tirto.id - Sinyal Anies Baswedan tidak akan berlaga di pemilihan kepala daerah Jakarta 2024 mulai terlihat. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) kini mendorong kader mereka untuk maju.
Presiden PKS, Ahmad Syaikhu, mengatakan, Anies sudah menjadi tokoh nasional dan disayangkan jika kembali turun menjadi tokoh daerah. Dia pun berkomitmen untuk menjaga mantan Gubernur DKI Jakarta itu menjadi tokoh dalam strata nasional.
Alasannya, hal itu dilakukan untuk menjaga rasa sayang mereka kepada Anies yang telah mereka jadikan capres di Pilpres 2024. Sementara itu, Syaikhu, pun berharap Anies mendukung PKS untuk menang dalam kontestasi Pilkada.
"Kita akan terus berusaha jadikan Pak Anies sebagai tokoh nasional," kata Syaikhu.
Peluang untuk Anies menjadi pemimpin kembali di Jakarta juga terlihat semakin sempit. Tidak hanya PKS, Nasdem juga saat ini mendorong kader mereka berlaga di pemilihan kepala daerah.
Ada beberapa kandidat dari Nasdem. Mulai dari Ketua DPW Nasdem DKI Jakarta Wibi Andrino hingga Bendahara Umum Partai Nasdem Ahmad Sahroni sebagai kandidat utama.
"Jadi banyak figurlah Nasdem hari ini, yang bisa kita jadikan kandidat untuk running dalam kontestasi DKJ (Daerah Khusus Jakarta)," kata Ketua DPP Partai Nasdem, Willy Aditya.
Tetapi, Willy mengeklaim, Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh, masih menyimpan nama Anies Baswedan untuk Jakarta. Hal itu dapat dilihat dengan komunikasi Surya Paloh yang masih terbuka usai Pemilu.
"Untuk DKJ kita masih brainstorming, dua hari lalu bahkan tadi pun Pak Surya buka puasa bersama. Kemudian dua hari lalu masih buka puasa disini. Silaturahmi berjalan dengan sangat baik komunikasi lancar," kata Willy.
Anies Sebaiknya Tak Maju di Pilkada 2024
Langkah untuk maju pilkada terdiri dari jalur partai politik dan independen. Lewat parpol, partai atau gabungan partai bisa memperoleh suara setidaknya 20 kursi parlemen dan 25 persen perolehan suara hasil pileg 2024 di daerah. Hal itu tertuang dalam pasal 40 Undang-Undang Pilkada.
Sementara itu, pengusulan calon perseorangan mengacu pada pasal 41 Undang-Undang Pilkada. Kandidat yang maju secara independen harus memenuhi syarat memperoleh dukungan dengan rentang 6,5-10 persen dari daftar pemilih tetap di suatu daerah. Selain itu, jumlah dukungan harus tersebar di lebih dari 50 persen jumlah kabupaten/kota di provinsi dimaksud. Hal itu dibuktikan dengan fotokopi e-KTP.
Jika mengacu pada koalisi pendukung Anies saat ini, yakni PKS, PKB dan Nasdem, PKS diperkirakan memperoleh 16,68 persen atau 1.012.028 juta. Nasdem dengan 8,99 persen atau 542.235 suara dan PKB dengan 7,76 persen suara atau 470.652 suara. Jika Anies hanya mengantongi Nasdem dan PKB, mereka hanya mengantongi 16,75 persen suara nasional.
Analis politik dari Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah, menilai jika Anies berlaga kembali di pemilihan kepala daerah Jakarta akan menurunkan citra. Namun, Anies dinilai masih bisa maju tetapi dengan mendapat dukungan dari partai koalisi saat Pilpres lalu.
"Situasi saat ini dilematis bagi Anies, satu sisi ia perlu panggung politik untuk tetap jaga konsolidasi dengan publik, tetapi dengan kembali bertarung di Pilkada, akan mengecilkan ketokohan Anies, kecuali memang mendapat sokongan solid semisal dari Parpol pengusung di Pilpres kemarin," kata Dedi kepada Tirto, Rabu.
Dedi menilai sebaiknya Anies tidak maju kembali di Pilkada Jakarta dan fokus untuk menjaga ritme ketokohan dengan bergabung ke pemerintah lewat Partai Nasdem atau masuk PKS. Tetapi, dia menuturkan, hal itu kembali kepada partai dan Anies untuk menetapkan maju kembali di PIlkada DKI Jakarta atau tidak.
"Bergantung keputusan parpol. Jika PKS memberikan kesan Anies perlu gantian mendukung kader mereka, itu menandai jika kans sokongan pada Anies mengecil untuk pilkada," kata Dedi.
Sementara itu, Analis politik Universitas Al Azhar, Ujang Komarudin, menilai, kemungkinan Anies tanpa PKS untuk maju di Pilkada akan sulit. Ujang menilai jika Anies bersandar ke Nasdem perlu berhadapan dengan internal partai seperti Ahmad Sahroni.
"Tetapi kelihatannya pasca PKS tidak mau mendorong Anies, kelihatannya Anies sulit untuk bisa maju Pilkada DKI karena bagaimana pun harus ada partai koalisi untuk mengusung Anies 20 persen kursi di DPRD," kata Ujang.
