mudah menghindar dari kewajiban membayar Pajak Penghasilan (PPh) Badan secara penuh. Kemudian, 44 persen wajib pajak badan mengaku tak membayarkan kewajiban pembayaran PPN yang dikenakan kepada mereka.

“Tantangan ini mencerminkan kelemahan dalam administrasi pajak dan kurangnya insentif untuk kepatuhan sukarela, yang disebabkan oleh kompleksitas dan rendahnya kesadaran pajak (tax morale),” ungkap laporan itu.

Penerimaan negara sebenarnya sangat mungkin dilakukan melalui optimalisasi pajak badan, terutama di sektor-sektor yang sedang naik daun seperti perusahaan digital, sawit, atau batu bara. Sayangnya, kebijakan pemerintah justru sebaliknya.

Sebagai antisipasi terjadinya penghindaran pajak, pemerintah justru bakal menurunkan PPh Badan dari yang sebelumnya 22 persen menjadi 20 persen di 2025. Dus, target penerimaan pajak korporasi di tahun depan pun didesain turun 13,6 persen menjadi Rp369,95 triliun, dari di 2024 ditarget senilai Rp428,59 triliun.

“Masalahnya, tidak ada data kalkulasi yang robust (kuat) dari pemerintah yang membuktikan bahwa manfaat ekonomi dari insentif penurunan tarif ini lebih besar dibandingkan nominal kehilangan pendapatan pajak yang diderita negara,” jelas Direktur Kebijakan Publik, Media Wahyudi Askar, kepada Tirto, Kamis (19/12/2024).

Meski belum memiliki hitungannya, namun menurut Media, penurunan tarif PPh Badan berisiko memperbesar kehilangan penerimaan negara, khususnya di sektor-sektor yang tengah menikmati lonjakan keuntungan besar di tengah tren perdagangan global saat ini.

Ilustrasi APBN

Ilustrasi APBN. foto/IStockphoto

Selain itu, pendekatan ini juga justru berpotensi memperburuk kesenjangan fiskal di tengah upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dan pembangunan infrastruktur. Apalagi, di tahun depan pemerintah menerapkan kebijakan tarif PPN 12 persen yang menyasar seluruh lapisan masyarakat, termasuk kelas menengah ke bawah yang sedang mengalami goncangan daya beli.

“Ditambah lagi selama ini banyak perusahaan yang tidak patuh. Jadi, daripada bayar pajak, akhirnya banyak (perusahaan) yang malah masuk sektor informal,” tambah Media.

Sementara itu, menurut Ahli Pajak Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan Jakarta, Ronny Bako, tak masalah jika pemerintah memilih menurunkan tarif PPh Badan untuk meningkatkan kepatuhan. Sebab, negara-negara lain di dunia pun memasang tarif pajak rendah untuk korporasi. Bahkan, negara G7 yang terdiri dari Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Kanada telah sepakat untuk mengenakan tarif minimum 15 persen untuk perusahaan multinasional.

Tapi, di balik penurunan pajak itu, pemerintah negara-negara di dunia mengerek penerimaan negara dengan mengejar pajak dari pemilik yang menjadi penanggung jawab utama -beneficial owner (BO)- perusahaan. Hal ini lah yang sampai saat ini belum bisa dilakukan Indonesia. Dus, dapat divalidasi lah laporan World Bank soal penghindaran pajak yang masih dilakukan oleh 1 dari 4 wajib pajak badan.

“Karena tinggal di sini masalahnya, apakah Ditjen Pajak kerja sama dengan Ditjen AHU (Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM) untuk memantau bahwa BO-nya perusahaan itu sudah patuh dalam menjalankan kewajibannya,” kata Ronny, kepada Tirto, Kamis (19/12/2024).

Sebagai informasi, berdasar Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, BO dijadikan istilah bagi orang atau pihak-pihak yang memperoleh keuntungan dari bisnis dan memiliki kendali penuh atas bisnis tersebut. Adapun kegiatan bisnis atau usaha yang dimaksut tak terbatas pada perusahaan besar saja, melainkan juga Industri Kecil dan Menengah (IKM) maupun Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).

“Nah, itu datanya semua ada di Kementerian Hukum dan HAM, di Ditjen AHU,” imbuh dia.

Kendati, dengan peraturan yang ada di Indonesia, Ditjen AHU tak bisa membuka informasi BO secara cuma-cuma. Karena itu, jika pemerintah serius ingin mendongkrak penerimaan, DJP sebagai penanggung jawab penerimaan perpajakan harus meminta izin untuk mengakses informasi BO kepada Ditjen AHU.

