Menuju konten utama

Sebaiknya PKS Pikir Ulang Niat Majukan Kadernya di Pilgub DKI

PKS sebaiknya tidak memaksakan diri mengusung kader sendiri di Pilkada DKI Jakarta 2024.

Sebaiknya PKS Pikir Ulang Niat Majukan Kadernya di Pilgub DKI
Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ahmad Syaikhu dalam acara Kick off Kampanye Nasional, Minggu (26/11/2023). (Tirto.id/Riyan Setiawan)

tirto.id - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) membuka peluang untuk mengusung kader mereka dalam Pilkada DKI Jakarta 2024. Hal ini dilakukan PKS usai merebut suara terbanyak dalam Pileg DKI Jakarta 2024.

Salah satu nama yang mereka gaungkan dalam bursa cagub DKI Jakarta yaktu, mantan Presiden PKS Sohibul Iman.

"Kalau kapannya biasanya last minute sebelum pendaftaran. Mengenai cagubnya yang sudah santer diusung M Sohibul Iman mantan presiden PKS," kata Ketua DPP PKS Bidang Humas dan Koordinator Juru Bicara PKS Ahmad Mabruri kepada Tirto, Senin (15/4/2024).

Sekjen PKS Aboe Bakar Alhabsy mengaku partainya sudah menyiapkan kandidat untuk maju pada Pilkada DKI Jakarta. Ia meminta publik menunggunya.

"DKI sudah, tunggu pada hari H-nya," kata Aboe di Jakarta, Rabu (17/4/2024).

Aboe Bakar enggan berkomentar siapa nama yang dimaksud. Ia pun tidak memungkiri nama yang diajukan adalah nama dari internal PKS.

Manuver PKS untuk mengusung sendiri kader mereka bukan kali pertama pada pertarungan kursi gubernur Jakarta. Sejak partai berdiri pada 20 Juli 1998, hanya momen Pilkada DKI 2017 mereka tidak mengirim kader mereka bertarung di pilkada.

Pada 2002, saat gubernur dan wakil gubernur masih dipilih melalui DPRD, PKS mengirimkan Ahmad Heryawan bersama Igo Ilham. Namun mereka kalah dari pasangan Sutiyoso dan Fauzi Bowo. Aher, sapaan Ahmad Heryawan hanya mengantongi 4,62 persen suara (4 suara) dari 84 anggota DPRD DKI Jakarta yang hadir saat itu.

Pada 2007 atau saat pertama kalinya pilkada dipilih langsung oleh rakyat, PKS mengirimkan kader mereka, yaitu Adang Daradjatun-Dani Anwar. Mereka melawan koalisi besar PDIP, Demokrat, Golkar dan 17 partai lain yang mengusung Fauzi Bowo-Prijanto. Meski sendiri, Adang-Dani Anwar berhasil meraup 1.535.555 suara atau 42,13 persen, kalah dengan Fauzi Bowo yang memperoleh 2.109.511 atau 57,87%.

Di tahun 2012, PKS kembali berupaya merebut kursi DKI 1. Kala itu, PKS kembali sendirian mengusung kader senior sekaligus mantan Presiden PKS Hidayat Nur Wahid. Hidayat dipasangkan dengan ekonom Didik J. Rachbini.

Pasangan Hidayat-Didik pun gagal mengalahkan pasangan lain kala itu, yakni Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama yang diusung PDIP-Gerindra. Hidayat-Didik hanya mengantongi 508.113 suara atau 11,72 persen.

Pada Pilkada DKI Jakarta 2017, PKS saat itu tak mengusung kadernya sendiri. Bersama Partai Gerindra dan Partai Amanat Nasional (PAN), PKS mengusung Anies Baswedan-Sandiaga Uno dan berhasil menang dan mengalahkan petahana Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat.

PENGHITUNGAN SUARA PILKADA

Petugas KPPS melakukan penghitungan suara Pilkada DKI Jakarta putaran kedua di TPS 8, Kebon Melati, Jakarta, Rabu (19/4). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/nz/17

Menang Pileg Bukan Jaminan Bisa Menang Pilkada

Analis politik dari Populi Center, Usep S. Ahyar, menekankan bahwa partai yang memenangkan pileg tidak serta-merta bisa memenangkan pilkada. Ia menilai, faktor figur juga berpengaruh dalam upaya memenangkan suatu pilkada.

Dalam kasus PKS di Pilkada DKI, Usep mengakui PKS punya mesin memadai untuk meningkatkan figur dan elektabilitas kader. Hal itu terjadi dalam upaya PKS memenangkan Adang Daradjatun pada Pilkada DKI 2007 lalu.

Namun, menurut Usep untuk saat ini PKS belum memiliki figur yang kuat. Nama Sohibul Iman, menurut Usep masih kalah dengan figur seperti petahana Anies Baswedan maupun Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ridwan Kamil.

"Jadi saya kira memang harus mencari figur untuk reputasi dan elektabilitas karena memang mesin partai yang kuat tidak hanya faktor itu yang bisa memenangkan di pilkada," kata Usep kepada Tirto, Rabu (17/4/2024).

Menurut Usep, selain figur yang kuat di masyarakat, kandidat juga harus punya modal dan jaringan dalam memenangkan pilkada. Ketokohan yang kuat menjadi modal bagi partai politik atau koalisinya menjual ke rakyat.

Oleh karena itu, Usep melihat, kejadian PKS yang kalah selama ini adalah contoh kekuatan partai tidak serta merta menjadi faktor penentu kemenangan satu kandidat.

Ia menyinggung bagaimana Anies bisa menang karena punya kekuatan figur yang lebih baik dibanding petahana kala itu, Basuki Tjahaja Purnama. Oleh karena itu, PKS akan sulit menang jika memaksakan kader untuk maju sebagai cagub di Pilkada DKI 2024.

"Figur ini menjadi sentral karena dia akan menjual dari partai koalisi itu untuk elektabilitas pemilih," kata Usep.

Sementara itu, peneliti politik dan kebijakan publik Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saidiman Ahmad, juga mengatakan bahwa ketokohan dan popularitas tokoh adalah hal penting dalam pengusungkan kandidat.

Dalam kacamata Saidiman, partai-partai saat ini memunculkan nama kandidat dari kader partai karena ingin melakukan uji kelayakan di publik atau test the water. Mereka menilai apakah nama kader mereka diterima publik atau tidak.

Ia mengaku, aksi PKS memunculkan nama Sohibul Iman perlu dihitung lebih jauh untuk maju di Pilkada DKI Jakarta 2024. Akan tetapi, Saidiman tidak memungkiri kapasitas PKS di Jakarta.

Saidiman menilai, modal tersebut bisa digunakan untuk meningkatkan elektabilitas kandidat yang diusung. PKS bisa saja mendorong agar nama Sohibul muncul dalam pencalonan.

Lantas, apakah lebih baik PKS mengusung Sohibul Iman atau kader lain? Sepemantauan Saidiman, nama mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan maupun Presiden PKS Ahmad Syaikhu jauh lebih mampu bersaing bila harus melawan Ridwan Kamil maupun Anies Baswedan.

Saidiman menyarankan agar PKS maju dengan membangun koalisi. Ia menilai, aksi PKS mengajukan kader mereka sebagai cagub DKI Jakarta kurang realistis dalam menghadapi tokoh lain yang santer maju, seperti Anies Baswedan, Ridwan Kamil, Basuki Tjahaja Purnama (PDIP) atau Tri Rismaharini (PDIP).

Ia mendorong PKS maju dengan membentuk koalisi dan maju sebagai wakil daripada memaksakan menjadi cagub tetapi gagal. Misalnya, PKS bisa saja maju bersama Koalisi Perubahan dan memajukan Anies Baswedan sebagai calon gubernur dan menempatkan kader mereka sebagai pendampingnya.

"Jadi kalau melawan tokoh-tokoh yang sangat populer itu saya kira untuk saat ini lebih realistis kalau kemudian PKS bergabung dengan partai lain dan saya kira realistis untuk kemudian blend untuk tidak harus nomor 1, tapi nomor 2 juga oke kalau kita lihat dari sisi popularitas tokoh-tokohnya," kata Saidiman kepada Tirto, Rabu (17/4/2024).

Menanggapi kritik tersebut, Ahmad Mabruri menegaskan bahwa PKS masih melihat dinamika politik yang terjadi. Mereka masih membangun komunikasi politik hingga nanti waktunya pendaftaran untuk Pilkada 2024 dibuka.

"Kan PKS juga kemarin bilang sedang mencoba membangun komunikasi dan koalisi dengan semua partai dan kepentingan dan semua ini kan sedang berproses. Belum ada yang final," kata Ahmad Mabruri, Rabu (17/4/2024).

Baca juga artikel terkait PILKADA 2024 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Bayu Septianto