Menuju konten utama

Merunut Kasus Bea Masuk Sepatu Rp31 Juta, Apakah Masuk Akal?

Radhika Altaf meluapkan kekecewaannya kepada Bea Cukai atas penetapan bea masuk yang harus dibayar saat membeli sepatu impor.

Merunut Kasus Bea Masuk Sepatu Rp31 Juta, Apakah Masuk Akal?
Ilustrasi sepatu kets. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Pengguna TikTok, Radhika Altaf, meluapkan kekecewaannya kepada Bea Cukai atas penetapan bea masuk yang harus dibayar saat membeli sepatu impor. Awalnya, ia membeli sepatu seharga Rp10,3 juta melalui perusahaan jasa titipan (PJT), DHL dengan biaya pengiriman Rp1,2 juta. Namun, ia justru harus membayar bea masuk sebesar Rp31,8 juta.

Dalam surat pemberitahuan bea masuk yang dikirimkan DHL melalui email, pria tersebut diminta untuk melakukan pembayaran tagihan dari bea cukai senilai Rp31,8 juta. Namun, pihak DHL tidak memberitahukan rincian biaya perhitungan tersebut, sehingga ia meminta penjelasan dari Bea Cukai.

"Halo Bea Cukai, gua mau tanya sama kalian. Kalian tuh netapin bea masuk tuh dasarnya apa ya? Dan kalian tau bea masuknya berapa? Nih, Rp 31.800.000. Itu perhitungan dari mana?" kata dia dalam video yang dilihat Tirto, dari media sosial X, Rabu (24/4/2024).

Dia menilai perhitungan bea masuk yang harus dibayarkan harusnya tidak sebesar itu. Sebab, berdasarkan perhitungan di sistem aplikasi Mobile Beacukai, bea masuk tertera hanya Rp5,8 juta untuk harga sepatu yang dibelinya Rp10,3 juta.

"Terus kalian netapin bea masuk atas gua itu dari mana perhitungannya? Sepatu gua Rp10 juta kalian kenain Rp30 juta. Ini nggak make sense banget," ujar dia.

Atas unggahan tersebut, Bea Cukai kemudian menjelaskan bahwa nilai pabean yang besar itu akibat sanksi denda. Sebab, nilai barang disampaikan oleh PJT dalam hal ini DHL, tidak sesuai dengan aslinya.

Jasa kiriman yang digunakan dalam hal ini DHL memberitahukan CIF atau nilai pabean 35,37 dolar AS atau Rp562.736. Informasi dari jasa kiriman tersebut, kemudian digunakan oleh Bea Cukai untuk penetapan nilai barang.

Namun, setelah dilakukan pemeriksaan, nilai CIF atau nilai pabean atas barang tersebut adalah 553,61 dolar AS atau Rp8.807.935. Maka, atas ketidaksesuaian tersebut dikenakan sanksi administrasi berupa denda.

"[Ini] sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 96 Tahun 2023 pasal 28 bagian kelima, pasal 28 ayat 3," tulis penjelasan Bea Cukai melalui media sosial X-nya.

Dalam pasal 28 ayat 3 PMK Nomor 96/2023 tersebut, dijelaskan bahwa dalam hal penetapan nilai pabean mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk yang disebabkan karena kesalahan pemberitahuan nilai pabean dan barang kiriman, maka wajib melunasi kekurangan pembayaran bea masuk.

Dalam hal ini, importir dikenai sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara penghitungan sanksi administrasi berupa denda di bidang kepabeanan.

Atas dasar itu, maka rincian bea masuk dan pajak impor atas produk sepatu tersebut adalah: Bea Masuk 30 persen Rp2.643.000, PPN 11 persen Rp1.259.544, PPh Impor 20 persen Rp2.290.000, dan Sanksi Administrasi Rp24.736.000. Maka total keseluruhan tagihan adalah Rp30.928.544.

Besaran sanksi administrasi berupa denda dikenakan sesuai Peratuan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2019 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi Berupa Denda di Bidang Kepabeanan. Dalam pasal 6, dijelaskan bahwa besarnya denda yang dinyatakan dalam persentase tertentu minimum sampai dengan maksimum dari kekurangan pembayaran bea masuk atau bea keluar.

