Menuju konten utama

Membedah Polemik Insentif dari Denda Pelanggaran Bea Cukai

Warganet ramai mempertanyaan premi atau insentif untuk petugas bea cukai yang tangani pidana kepabeanan didasarkan dari denda pelanggaran. Mengapa?

Membedah Polemik Insentif dari Denda Pelanggaran Bea Cukai
Bea cukai bandara menyatakan tanda dengan ikon dan panah tergantung dari langit-langit bandara di terminal internasional. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) kembali menjadi buah bibir warganet gara-gara skema insentif atau premi bagi pegawai yang menangani pelanggaran kepabeanan dan cukai ramai. Aturan memberi premi atau bonus hingga 50 persen dari denda atau hasil lelang barang tindak pidana kepabeanan dipertanyakan.

Aturan tersebut dinilai mendorong praktik penegakan hukum berlebihan hingga berpotensi mengorbankan prinsip kemudahan dan efisiensi. Diskursus ini ramai diperbincangkan di media karena berkaitan dengan kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat terhadap Indonesia. Salah satu pengguna media sosial Xmencuit soal keterkejutannya bahwa pegawai bea cukai dapat menerima bonus hingga 50 persen dari denda barang yang dianggap melanggar aturan kepabeanan dan cukai.

Banyak warganet lain mengomentari postingan tersebut dengan menyebut tak heran petugas bea cukai kerap mempersulit dan menetapkan pelanggaran pada barang-barang yang masuk ke Indonesia. Kasus-kasus barang masuk yang dikenakan tarif denda berkali-kali lipat dari harga belinya kembali disoroti sebagai dugaan pemanfaatan petugas dalam mengincar premi atau bonus.

Inti permasalahan dari polemik ini tampaknya timbul karena penetapan insentif bagi pegawai bea cukai yang menangani tindak pidana kepabeanan ditarik dari sanksi denda yang diterapkan terhadap pelaku pelanggaran atau dari hasil lelang barang. Premi ini dilandasi oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 (diubah dengan UU Nomor 17 Tahun 2006) mengenai Kepabeanan dalam Pasal 113D dan UU Nomor 11 Tahun 1995 (yang telah diubah dengan UU Nomor 39 Tahun 2007) tentang Cukai, dalam Pasal 64D.

Pasal 113D UU No 17 Tahun Tahun 2006

Pasal 113D UU No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan. (FOTO/Istimewa)

Dalam implementasinya, dibuat aturan pelaksana pemberian premi itu di dalam PMK (Peraturan Menteri Keuangan) Nomor 243/PMK.04/2011 tentang Pemberian Premi atas Pemungutan Pajak Negara, Bea Masuk, dan/atau Cukai. Teranyar, aturan pelaksana ini direvisi menjadi PMK Nomor 21 Tahun 2024 yang mempertegas pemisahan objek yang berasal dari pelanggaran administrasi dan tindak pidana, serta penyesuaian definisi bagi uang tunai/instrumen pembayaran yang tidak boleh dilelang.

Merujuk Pasal 1 (3) PMK 21/2024 disebut bahwa, premi bidang kepabeanan dan/atau cukai adalah penghargaan dalam bentuk uang dan/atau lainnya yang diberikan kepada orang perseorangan, kelompok orang, dan/atau unit kerja yang berjasa dalam menangani pelanggaran kepabeanan dan/atau cukai. Berjasa dalam hal ini meliputi dua kategori: yakni pelanggaran administrasi kepabeanan/cukai dan pelanggaran pidana kepabeanan/cukai.

Dalam Pasal 2 disebutkan pula bahwa premi yang diberikan sebesar 50 persen dari sanksi administrasi berupa denda dan sanksi pidana berupa denda. Selain itu juga dari hasil lelang barang yang berasal dari tindak pidana kepabeanan dan/atau cukai; nilai atas barang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan tidak boleh dilelang; sanksi administrasi berupa denda atas pelanggaran pembawaan uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain; dan beberapa kategori lainnya. Besaran premi yang diberikan menurut aturan tersebut paling banyak Rp1 miliar.