Setelah tukar-menukar informasi terjadi, barulah pemerintah bisa benar-benar mengetahui siapa yang lebih layak ditarik pajak, ketimbang secara luas menetapkan tarif PPN 12 persen kepada seluruh lapisan masyarakat. Pun, penerimaan yang bisa dikumpulkan oleh pemerintah juga akan lebih besar ketimbang yang hanya bersumber dari PPN.

“Ini masuknya perorangan. Tapi dengan itu pemerintah bisa mengecek, mengejar orang ini dia punya usaha di mana saja. Misalnya di perusahaan atau UMKM apa. Jadi BO-nya ini yang jadi target. Dan BO ini target di depan mata. Jadi main di BO saja,” tegas Ronny.

PPN Naik Cara Instan Tambah Penerimaan

Dibanding mengejar pajak korporasi maupun BO, apalagi yang mangkir pajak, menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen memang dapat menjadi cara instan untuk menambah penerimaan. Meski realisasinya penerimaan negara dari PPN tak sebanding dengan potensi pendapatan yang bisa didapat dari mengejar pajak dari pengusaha-pengusaha nakal. Melihat realita ini seharusnya, pemerintah tidak lalai mengumpulkan pajak dari perusahaan agar kantong negara terisi.

Ahli Pajak Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (UPH) Jakarta, Ronny Bako, menilai, potensi penerimaan dari pajak badan setidaknya dapat mencapai 100 kali lipat dari penerimaan dari PPN yang di tahun depan sekitar Rp75 triliun.

“Karena PPN itu kan sifatnya setiap hari ada jasa-jasa atau barang yang dikenakan pajak tersebut. Jadi, kalau memang dari jangka panjang cepat ditarik PPN. Tapi nilainya tidak berbanding lurus dengan peneriaan negara dibanding pajak korporat. Penarikannya tidak cepat, tapi nilainya 100 kali lipat dibanding PPN,” jelas dia.

Sementara itu, untuk mengejar pajak badan, pemerintah baru bisa menarik pajak setiap bulan, yakni di 10 hari pertama setelah bulan berjalan. Ini bahkan tak termasuk mengejar pajak dari para pengemplang pajak, yang bisa jadi membutuhkan waktu lebih lama.

“Karena PPh Badan ini kan banyak yang menggunakan konsultan pajak, banyak yang mengakali. Jadi, PPh Badan yang disetorkan tidak sesuai dengan kondisi bisnis yang secara real,” sambung Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, kepada Tirto, Jumat (20/12/2024).

Hal ini pun, menurutnya patut disayangkan, karena pemerintah telah memberikan banyak fasilitas kepada industri, yang salah satunya berupa penurunan tarif PPh Badan menjadi 20 persen di tahun depan. Dengan harapan, korporasi dapat meningkatkan ketersediaan lapangan pekerjaan yang kemudian dapat mendongkrak penerimaan melalui pajak penghasilan orang pribadi alias PPh Pasal 21.

“Jadi, artinya memang PPh Badan yang diturunkan ini akan memperuncing ketimpangan dari sisi wajib pajak. Yang paling untung adalah investor dan juga pemilik usaha. Sedangkan masyarakat umum terus ditarik pajak lewat PPN 12 persen,” tukas Bhima.

Sebelumnya, Kepala Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu, menghitung penerimaan yang bakal didapat Indonesia dari penerapan tarif PPN 12 persen ialah sekitar Rp75 triliun. Angka ini naik ketimbang penerimaan yang didapat saat tarif PPN 11 persen, lantaran pada periode ini negara hanya berhasil mengumpulkan PPN senilai Rp60,76 triliun.

“(Potensi penerimaan dari PPN 12 Persen) sekitar Rp75 triliun dari PPN-nya,” ujarnya singkat, kepada awak media, di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta Pusat, Senin (16/12/2024).

Terpisah, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Kementerian Keuangan, Dwi Astuti, enggan menanggapi laporan World Bank soal jumlah perusahaan yang menghindari pajak. Namun, terlepas dari sudah diberlakukannya kebijakan tarif PPN 12 persen, pihaknya akan meningkatkan kepatuhan dari wajib pajak badan melalui beberapa cara.

“Direktorat Jenderal Pajak menempuh berbagai upaya dalam rangka mengamankan penerimaan pajak, antara lain: a. Perluasan basis perpajakan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi; b. Peningkatan kapasitas administrasi DJP; c. Penguatan implementasi reformasi pajak dan harmonisasi kebijakan; serta d. Pemberian insentif pajak yang semakin terukur dan terarah,” ujar dia, dalam aplikasi perpesanan kepada Tirto, Kamis (19/12/2024).

Baca juga artikel terkait PPN 12 PERSEN atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - News
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Anggun P Situmorang