tirto.id - Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Askolani, menilai rencana Kementerian Kesehatan untuk menerapkan kebijakan kemasan rokok polos berisiko mempersulit proses pengawasan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC).
Sebab, dengan kemasan polos, jenis rokok yang terdapat di dalam kemasan tidak dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya.
“Kemudian kalau rokok jadi polos, pandangan kami ada risiko dari pengawasan dan tak bisa membedakan jenis rokok yang menentukan golongannya ini basis kita untuk pengawasan,” kata dia dalam acara Konferensi Pers APBN Kita Agustus 2024, di Kantornya, Jakarta Pusat, Senin (23/9/2024).
Selain itu, pengawasan juga akan semakin sulit jika kemasan disamakan. Padahal, kemasan menjadi langkah awal DJBC melakukan proteksi terhadap industri rokok dari gempuran rokok ilegal.
“Risiko bisa jadi nyata kalau ini kemasan disamakan. Kita nggak bisa kasat mata membedakan kemasannya, kemudian isinya. Padahal itu proteksi awal dari kita melalui (kemasan) itu,” imbuh Askolani.
Untuk menghindari risiko ini, pemerintah melalui DJBC telah melakukan koordinasi dengan Kementerian Kesehatan. Pun dengan industri rokok dan tembakau yang juga telah memberikan masukan terkait rencana kebijakan ini kepada Kementerian Kesehatan.
“Ini diakomodasi, diusulkan dalam draf Permenkes (Peraturan Menteri Kesehatan), turunan dari PP (Peraturan Pemerintah) Kesehatan. Dari sisi kami di Kemenkeu, kami sampaikan juga pada Kemenkes bahwa kalau kemudian kemasan rokok itu menjadi polos, dari sisi pandangan kami mempunyai risiko dalam aspek pengawasan,” ujar Askolani.
Sementara itu, narasi soal kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek tertuang di dalam Rencana Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik yang merupakan kebijakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 sebagai aturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Ekonom senior INDEF, Tauhid Ahmad, memperkirakan rencana kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek akan menimbulkan negara kehilangan potensi ekonomi hingga Rp182,2 triliun. Nilai ekonomi tersebut muncul dari pendapatan industri rokok, termasuk juga industri kemasan, tembakau, hingga cengkeh.
“Dampak ekonominya dengan kemasan polos tentu saja ini bukan hanya bagi para industri rokok, tapi juga industri kemasan untuk kertas, kemudian tembakau, cengkeh, termasuk yang lain juga terdampak. Ini akan berdampak ekonomi kurang lebih minus Rp182,2 triliun,” ujar Tauhid dalam Diskusi Publik Indef yang bertajuk ‘Industri Tembakau Suram, Penerimaan Negara Muram’ secara virtual dalam streaming YouTube INDEF, Jakarta, Senin.
Selain itu, kemasan rokok polos juga akan membuat konsumen beralih ke produk rokok yang lebih murah (downtrading) hingga beralih ke rokok ilegal lebih cepat. Hal ini berpotensi menurunkan permintaan produk legal sebesar 42,09 persen. Implikasi dari kebijakan kemasan polos ini diprediksi mengurangi penerimaan negara sekitar Rp95,9 triliun.
“Di sisi rokok ilegal, juga bisa meningkat 2-3 kali lipat, karena apa? Ya sangat mudah untuk ditiru begitu dengan gambar yang sama, model yang sama, dan ini yang kemudian memunculkan implikasi yang sangat besar,” pungkas Tauhid.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fahreza Rizky