Sementara untuk pemberi informasi atau pelapor yang memberikan petunjuk atau bantuan nyata sehingga dapat dilakukan penindakan atas pelanggaran pidana kepabeanan dan/atau cukai juga diberikan bagian dari premi paling banyak Rp50 juta. Dalam rangka pengajuan permohonan premi ini, Sekretaris Direktorat Jenderal atau kepala Kantor mengajukan permohonan penetapan nilai barang kepada Menteri.

PMK Nomor 21 Tahun 2024

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.04/2011 tentang Pemberian Premi. (FOTO/Istimewa)

Apabila menyimak diskursus pada media sosial soal premi atau bonus yang berasal dari denda atau pelanggaran kepabeanan dan cukai ini, beberapa warga khawatir mekanisme premi ini justru memotivasi petugas bea cukai ‘mencari-cari’ kesalahan dan menetapkan pelangaran. Kekhawatiran ini tentu berdasar dan sah-sah saja, mengingat sebelumnya kinerja bea cukai juga disorot imbas beberapa pegawainya yang terjerat korupsi dan tindak pidana pencucian uang.

Belum lagi, skeptisisme masyarakat juga timbul usai beberapa kasus penetapan denda dari bea cukai terhadap barang-barang warga yang masuk dari luar negeri. Misalnya kasus yang sempat viral soal warga bernama, Radhika Althaf, yang membeli sepatu senilai Rp10,3 juta, namun dikenakan tagihan pajak dan sanksi administratif mencapai Rp31,8 juta.

Kasus lainnya yang sempat menjadi sorotan publik misalnya yang menimpa pembuat konten mainan, Medy Renaldy, yang sempat protes pungutan bea cukai dari mainan karakter robot Megatron dalam serial Transformers yang hendak diulasnya. Teranyar, juga ada kasus soal hibah alat pembelajaran untuk sekolah luar biasa (SLB) yang tertahan di perusahaan jasa titipan (PJT) sampai lebih dari setahun akibat penerima ditagih tarif bea masuk yang nilainya mencapai ratusan juta rupiah.

Kasus-kasus yang sempat viral tersebut sudah diselesaikan dan diklarifikasi oleh DJBC.

Alhasil, pro kontra di media sosial soal pemberian premi atau bonus bagi pegawai bea cukai ini berakar dari keraguan publik atas kinerja bea cukai dan minimnya pengetahuan terhadap aturan-aturan yang berlaku. Hal ini menjadi tantangan dan pekerjaan rumah bagi DJBC agar lebih gencar lagi menjelaskan informasi yang utuh kepada publik dan mengedepankan transparansi dalam setiap tindakan terkait penegakan aturan kepabeanan/cukai.

Tirto sudah mencoba meminta komentar dari DJBC terkait polemik premi ini lewat Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan Bea Cukai, Budi Prasetiyo. Ia membalas akan segera menjawab pertanyaan Tirto, namun hingga laporan ditulis, Budi belum merespons kembali.

“Kami coba formulasikan responsnya dulu ya,” ujar Budi kepada wartawan Tirto, Jumat.

PENGUATAN SEKTOR PAJAK DAN BEA CUKAI

RRapat Perdana Tim Reformasi Perpajakan serta Tim Penguatan Reformasi Kepabeanan dan Cukai di Jakarta, Selasa (20/12). Tim Reformasi Perpajakan serta Tim Penguatan Reformasi Kepabeanan dan Cukai berisi berbagai kalangan dari internal maupun eksternal seperti KPK, Bank Dunia, IMF hingga pengusaha nasional yang bertujuan untuk memperkuat sektor pajak serta bea cukai. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/kye/16

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, melihat mekanisme premi atau bonus ini bagi sebagian besar publik tentu saja mengagetkan karena belum pernah tersosialisasi secara terbuka. Wajar, kata Achmad, apabila muncul kecurigaan dari publik atas skema yang berpotensi menimbulkan motif ekonomi pribadi dalam menindak barang milik masyarakat.

Pada dasarnya, Achmad menilai setiap kebijakan insentif dalam birokrasi harus didasarkan pada prinsip-prinsip objektivitas, akuntabilitas, dan mendorong perilaku yang benar.