Ujang justru melihat pernyataan PKS menolak Anies merupakan bentuk pencarian alasan agar tidak mengusung mantan Mendikbud itu. Padahal, Anies dinilai berpotensi berlaga dalam kontestasi tersebut.
"Dalam konteks itu, kelihatannya PKS mengutamakan kader kalah menang urusan lain, yang penting percaya diri maju, Anies dieliminasi, memajukan kadernya kalah menang urusan belakang," kata Ujang.
Ujang melihat partai pendukung Anies lainnya seperti PKB dan Nasdem mulai meninggalkannya. Status Anies yang juga tidak memiliki kursi jabatan partai politik membuatnya sulit eksis ke depan.
Anies harus memegang jabatan demi menjaga eksistensinya. Seperti Jusuf Kalla pasca menjadi wakil presiden, kini menjabat sebagai ketua dewan masjid atau ketua palang merah Indonesia. Dia mengingatkan kekuatan mempengaruhi eksistensi tokoh.
"Jadi mesti ada jabatan-jabatan posisi yang bisa membrand diri untuk tetap bisa eksis. Kalau tidak ada jabatan, tidak ada posisi akan cenderung ditinggalkan karena juga akan muncul nanti tokoh-tokoh yang baru, yang bagus lagi bisa eksis di pentas nasional," kata Ujang.
Ujang mengingatkan banyak tokoh nasional eksis karena punya jabatan publik. Seperti presiden dan wapres saat ini, kemudian Gibran Rakabuming yang menjabat sebagai wali kota Solo, hingga Mahfud MD yang sebelumnya menjadi mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Tanpa jabatan publik, sulit untuk tetap eksis.
"Jadi semuanya juga dalam konteks untuk bisa eksis di pentas nasional harus punya jabatan di partai atau di luar partai yang bisa menjaga popularitasnya," kata Ujang.
Kans Anies Masih Tinggi di Jakarta
Analis politik Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo, menilai kans Anies untuk maju Pilkada DKI Jakarta tetap tinggi. Itu tidak terlepas dari elektabilitas Anies yang masih tinggi. Dia menilai partai tetap harus realistis untuk memenangkan Pilkada DKI meski ada yang menghalangi Anies untuk maju.
"Kalau menurut saya kans pak Anies untuk maju Pilkada DKI masih besar. Karena ini bukan masalah tiket dari partai, tapi pada akhirnya yang menentukan adalah elektabilitas dan partai-partai tentu harus realistis kalau mereka mau tetap membawa kader mereka sendiri apakah elektabilitasnya cukup tinggi?" kata Kunto.
"Tapi di sisi lain, sangat bisa konspiratif supaya Anies enggak dapat tiket gitu misalnya. Itu juga bisa, tapi skenario itu kayaknya susah dilakukan sekarang," lanjut Kunto.
Lebih lanjut, Kunto menilai, partai-partai tengah mencari kader mereka yang potensial untuk maju pilkada. Kader tersebut lantas diadu elektabilitasnya di publik untuk bisa memenangkan pemilu atau tidak.
Sementara itu, Anies dinilai akan sulit jika maju lewat jalur independen. Kunto menilai ada potensi resistensi partai ketika Anies menang Pilkada. Di sisi lain, upaya seleksi KPU akan lebih ketat ketika maju menjadi calon independen.
"Kalau pun pak Anies mau sebenarnya bisa-bisa aja jalur independen. Cuma kalau ada partai, kenapa nggak lewat partai? Lebih enak dalam nanti ketika sudah terpilih dengan kursi di parlemen, DPRD sehingga lebih enak nanti kerjanya," kata Kunto.
Kunto melihat, PKB dan Nasdem tidak menutup pintu untuk menggaet Anies di Pilkada Jakarta. Tetapi, Anies dan PKB maupun Nasdem perlu memikirkan narasi yang tepat jika ingin maju Pilkada DKI Jakarta, tetapi masuk kabinet Prabowo-Gibran. Lebih lanjut, Kunto khawatir persepsi miring publik karena disebut oportunis.
"Jangan sampai Anies maju lewat Nasdem-PKB masih tagline perubahan tapi persepsi di pemilih soal oportunistis. Jadi ini jadi nggak sinkron antara perbuatan partai dan slogannya," kata Kunto.
Lalu, Kunto melihat PKS tidak menutup peluang untuk meninggalkan Anies. Alasannya, PKS masih berupaya mendorong agar kandidat mereka layak menjadi gubernur daripada wakil gubernur. Namun, tidak menutup kemungkinan PKS lebih memilih jadi wakil Anies demi kemenangan.
"Ya pada akhirnya harus menghitung itu semua sih. Jadi ketika ditanya apakah kans Anies menang masih tinggi ya kalau dari hitung-hitungan elektabilitas di DKI menurut saya masih tinggi dan belum tentu PKS benar-benar menutup pintu," ungkap Kunto.
"Pada akhirnya semua kembali kepada elektabilitas tadi, pragmatisme politik dan realitas politik yang harus dihadapi partai politik," tambah Kunto.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Intan Umbari Prihatin