"Terkait pengenaan sanksi administrasi berupa denda, disarankan pemilik barang untuk berkonsultasi dengan jasa kiriman yang digunakan dalam hal ini DHL sebagai kuasa impor dari pemilik barang," jelas Bea Cukai.

Sementara itu, Corporate Communications DHL Indonesia, Shopy Hardani Ekawati, menyatakan bahwa pihaknya selalu mengikuti undang-undang dan peraturan setempat yang relevan terkait dengan proses clearance barang kiriman.

"Kami mengetahui situasinya dan telah menghubungi pelanggan kami untuk membantu dalam penyelesaian masalah tersebut," ujar dia kepada Tirto.

Apakah Masuk Akal?

Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, menilai secara akal sehat memang tidak masuk akal nilai pabean tersebut. Terlebih, nilai dibayarkan lebih besar dibandingkan dengan harga produk yang dibeli.

"Jika pembelian sepatu yang bernilai Rp10 juta tapi pajaknya Rp 30 juta, itu [memang] tidak masuk akal," ujar dia kepada Tirto, Rabu (24/4/2024).

Namun, pada prinsipnya, kata Esther, secara teori ekonomi internasional, memang cukai itu dikenakan sebagai bentuk barier untuk memasukkan barang ke Indonesia berupa tarif. Tujuannya adalah untuk menaikkan penerimaan negara, melindungi industri dalam negeri, dan mengatur perilaku masyarakat.

Maka, ketika beli barang dari luar negeri (barang branded) kemudian mendapat tax refund, orang itu harus membayarkan pajak ke Indonesia. Sebab fungsi tax refund memang untuk itu.

"Namun, tentunya hal itu di atur sesuai dengan regulasi perpajakan di Indonesia," ujar dia.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI), Prianto Budi Saptono, menjelaskan ketentuan bea masuk sebagai salah satu pajak yang dikelola oleh Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) tunduk pada Undang-Undang (UU) Kepabeanan. UU tersebut mengacu pada UU Nomor 10/1995 yang telah direvisi dengan UU Nomor 17/2006.

Maka, setiap barang yang dimasukkan dari luar daerah pabean ke dalam daerah pabean disebut sebagai impor dan akan terkena bea masuk. Penghitungannya menggunakan self assessment berdasarkan harga transaksi dikali dengan tarif bea masuk yang ditetapkan di dalam buku Harmonized System (HS) yang disebut juga sebagai Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI).

"Jadi pihak importir (termasuk penumpang/awak sarana pengangkut) harus memberitahukan kepada petugas customs declaration. Mekanisme demikian juga berlaku untuk impor barang kiriman," jelas dia kepada Tirto, Rabu (24/4/2024).

Namun, untuk kasus yang sedang viral tersebut, Prianto melihat bahwa memang nilai dimasukkan atau laporan DHL jauh lebih rendah dari hasil pemeriksaan DJBC. Sebab, dalam hal ini, perhitungan DJBC mengacu kepada BTKI atau Harmonized System Code untuk menentukan tarif bea masuk 30 persen atas barang sepatu.

Sementara PP 39/2019, khususnya Pasal 6 ayat (1) huruf j menyebutkan bahwa untuk menentukan sanksi administrasi berupa denda di bidang kepabeanan sebesar 1.000 persen. Hal ini karena bea masuk kurang bayarnya lebih dari 450 persen dari total yang telah dibayar.

"Kondisi di atas menyebabkan masyarakat harus berpikir lebih cermat ketika akan membeli barang impor," kata dia.

Pasalnya, kata dia, PMK Nomor 96/2023 terbit karena terjadi lonjakan barang impor konsumsi. Untuk itu, PMK tersebut hadir sebagai bentuk perlindungan konsumen sekaligus pelaku UMKM dari serbuan produk impor.

PENURUNAN BATASAN BEA MASUK BARANG IMPOR DARING

Warga memilih barang-barang belanjaan yang dijual secara daring di Jakarta, Jumat (27/12/2019). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/foc.

Bagaimana Teknis Perhitungannya?

Terlepas dari itu, pengamat perpajakan Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, mengajak kita untuk melihat bagaimana teknis perhitungan digunakan Bea Cukai untuk kasus di atas. Pertama, jika breakdown, Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) yang dikenakan adalah PPN 11 persen, bea masuk 30 persen (tarif MFN atas alas kaki/sepatu), dan PPh 22 impor 20 persen.