“Namun ketika premi diberikan berdasarkan nilai pelanggaran—yaitu dari nilai barang yang disita, dilelang, atau didenda—maka arah kebijakannya menjadi bermasalah,” kata Achmad kepada wartawan Tirto, Jumat (11/4/2025).

Perketat Pengawasan dan Transparansi Premi

Celah pelanggaran dalam skema premi muncul ketika denda yang ditetapkan petugas bea cukai justru menjadi tujuan yang diincar, bukan keadaan yang harus dicegah. Misalnya, kata Achmad, petugas bea cukai melihat peluang menyita barang karena kelengkapan dokumen yang kurang, atau karena klasifikasi barang yang dapat ditafsirkan berbeda.

Alih-alih memberikan edukasi serta membantu proses perbaikan dokumen, petugas malah terdorong menyita dengan harapan premi dari nilai denda barang tersebut. “Ini jelas menciptakan conflict of interest yang serius,” ucap Achmad.

Achmad menilai premi atau bonus yang berbasiskan pelanggaran kepabeanan atau cukai menciptakan pola untuk mempertahankan—bahkan memperbanyak—pelanggaran. Alhasil mekanisme ini tidak sedang membangun sistem yang mencegah korupsi atau pelanggaran, tetapi justru mengandalkan eksistensi pelanggaran sebagai sumber penghasilan.

Kedua, praktik ini juga dinilai mendorong praktik manipulasi. Menurut Achmad, tidak semua kasus kepabeanan bersifat hitam-putih. Banyak importir atau pengirim barang individu yang tidak paham aturan teknis bea masuk. Alih-alih membantu, petugas dapat memperumit atau bahkan memelintir pasal untuk menjustifikasi penyitaan.

“Jika premi menjadi imbalan, maka praktik over-enforcement akan makin menggila,” ujarnya kemudian.

Terlebih, terdapat potensi skema premi itu bertentangan dengan prinsip-prinsip World Trade Organization (WTO). Pasalnya, prinsip Trade Facilitation Agreement yang didorong WTO menekankan pada kemudahan perdagangan dan sistem kepabeanan yang adil dan bebas insentif yang berpotensi memicu distorsi. Negara maju memisahkan fungsi penegakan dari insentif ekonomi seperti skema premi, karena dianggap membuka ruang penyalahgunaan kewenangan.

Jika premi menjadi imbalan, maka praktik over-enforcement akan makin menggila.

- Achmad Nur Hidayat, Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

Nilai ekspor dan impor Jawa Timur

Truk memuat kontainer melintas di lapangan penumpukan kontainer (container yard) di PT Terminal Petikemas Surabaya, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (5/2/2025). ANTARA FOTO/Didik Suhartono/rwa.

Poin ini juga disinggung di dalam dokumen laporan Foreign Trade Barriers AS yang disusun Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR). Di dalamnya menyebutkan masalah yang membuat Presiden AS Donald Trump menerapkan tarif resiprokal 32 persen ke Indonesia, Salah satunya adalah hambatan bea cukai dan fasilitasi perdagangan.

AS mempersoalkan kebijakan Indonesia yang masih mempertahankan skema insentif atau bonus yang berasal dari denda kepabeanan. Padahal, klaim AS, WTO sudah mendorong Indonesia untuk tidak lagi menerapkannya.

"Indonesia adalah salah satu dari sedikit mitra dagang utama AS yang masih memiliki sistem insentif tersebut. Sistem ini menjadi perhatian karena potensi korupsi dan biaya, ketidakpastian, serta kurangnya transparansi yang terkait dengan sistem denda dan penghargaan di kepabeanan," bunyi dokumen itu (hal 216).

Achmad mendorong premi bea cukai berdasarkan nilai barang sitaan agar dihentikan atau direformulasi. Insentif dinilai tetap dapat dan perlu diberikan untuk petugas bea cukai, lewat indikator kinerja yang mendorong perbaikan sistem, bukan mempertahankan pelanggaran.

Misalnya, premi diberikan kepada petugas yang berhasil membantu menyelesaikan konflik klasifikasi barang secara adil. Atau mampu mempercepat arus barang tanpa menurunkan kualitas pengawasan. Prinsip dasar reformasi birokrasi, Achmad mengingatkan, mencegah penyalahgunaan kewenangan bukan membukakan pintunya.

Sementara Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI), Prianto Budi Saptono, menilai skema premi atau bonus dari pelanggaran kepabeanan/cukai masih dibutuhkan. Ia mengajak masyarakat melihat secara komprehensif asal-usul peraturan ini dikedepankan.

Menurutnya, latar belakang skema premi ini tak bisa lepas dari kondisi yang menjadi salah satu alasan perumusan UU Nomor 17/2006. Tantangan terbesar saat UU Kepabeanan (UU Nomor 10/1995) direvisi menjadi UU Nomor 17/2006 dikarenakan praktik penyelundupan yang marak pada saat itu.

Upaya menghapus penyelundupan menjadi masalah besar. Penyelundupan pada masa itu, kata Budi, bisa disamakan kebiasaan masyarakat yang membuang sampah sembarangan. Menurutnya, bahaya tindak pidana penyelundupan tidak berbeda dari tindak pidana korupsi.

Maraknya praktik penyelundupan tersebut menjadi faktor eksternal DJBC (Direktorat Jenderal Bea dan Cukai). Di sisi lain, faktor internal skema premi termaktub di UU Kepabeanan 2006, sebab tingkat gaji dan remunerasi petugas bea cukai yang tidak sepadan dengan risiko dan tanggung jawab.

“Untuk itu, pemberian premi di UU Kepabeanan 2006 dianggap punya peran strategis guna mendorong pihak-pihak yang berjasa mengungkap pelanggaran kepabeanan,” ujar Budi kepada wartawan Tirto, Jumat.

Dalam konteks norma hukum, kata dia, tak ada istilah masyarakat baru tahu adanya aturan Pasal 113D di UU Kepabeanan 2006 dan aturan turunan soal premi yang sebetulnya sudah eksis sedari lama. Rumusan pemberian premi sudah dibahas pemerintah dan DPR selaku wakil rakyat. Ketika kedua norma hukum tersebut diundangkan, secara otomatis masyarakat luas dianggap tahu.

Dugaan sebagian masyarakat bahwa petugas bea cukai mengambil keuntungan individu juga perlu pembuktian.

Dari sisi proses perumusan kebijakan, pertimbangan dari pembuat kebijakan tidak berkaitan dengan keuntungan pribadi dari petugas bea cukai, tapi mengacu pada praktik penyelundupan yang marak pada saat itu.

Budi melihat agar warga tidak perlu mengkhawatirkan keberadaan bonus dalam penegakan pelanggaran kepabeanan dan cukai. Karena sesuai Pasal 3 di dalam PMK, premi maksimal 50 persen baru bisa diberikan jika persyaratan terpenuhi. Misal, penetapan atas pengenaan sanksi administrasi berupa denda tidak diajukan keberatan.

Ilustrasi Kepabeanan

Pagar keamanan halaman kontainer. FOTO/iStockphoto

Pemberian Premi maksimal sebesar 50 persen dari sanksi pidana berupa denda dan hasil lelang barang yang berasal dari tindak pidana kepabeanan juga diberikan dengan ketentuan putusan pengadilan atas tindak pidana kepabeanan tidak diajukan banding dan kasasi.

Budi menambahkan, pemberian premi kepabeanan/cukai juga tidak dirasa telah melanggar ketentuan WTO Agreement on Trade Facilitation. Sebab WTO menetapkan agar hukuman atau denda yang dijatuhkan mesti bergantung pada fakta dan sepadan dengan tingkat dan beratnya pelanggaran. Petugas bea cukai juga harus memastikan tetap mempertahankan langkah-langkah menghindari tindakan membentuk insentif untuk penilaian atau penagihan denda yang tidak konsisten.

“Selain itu, pengaturan premi tersebut tidak sarat dengan permainan nakal. Ketika ada pandangan yang berbeda, faktor utamanya ada pada perspektif yang terbatas karena keterbatasan informasi, pemahaman, dan/atau waktu yang tersedia,” ujar Budi.

Baca juga artikel terkait BEA CUKAI atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Rina Nurjanah