"Di samping itu ada sanksi administrasi. Besarannya sendiri diatur dalam UU Kepabeanan. Semua sudah dengan regulasi yang berlaku," ujar dia kepada Tirto, Rabu (24/4/2024).

Persoalan bea masuk ini menjadi perbincangan hangat di media sosial karena besaran sanksi. Padahal, jika melihat regulasi yang ada, kata Fajry, semua sudah sesuai dengan ketentuan yang ada. Baik itu ada dalam UU Kepabeanan ataupun aturan turunannya yakni pada PP 39 tahun 2019 yakni tentang pengenaan sanksi administrasi berupa denda di bidang kepabeanan.

"Kenapa sanksi administrasi begitu tinggi? Ini ditentukan dalam undang-undang, dan para pelaksana di lapangan hanya melaksanakan ketentuan undang-undang kepabeanan," kata dia.

Di sisi lain, ada alasan sanksi yang tinggi. Tentu pemerintah, kata Fajry, berharap dari sanksi yang tinggi ini akan menimbulkan deterrent effect atau efek jera. Balik lagi, tujuannya agar masyarakat melaporkan secara jujur.

"Kalau masyarakat ingin protes, harusnya protes dalam ranah kebijakan. Dorong revisi UU Kepabeanan untuk mengurangi besaran sanksi administrasi. Bukan memprotes penegakan hukumnya," jelas dia.

Dalam kasus ini, CIF atau nilai pabean pada invoice DHL sebesar 35,37 dolar AS atau Rp562.736. Setelah dilakukan pemeriksaan dan penghitungan melalui open source atau internet, CIF atau nilai pabean yang sebenarnya adalah 553,61 dolar AS atau Rp8.807.935.

Lalu petugas bea cukai membuat Bea Masuk Penetapan (setelah koreksi harga) sebesar Rp2.643.000 (Rp8.807.935 x bea masuk 30 persen). Sementara Nilai Bea Masuk Pemberitahuan (invoice) hanya Rp169.000 (Rp562.736 x bea masuk 30 persen).

"Maka, terdapat kekurangan bea masuk sebesar Rp2.474.000," ujar dia

Sedangkan administrasi yang dikenakan menurut PP 39/2019 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi Berupa Denda di Bidang Kepabeanan pasal 6 (1j) , jika total kekurangan pembayaran bea masuk diatas 450 persen, maka dikenakan denda sebesar 1000 persen dari total kekurangan pembayaran bea masuk. Sehingga perhitungannya Rp2.474.000 x 1.000 persen = Rp24.740.000.

"Aturan ini bertujuan untuk membuat efek jera kepada pihak yang mencoba untuk memalsukan nilai pabean (under invoice) untuk menghindari bea masuk atau PDRI yang lebih besar," pungkas dia.

Bagaimana agar Tidak Terkena Sanksi?

Atas kejadian ini, Bea Cukai melalui media sosial X-nya membagikan tips agar belanja online dari luar negeri aman tanpa terkena sanksi administrasi berupa denda.

Pertama, jika ingin belanja online dari luar negeri, wajib sampaikan dokumen pendukung ke pos atau ekspedisi jasa kiriman yang menangani paket mengenai informasi terkait impor barang kiriman.

"Kamu bisa sampaikan beberapa informasi pendukung mulai dari barang apa yang kamu beli, berapa harganya, invoice, bukti transaksi, dan juga link website pembelian," tulis Bea Cukai.

Dengan memberitahukan secara jujur dan benar di awal, tentunya akan menghindarkan dari risiko pengenaan sanksi administrasi. Langkah ini juga mempermudah petugas dalam pemeriksaan barang, dan tentunya mempercepat proses importasi barang.

Sebab, menurut Bea Cukai, tingginya arus impor barang kiriman dapat mengakibatkan praktik pengelabuan yang salah satunya adalah modus under invoicing.

"Under invoicing adalah praktik yang dilakukan importir dalam memberitahukan harga di bawah nilai transaksi," tulis DJBC.

Dengan nilai transaksi yang dideklarasikan lebih rendah, maka bea masuk dan pajak impornya pun lebih rendah. Alhasil, barang impor yang beredar pun lebih murah dibanding barang produksi dalam negeri dan tentunya hal tersebut mengancam industri dalam negeri.

Baca juga artikel terkait BEA CUKAI atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang